Deddi Noerdiawan Maju Bacabup Lamongan, Birokrasi Makin Seksi?


Oleh : W. Masykar (Warga Lamongan)

LAST but not least, apa dikata, benar juga putra bupati Fadeli, Deddi Nordiawan, pria kelahiran 1977 itu, resmi menapak ke jalur politik, maju dalam bursa pertarungan pilkada Lamongan 2020 mendatang.

Terjawab sudah teka teki publik kota Nasi Boranan ini, bahwa isu, bakal majunya sang putra mahkota bukanlah isapan jempol. Ini, setelah Deddi resmi  mengembalikan formulir pendaftaran Bacabup ke kantor DPC Gerindra Lamongan, Rabu (13/11).

Dia bahkan menyebut, jika secara historis dan ideologis, partai Gerindra adalah bagian dari keluarga besarnya. Apapun alasan yang disampaikan sah sah saja, bahwa keputusan akan maju dalam pertarungan pilkada Lamongan, lebih karena panggilan dari kampung halamannya, dan bukan karena dorongan orangtua.

Namun, keputusan tersebut, bisa jadi membuat sebagian kalangan masyarakat kaget, karena isu yang pernah muncul, kalau bupati Fadeli akan mengusung salah satu koleganya sekaligus bawahannya, Yuhronur Efendi, kini Sekda. Maka, dengan keputusan Deddi Noerdiawan maju menjadi salah satu Bacabup Lamongan, isu bupati akan melabuhkan dukungan ke Yuhronur Efendi, terjawab sudah, kandas atau hanya sekadar rumor tanpa argumentasi, sensasi.

Dan ini, mau tidak mau, Yuhronur Efendi akan menghadapi kompetitor yang cukup tangguh pada 2020 mendatang. Meskipun gerbang kemenangan masih saja terbuka.

"Keputusan ini murni dari dalam diri saya sendiri, selain itu,  panggilan orang-orang tua agar saya mempertimbangkan untuk maju, bukan karena orang tua," kata Deddi, setelah menyerahkan berkas pendaftarannya.


Bahkan dia menyebut, "Fadeli adalah Fadeli, saya adalah saya, saya anak biologis tapi bukan berarti saya anak ideologis atau anak sosiologis. Saya punya program yang ingin saya terapkan di Lamongan, bukan karena adanya Fadeli sebagai ayah saya. Kalau misalnya Bupati yang sekarang ini bukan ayah saya, saya akan tetap menjalankan ini," ucap Deddi.

Ambisinya yang  ingin membawah Lamongan ke level berikutnya, lebih moderen, bahkan dalam konteks digital, Lamongan diharapkan akan Go Internasional, menjadi prioritas tawaran programnya.

Pertanyaannya tidak berhenti disini, sebab, meski dia putra bupati, dan bahkan meyakinkan publik, kalau majunya ke bursa pilkada, bukan atas dorongan ayahnya. Bisa menjadi langkah blunder. Pertama, Publik akan membaca kalau alasan tersebut memang dilempar untuk menggaet simpati dukungan, seolah olah, dia maju tanpa kawalan.

Kedua, kalaupun toh tiba tiba lantas bupati menaruh dukungan, apalagi vulgar, akan menjadi bumerang, karena masih aktif menjabat bupati.

Ketiga, kenapa tidak memulai merapat ke partai Demokrat. Deddi bukan kader Gerindra, juga bukan kader Demokrat. Sama sama bukan kader, kenapa langkah awal tidak ke partai Demokrat?, Meskipun bisa ditebak, partai Demokrat sudah bisa dipastikan akan turut mengusung Deddi Noerdiawan. Karena, juga bagian dari keluarga besarnya. Ini strategi jitu, tapi bisa juga sebaliknya.

Nah, dari sini, birokrasi dan birokrat akan memainkan perannya. Bagaimanapun, Deddi Noerdiawan adalah putra bupati yang kini masih menjabat. Disisi lain, ada Sekda Yuhronur Efendi dan Kartika Hidayati, yang sama sama punya peluang untuk merambah dukungan kalangan birokrasi. Birokrasi/birokrat lantas menjadi makin seksi, dilirik, didekati, dirangkul, dibisik i dan dikasih janji.

Kecuali, kalau misalnya sama sama setia, Sekda duet dengan Wabup, entah siapa yang nomor satu, siapa yang nomor dua, permainan akan makin seru.

Dus, sedikitnya, terdapat tiga kelompok birokrat dalam menerima "pekerjaan" politik ini.

Pertama, kelompok pessimis, ada kelompok birokrat yang pesimis untuk menceburkan diri dalam konstelasi politik kontestasi pilkada. Kelompok ini, biasanya mau terseret dalam politik pilkada sebatas kemampuan pada posisi sebagai bawahan. Kelompok ini, cenderung mengalir apa adanya. Dapat reward ya diterima dikasih punisment juga sudah biasa.

Kedua, ada kelompok skeptis, dan cenderung apa adanya. Kelompok ini, umumnya yang akan segera pensiun, misalnya tinggal setahun atau dua tahun lagi sebagai pejabat, kecuali saat pensiun masih ada tempat (dijanjikan tempat).

Ketiga, kelompok optimistik taktis. Nah, kelompok inilah yang umumnya berdiri di dua, tiga kaki, dan bahkan cenderung kebablasan (vulgar) dalam permainan di arena politik kontestasi. Kelompok ini, akan terus berupaya dan berjuang untuk tidak sekadar sebatas kemampuan, bahkan kalau bisa diluar kemampuan pun akan dilakukan, dengan harapan pasca kemenangan kandidat yang didukungnya, tinggal menunggu timing tepat untuk menerima "kado"nya.

Karena itu, Meristokrasi, merita sistem dalam bangunan birokrasi masih sebatas mimpi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama