Tantangan MA Saat Ini Kekosongan Hakim Agung TUN Dan Pengajuan PK Jaksa

Dr. I Gde Pantja Astawa, SH, MH dengan Emil F. Simatupang.

Catatan Dolat Munthe (wartawan wartamerdeka.info)

BELUM lama ini, Ketua MA melantik 5 hakim agung dan 3 hakim adhoc. Namun ternyata hakim Agung baru tersebut tidak ada satupun yang merupakan hakim agung untuk TUN (Tata Usaha Negara).

Kebutuhan hakim agung TUN tersebut ternyata mendesak. Dan dirasakan banyak pihak khususnya bagi pemerintah yang belakangan ini seringkali kalah berperkara di pengadilan karena minimnya Mahkamah Agung (MA) memiliki hakim agung bidang pajak TUN lantaran sudah sekian lama tidak ada penambahan wajah baru yang mumpuni dibidangnya.

Sebenarnya tak terbantahkan bahwa betapa masyarakat sangat mengharapkan sengketa pajak dapat diselesaikan dengan cepat dengan adanya personil hakim agung di bidang TUN yang terus semakin ditambahkan seiring derasnya kasus pajak yang belakangan semakin menggila serta terjadi tumpang tindih.

Belum lagi perihal salah kaprahnya lembaga kejaksaan yang belakangan menggugat putusan kasasi atas bebasnya terfakwa kasus BLBI dan lainnya sehingga terjadi suatu kebingunan ditengah masyarakat luas ketika pihak jaksa melakukan upaya banding Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Padahal kata Undang Undang bahwa jaksa tidak berhak untuk melakukan PK itu.

Bahkan seorang putra terbaik yang merupakan aset bangsa ini Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa SH, Mhum, yang adalah guru besar fakultas hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung secara tegas menohok sikap jaksa yang salah kaprah tersebut

Jelasnya bahwa pakar hukum Prof. I Gde Pantja Astawa merasa prihatin dan khawatir atas dampak yang timbul dari pengajuan PK oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang melepaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dari segala tuntutan hukum.

Ditegaskannya, tidak ada legal standing bagi Jaksa KPK karena Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan jelas telah menentukan bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Jaksa KPK tidak punya hak untuk menafsirkan norma dalam undang-undang, dalam hal ini KUHAP. Selain itu, penafsiran yang dilakukan Jaksa KPK telah melanggar asas/prinsip hukum yang bersifat universal ‘interpretatio cessat in claris’ yang mengandung arti, kalau teks atau redaksi suatu UU telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Sebab, penafsiran terhadap kata-kata yang telah jelas, berarti penghancuran (interpretatio est perversio).

Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, MA dalam surat keputusannya pun sudah memberikan petunjuk yang jelas bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK.

"MA harus konsisten dengan keputusannya sendiri dengan menyatakan PK tersebut tidak dapat diterima demi wibawa hukum dan kepastian hukum,” tegas Prof Gde Pantja, saat diwawancara, di Jakarta, pekan lalu.

Seperti diketahui, Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 28 Februari 2020 menyudahi pemeriksaan permohonan Peninjauan Kembali (PK) oleh Jaksa KPK terhadap putusan kasasi MA yang melepaskan 'SAT' dari segala tuntutan hukum.

Pengadilan menerima kesimpulan pemeriksaan perkara dari Jaksa KPK dan penasehat hukum SAT. Pengadilan selanjutnya akan meneruskan permohonan PK tersebut ke MA untuk diputuskan.

Prof Gde Pantja Astawan menyatakan "Sependapat dengan keterangan ahli Hamdan Zoelva dan Chairul Huda dalam persidangan PK tersebut. Begitu juga dengan pandangan Prof Seno Adji di media massa,” katanya  ketika diminta menanggapi persidangan pengajuan PK di Pengadilan Tipikor Jakarta tersebut.

Hamdan Zoelva dalam persidangan menerangkan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 133/PUU-XIV/2016 (“Putusan MK No. 133”), MK telah memberikan penafsiran konstitusional atas ketentuan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut. Sebab dalam keputusan ditegaskan bahwa PK hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Dengan demikian telah jelas bahwa subyek yang berwenang mengajukan PK bukanlah Jaksa, kata mantan Ketua MK tersebut. Dia menambahkan, MK telah menegaskan manakala pasal ini dimaknai lain dari yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 263 tersebut adalah inkonstitusional.

Adapun ahli Dr. Chaerul Huda, SH, MH, dalam persidangan berpendapat Putusan MK No. 133 sudah tepat, dimana MK menegaskan bahwa norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP itu konstitusional sepanjang ditafsirkan seperti apa yang ada dalam norma itu sendiri, sehingga tidak boleh ditafsirkan lain. Ahli hukum acara pidana dari Universitas Muhamadiyah Jakarta tersebut menerangkan bahwa skema PK di desain hanya untuk terpidana dalam rangka mengoreksi putusan kasasi.

Chaerul juga merujuk Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 268 Tahun 2019 yang dengan jelas menentukan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dibenarkan untuk mengajukan PK.

Pendapat kedua ahli di persidangan senada dengan pandangan pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Prof. Indriyanto Seno Adji, dalam berbagai media massa beberapa waktu yang lalu. Ia menyatakan bahwa KPK sewajarnya memperhatikan legitimasi subjek pemohon PK yang limitatif yaitu terpidana atau ahli warisnya. "PK bukanlah hak dari penegak hukum," katanya.

Lebih lanjut Seno Adji, berdasarkan sejarahnya, PK lahir dalam sistem hukum pidana Perancis, dimana prinsipnya, PK atau revition digunakan sebagai basis perlindungan hak asasi manusia, khususnya rakyat yang mendapat perlakuan kesewenangan hukum dari penguasa.

Intinya, PK ini hanya diberikan haknya kepada masyarakat yang jadi korban kesewenangan kekuasaan, jelasnya.

Tak terbantahkan kalau memang hati rakyat kita sangat mendambahkan Supremasi Hukum di negeri tercinta ini menjadi Panglima tertinggi di depan segala kepentingan rakyat yang seringkali tertatih-tatih mencari keadilan ketika dizholimi, tetapi siapa yang mampu membantah kalau krusialnya persoalan hukum yang masih dominan dirasakan oleh masyarakat si pencari keadilan dari para penegak hukum di atas.

Banyaknya salah kaprah yang semakin melenceng jauh terperosok karena hanya mengandalkan syawat kekuasaan yang dikombinasikan dengan berbagai bentuk sepak terjang yang sok gagah-gagahan belaka, tapi justru sangat menyakiti hati rakyat dan menjadi cibiran pahit yang menyesakkan batin.

Contoh sederhana dari proses seleksi calon hakim agung yang belum apa-apa sudah dicecar habis dan dipermalukan secara akademis dengan menguak aib para kandidat yang belum tentu benar sebagaimana yang sering diisukan dan kemudian diberitakan secara vulgar, padahal pada akhirnya dari sekian banyak yang mencalonkan diri hanya segelintir yang lolos, namun sakitnya bagi mereka yang tidak lolos itu justru sudah ditelanjangi habis-habisan dalam proses panjang yang melalahkan sejak di pihak Komisi Yudisial hingga ditangan para anggota DPR di Komisi III bidang hukum itu.

Namun betapapun gelapnya lorong lorong menuju Supremasi hukum khususnya ditingkat MA dan mitra hukum lainnya, toh masih ada tersisa waktu 8 bulan lagi untuk menambah hakim agung di bidang pajak TUN dan begitu juga sikap tegas yang akan diambil oleh Kejagung ST Burhanudin yang harus meluruskan pola berpikir anak buahnya agar tidak terus menjadi cibiran masyarakat luas yang sangat mendambahkan tegaknya suatu terobosan hukum yang kuat di era kepemimpinan Joko Widodo yang tak terbantahkan merupakan Presiden RI ke 7 yang paling fenomenal yang sudah nyata mewujudkan harga semen dan bahan bakar dari gelapnya bumi Indonesia Timur Papua dan sekitarnya menjadi setara harganya nasional seperti di Jakarta dan momen lainnya.

Betapa bahagianya rakyat ini jika dari dua sisi hukum yang sangat krusial dan mendesak sebagaimana diatas dapat menjadi perhatian sang Maestro Hatta Ali dan pihak lainnya di sisa waktu yang hanya tinggal sedikit lagi, mau membuat suatu terobosan terbenahinya dan bertambahnya personil hakim agung di bidang pajak TUN itu. ***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama