Menteri Lingkungan Hidup Prihatin Dengan Perusakan Lingkungan di Bonto Cani Oleh PT APB



Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya (berbaju

safari), diapit H. Mappa (paling kiri), Thamrin (nomor dua dari kanan),

Aris Kuncoro (berkacamata) dan Herman Godjang (paling kanan)



JAKARTA (wartamerdeka.com) -Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya berjanji akan memprioritaskan laporan kerusakan lingkungan di Bonto Cani, Kabupaten Bone, yang disampaikan sejumlah warga Bonto Cani, akhir pekan lalu. “Kementerian Lingkungan Hidup akan secepatnya melakukan investigasi menindaklanjuti laporan warga yang lahan dan tanamannya dirusak oleh PT Anugerah Permata Bumi,”ujar Rektor Universitas Cendrawasih, Papua, yang baru beberapa hari dilantik sebagai Menteri Lingkungan Hidup, saat menerima sejumlah warga yang mengadukan adanya kerusakan lingkungan yang makin parah di Bono Cani.


Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah warga Bonto Cani, Kabupaten Bone, pekan lalu, telah melaporkan secara kerusakan lingkungan yang sangat parah yang dilakukan oleh PT APB, di Gunung Limopuru, Bonto Cani, dalam rangka melakukan eksplorasi dan eskploitasi  pertambangan biji besi, kepada Menteri Lingkungan Hidup. Ternyata laporang langsung mendapat tanggapan, sehingga pada hari Jumat lalu, para warga yang melaporkan masalah itu, diterima untuk  audiensi.



Menteri  yang low profile ini dengan penuh perhatian mendengarkan laporan yang disampaikan warga Bonto Cani, seperti Thamrin, H. Mappa, Andi Thalib. Para warga Bonto Cani itu, didampingi oleh wartawan
 wartamerdeka.com dan Swara Nasional Pos, Aris Kuncoro dan Herman Godjang.


Menurut para warga Bonto Cani itu, dampak yang sudah mulai dirasakan oleh warga akibat kerusakan lingkungan yang dilakukan PT APB adalah kegagalan panen pada ratusan hektar sawah di daerah Bonto Cani.


“Para petani gagal gagal panen akibat kecilnya debit air yang mengalir ke sawah mereka. Ini karena sumber air yang ada telah disedot untuk kegiatakan pengeboran dan eksplorasi pertambangan yang dilakukan PT APB,”ujar H. Mappa di depan Menteri Lingkungan Hidup.


Sejak PT APB melakukan kegiatan pertambangan di Bonto Cani, sekitar  tiga tahun lalu, kata H. Mappa lagi, banyak kerusakan lingkungan yang terjadi.  “Yang pasti kegiatan pertambangan PT APB tersebut telah menyedot persediaan air di Bonto Cani, sehingga warga dan para petani hanya kebagia air sangat sedikit. Sudah ratusan hektar sawah yang berada di sekitar lokasi pertambangan yang dikelola PT APB mengalami gagal panen,”ujarnya.
Tentu saja, para petani di sekitar pertambangan PT APB saat ini menjerit. Mereka menyesalkan kenapa Pemerintah Kabupaten Bone mengijinkan pertambangan besar-besaran dilakukan di Bonto Cani.
“Adanya kegiatan pertambangan tersebut, bukannya menyejahterakan warga dan para petani di Bonto Cani, tapi justru menyengsarakan rakyat,”tambahnya.
Tak hanya soal air. Perkebunan dan persawahan milik warga pun banyak yang rusak akibat kegiatan yang dilakukan PT APB.
“Termasuk pohon kemiri dan mangga  yang telah ditanam oleh warga sejak ratusan tahun yang lalu dan mejadi penghasilan pokok warga setempat, kini kondisinya rusak parah,”ujarnya.
Bonto Cani, kata H. Mappa lagi, dari dulu terkenal sebagai penghasil kemiri terbesar di Bone Selatan. Tapi dengan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT APB, pohon kemiri yang telah berusia ratusan tahun itu rusak parah.
“Belum soal pembebasan lahan oleh yang sampai saat ini belum beres. Seperti lahan warisan milik almarhum Balireng yang dikuasai para ahli waris, banyak yang dicaplok begitu saja oleh PT APB,” tambahnya.
Balthasar Kambuaya menyatakan sangat prihatin dengan situasi dan kondisi lingkungan yang dilaporkan para warga tersebut. Pria kelahiran Ayamaru, 9 September 1956 ini pun menyatakan serius memperhatikan masalah itu.
“Saya akan mengawal masalah ini,”ujar doktor lulusan Durham University Business School, Inggris ini.
Para warga pada kesempatan itu juga melaporan, ratusan warga Kecamatan Bonto Cani saat ini merasa terprovokasi dengan kehadiran para petugas keamanan, terutama dari kepolisian setempat yang saat ini telah bertindak sebagai Satpam PT APB.
Beberapa waktu lalu, puluhan warga Bonto Cani memang nyaris bentrok dengan aparat Polisi saat akan memagari tanah miliknya yang dicaplok oleh perusahaan penambangan biji besi PT Anugerah Permata Bumi (APB).
Saat itu, puluhan warga yang dipimpin H. Mappa selaku pemilik tanah yang merasa tanah diserobot (dicaplok) oleh PT APB berusaha memalang jalan masuk ke areal operasional PT APB di desa Langi, Kecamatan Bonto Cani. “Ini tanah  warisan dari nenek moyang saya secara turun temurun. Dan saya tidak pernah diajak musyawarah oleh PT APB yang katanya dapat ijin untuk melakukan eksplorasi tambang di atas tanah saya. Jadi, karena tanah saya belum pernah dibebaskan oleh PT APB maka saya akan larang segala aktivitas dari PT APB di atas tanah saya,” ujar H. Mappa yang merupakan ahli waris Balireng (pengelola/pemilik lahan hutan di daerah itu ratusan tahun lalu).
Ketika upaya pemasangan palang sedang dilakukan mendadak muncul puluhan petugas kepolisian yang berusaha mencegah dilakukan pemasangan palang di jalan masuk areal pertambangan yang dikelola PT APB.
Terjadilah perdebatan sengit antara warga pemilik tanah yang merasa belum pernah menerima pembebasan dari PT APB dengan pihak kepolisian yang belakangan menjaga ketat lokasi pertambangan PT APB di Kecamatan Bonto Cani.
Warga tetap ngotot untuk melakukan pemalangan jalan yang menurut warga dibangun di atas tanah mereka.
Namun, polisi yang dipimpin oleh Kapolsek Bonto Cani terus berusaha membujuk dan mendesak warga agar membatalkan pemalangan jalan tersebut.  Warga dengan emosi menyatakan bahwa semestinya polisi itu melindungi rakyat bukannya malah melindungi perusahaan. Karena polisi itu dibayar dengan memakai duit rakyat. Sementara polisi berdalih bahwa PT APB telah mengantongi ijin eksploitasi dan sejumlah ijin lain, sehingga PT APB berhak melakukan kegiatan di lokasi tersebut.
Di tengah suasana yang makin memanas, H. Mappa mencoba menelepon anggota DPRD Kabupaten Bone Dr. H. Andi Mappamadeng Dewang, MSi untuk meminta pendapat. Akhirnya oleh anggota Komisi A DPRD Kabupaten Bone yang berasal dari Fraksi PDI-Perjuangan itu disarankan agar H. Mappa mengurungkan dulu niatnya untuk memalang jalan di areal lokasi pertambangan yang dikelola PT APB tersebut, karena pihak DPRD pada hari Senin akan melakukan pembahasan masalah tersebut, sehingga H. Mappa dan sejumlah warga lain mengurungkan niat untuk memalang jalan tersebut.
Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Bone Dr. H. Mappamadeng MSi yang juga merupakan anggota pansus yang menganani masalah tersebut kepada SNP menyatakan bahwa dari keterangan para warga di daerah tersebut kepada pansus DPRD Kabupaten Bone, dinyatakan bahwa tanah yang sekarang dikuasai oleh PT APB adalah benar milik H. Mappa dan belum pernah dilakukan pembebasan langsung pada pihak pemilik yaitu H. Mappa.
“Kalau dinyatakan bahwa tanah di wilayah yang dikelola oleh PT APB untuk pertambangan itu telah dibebaskan dari warga maka saya telah meminta kepada pihak pemerintah untuk ditunjukkan bukti adanya SK Bupati tentang harga tanah yang dibebaskan di daerah itu, serta saya juga minta akan panitia pembebasan lahan di daerah dihadirkan di hadapan pansus,”ujar Mappamandeng yang merupakan doktor ahli ilmu pemerintahan pertama  di Sulawesi Selatan.
Menurutnya, hingga saat ini, apa yang dimintanya itu belum juga dikabulkan pihak eksekutif dalam hal ini bupati. Dia pesimistis bahwa kasus itu akan cepat selesai, karena pihak eksekutif terkesan tidak memihak kepada rakyat melainkan lebih memihak kepada pengusaha.
Dilaporkan Kapolri
Kasus penyerobotan dan pengrusakan lahan oleh PT  PT APB di daerah Gunung Limopuru’, Desa Langi, Kecamatan  Bontocani, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan  itu sebenarnya telah dilaporkan  oleh ahli waris pemilik lahan, H. Mappa bin Muha (64) kepada Kapolri Jenderal (pol) Timur Pradopo, beberapa waktu lalu.
H. Mappa yang juga mewakili keluarga besar ahli waris Balireng yang memiliki lahan perkebunan di daerah Gunung Limopuru’, mengatakan, dirinya melaporkan masalah penyerobotan dan pengrusakan lahan milik leluhurnya itu oleh PT APB ke Kapolri, karena laporan warga terhadap persoalan itu ke Polres Bone maupun Polda Sulawesi  Selatan belum ada tindak lanjutnya.
“Karena tanggapan warga tidak mendapat tanggapan dari Polres Bone maupun Polda Sulawesi Selatan, maka saya atas nama pribadi maupun keluarga besar ahli waris Balireng melaporkan kasus penyerobotan dan pengrusakan lahan milik kami itu ke Kapolri,” ujar H. Mappa kepada wartawan usai menyerahkan surat dengan perihal “permintaan perlindungan hukum”  ke Kapolri.
Sebelumnya, H. Mappa dan rombongan sempat menemui Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Anton Bahrul Alam untuk menjelaskan kasus penyerobotan dan pengrusakan lahan miliknya itu oleh PT APB.
Dalam dialog dengan Irjen (Pol) Anton Bahrul Alam itu, H. Mappa menjelaskan, bahwa dirinya dan para ahli waris Balireng  yang jumlahnya sekitar 84 orang, yang memiliki lahan 665 hektar,  sama sekali tidak pernah diajak musyawarah oleh pihak PT APB yang kini dengan seenaknya mengacak-acak  bahkan merusak tanaman-tanaman yang siap tanam di lahan  milik keluarga besar ahli waris Balireng.
PT APB adalah perusahaan yang “konon” telah mengantongi ijin operasional untuk melakukan eksploitasi tambang biji besi di Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Namun, dari investigasi sejumlah pihak, keberadaan PT Anugerah Permata Bumi (PT APB) di atas lahan keluarga Haji Mappa  seluas sekitar 180 hektare di Gunung Limopuru’, Desa Langi ,Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone, hanya beralaskan surat izin penguasaan lahan yang dikeluarkan Bupati Bone HA Muh Idris Galigo,SH.
Dijelaskan pula oleh H. Mappa, bahwa warga yang merupakan keluarga besar Balireng telah berupaya melaporkan kasus penyerobotan dan pengrusakan lahan itu ke Polres Bone maupun Polda Sulawesi Selatan. Namun, sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya. Bahkan, belakangan, pihak aparat cenderung lebih berpihak kepada perusahaan (PT APB). Oleh karena itulah, H. Mappa dan keluarga besar ahli waris Balireng meminta perlindungan hukum dan melaporan hal itu kepada Kapolri.
Mendengar keterangan H. Mappa itu, Irjen (Pol) Anton Bahrul Alam  merasa prihatin dengan masalah tersebut. Anton juga menegaskan bahwa semestinya polisi melindungi rakyat.
Konspirasi
Sejumlah sumber  di Bone menyebutkan, kuat dugaan PT APB belum memiliki izin undang-undang gangguan (UUG), Amdal dan lainnya. Keberadaan PT APB di lahan warisan Balireng, menurut kuasa hukum ahli waris, Andi  Muriadi Muchtar,SH, perlu dipertanyakan tentang kapan perusahaan tersebut melakukan ekspose di depan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Bone dan masyarakat setempat? Kapan dilakukan pengecekan lokasi sampai perusahaan itu mendapat IUP dan IUPK?
Ini, kata pengacara Andi Muriadi, tentu saja menimbulkan tanda tanya besar, khususnya untuk ahli waris yang bertempat tinggal di sekitar lokasi yang dicaplok PT APB atas izin yang dikeluarkan Bupati Bone tanpa melihat akibat yang ditimbulkan dari keluarnya izin ekplorasi dan eksplotasi pertambangan di lahan rakyat yang sejak 9 generasi digarap turun temurun sebagai sumber kehidupan.
Kecurigaan tentang dugaan adanya konspirasi antara penguasa dan pengusaha terlihat dari cara penguasaan lahan rakyat tersebut.
Masyarakat penggarap diintimidasi lewat Kepala Desa Langi untuk mau menyerahkan lahannya dengan ganti rugi Rp 6.000 permeter persegi. Jika tidak, begitu kata warga, maka lahan garapannya akan diambil oleh Pemda Bone tanpa ganti rugi.
Dugaan konspirasi semakin jelas ketika dua ahli waris, Haji Mappa bin Muha dan Sanu bin Muha dibantu puluhan keluarga besarnya memagar lahannya yang dijadikan jalan oleh PT APB malah dijadikan tersangka oleh penyidik Polres Bone atas laporan pihak PT APB yang sesungguhnya merampas tanah warisan tanpa melakukan peninjauan lapangan.
Bahkan dengan entengnya, Kasatserse Polres Bone AKP Trihantono Nugroho,SIK,SH yang menangani kasus ini mengatakan, kedua tersangka dikenakan UURI tentang Pertambangan karena lebih berat ketimbang KUHP. Padahal baru mendapat laporan dari pihak PT APB dan hasil pemeriksaan warga yang menerima ganti rugi.
Dari hasil investigasi, Kepala Desa Langi , Idris, yang diduga kuat menjadi kaki tangan PT APB, mengakui kalau lahan yang dijadikan jalan PT APB adalah milik keluarga Haji Mappa. "Saya pikir Pak Haji sudah telantarkan, jadi yang menggarap yang menerima ganti rugi,” kilahnya.
Idris juga menjelaskan bahwa lahan milik Haji Mappa belum dibebaskan oleh PT APB, kecuali untuk jalan masuk areal yang didapatkan izinnya dari Bupati Bone. “Yang dibebaskan hanya yang dipakai untuk jalan sekitar 1 hektare lebih,” jawabnya ketika ditanya apakah lahan yang kini pohon-pohonnya ditebang sudah dibebaskan oleh PT APB.
Ditanya kenapa PT APB menebang pohon-pohon yang ada dalam areal tanah warisan Haji Mappa, Kades Idris terdiam.  Kemudian ia mengatakan, tidak tahu persis lahan mana yang akan dijadikan pertambangan oleh PT APB.
Sementara enam warga penggarap yang menerima ganti rugi sebesar  Rp 6.000 permeter persegi dari PT APB  menuturkan bahwa mereka terpaksa menerima ganti rugi karena diintimidasi oleh kepala desa dibantu istrinya. “Uangnya kami simpan karena kami tahu, kami tidak berhak atas uang ganti rugi itu,” kata warga, sambil menjelaskan kalau mereka sudah membuat surat pernyataan bermeterai Rp 6.000,- yang mengakui bahwa tanah itu memang milik kakek Haji Mappa, sedangkan mereka hanya sebagai penggarap.
Masalah itu telah menjadi sorotan tajam masyarakat Bone Selatan. Bahkan, masyarakat Bone  Selatan telah meminta Bupati Bone Haji Andi Idris Galigo,SH  untuk tidak berpihak menyikapi keberatan ahli waris Balireng di Gunung Limo Puru’, Desa Langi, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Sebab lahan seluas 200 hektare yang dijadikan zona industri oleh  Pemkab Bone,merupakan tanah turun temurun.
Hal tersebut ditegaskan Andi Arham, Ketua Gerakan Masyarakat Bone Selatan menyikapi proses penyelesaian penjarahan tanah warisan yang dilakukan PT Anugerah Permata Bumi dengan cara membebaskan dari penggarap, bukan pemilik.
Arham menyebutkan, proses penyelesaian lahan warisan leluhurnya sudah dicampuri dengan kepentingan oknum-oknum yang punya kepentingan. Haji Mappa sendiri menegaskan,  apapun yang terjadi, mereka tidak akan mundur selangkah pun untuk mempertahankan hak warisnya. “Bukan kami menghambat laju pembangunan yang dicanangkan pemerintah Kabupaten Bone untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Kami hanya ingin, pengusaha tidak semena-mena membebaskan lahan dari orang yang tidak berhak. Ratusan keluarga Balireng yang masih bermukim di Bone Selatan menggantungkan hidup dari lahan tersebut,” kata Haji Mappa.(andi)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama