Kali Asinan Meluap Lagi

Mengurai Problem Agar Kali Asinan Tidak Makin Asin



Oleh: W. Masykar

Kali Asinan, butuh normalisasi atau naturalisasi? Perdebatan soal sungai atau kali Asinan di naturalisasi atau di normalisasi rasanya tidak penting. Di-naturalisasi atau di-normalisasi, yng penting bagaimana mencegah terjadinya banjir, baik banjir karena curah hujan tinggi dan pada saat yang sama air laut pasang atau banjir kiriman dari wilayah hutan sekitar Dadapan (Solokuro).

Seperti banjir yang terjadi pada Selasa dini hari (27/5) kemarin, ribuan rumah di wilayah kelurahan Brondong dan desa Sumberagung, bahkan sebagian wilayah Sedayulawas kecamatan Brondong dan kelurahan Blimbing kecamatan Paciran kabupaten Lamongan tergenang air, meski hanya beberapa jam karena ketika air laut surut banjir pun lenyap.

Tapi hal itu sangat membuat warga cemas. Karena, bukan saja tidak bisa beraktifitas, tapi juga mengalami kerugian material yang cukup besar.

Banjir akibat luapan Kali Asinan, sebenarnya bukan kali pertama ini saja terjadi tapi sudah mulai sejak puluhan tahun silam. Hanya saja, banjir yang terjadi pada H+1 Lebaran kemarin itu, banjir paling besar dan datangnya paling cepat.
Sehingga warga dibuat kalang kabut.

Kedepan, problem Kali Asinan ini, bisa jadi akan mirip seperti Kali Ciliwung. Problem yang selalu menjadi PR dan perdebatan sepanjang masa.

Selama ini, ada beberapa sumber penyebab timbulnya banjir akibat luapan Kali Asinan.

Pertama, akibat curah hujan tinggi pada saat bersamaan air laut pasang, Kali Asinan tidak mampu menampung tingginya debit air.

Kedua, air kiriman dari kawasan wilayah selatan, wilayah hutan yang muaranya juga ke Kali Asinan, inipun menjadi problem disaat air laut sedang pasang.

Ketiga, adanya pembangunan di sekitar wilayah Kali yang mulai massif, salah satunya pembangunan sekolah kejuruan (SMKN Maritim), mau tidak mau pembangunan SMKN Maritim juga memiliki andil terjadinya banjir, karena kegiatan pengurukan untuk pembangunan akan mengurangi daya resapan air di sekitar areal persawahan (areal SMKN Maritim).

Penyebab lainnya masih rendahnya kesadaran warga agar tidak membuang sampah di Kali Asinan. Faktanya, sampah tetap saja menumpuk di Kali, terutama disaat kondisi Kali kering.

Ini menyebakan makin mengecilnya kapasitas sungai akibat pendangkalan (karena tumpukan sampah) dan penyempitan badan sungai, (karena padatnya bangunan rumah warga).

Kemudian, dinding yang rawan longsor/jebol.

Otomatis aliran air tak bisa terbangun dengan baik, karena adanya penyalahgunaan untuk permukiman itu.

Nah, Kali Asinan, adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo sehingga yang memiliki kewenangan Balai Besar Wilayah Bengawan Solo (BBWS). Penyelesaian problem Kali Asinan karena itu tidak lepas dari BBWS.

Dalam beberapa tahun terakhir pemkab Lamongan memang telah memberi perhatian pada upaya normalisasi Kali Asinan. Namun, upaya normalisasi itu, hanya sebatas pengerukan berskala ringan. Hanya sekadar membersikan sampah dan mengeruk sebagian endapan lumpur saja.

Langkah pemkab ini, sepertinya hanya untuk meredam protes sesaat dari warga masyarakat sehingga begitu dilakukan pengerukan dianggap selesai, meski setahun kemudian banjir tetap saja terjadi.

Dan pemkab Lamongan pun tidak salah melakukan itu, karena pertama, Kali Asinan milik BBWS sehingga yang memiliki kewenangan pun tak lepas dari peran Balai Besar Wilayah Bengawan Solo, kedua, menormalisasi Kali Asinan butuh anggaran besar, dan itu pemkab sendirian tidak mampu. Sebab, kegiatan normalisasi Kali Asinan tidak dilakukan di sekitar wilayah pemukiman warga, tapi juga sampai ke wilayah selatan.

Belum lagi padatnya permukiman warga kelurahan Brondong dan kelurahan Blimbing yang berada bantaran Kali. Kalau dilakukan normalisasi yang sebenarnya, maka ratusan rumah harus dibongkar, dan ini problem jelas tidak ringan. Belum lagi, bangunan kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara (kawasan TPI lama) yang langsung menutup akses mengalirnya air Kali Asinan ke laut.

Itulah sebabnya, kenapa Kali Asinan selalu menjadi problem setiap tahun? Karena sebenarnya ini problem besar dan problem yang selalu hadir, sepanjang tahun. Maka upaya penyelesaianpun juga tidak semudah membalik telapak tangan.

Kegiatan normalisasi, misalnya, pengerukan untuk memperlebar dan memperdalam kondisi Kali. Kemudian, pemasangan sheet pile atau batu kali (dinding turap) untuk pengerasan dinding Kali, pembangunan sodetan, sampai pembangunan tanggul. Karena, normalisasi adalah upaya untuk menjadikan kondisi Kali/sungai mampu menyimpan air dengan kapasitas lebih banyak, dan meningkatkan kemampuan untuk mengalirkan air.

Kegiatan ini, jelas akan menelan biaya besar. Apalagi, disaat dilakukan normalisasi sekaligu naturalisasi Kali, yakni mengembalikan fungsi Kali/sungai sebagai daerah resapan air, kawasan hijau, dan mengembalikan ekosistem sebagaimana kondisi alamiahnya lagi.

Dengan begitu, air akan terserap kembali ke dalam tanah. Berbeda dengan normalisasi yang sering dieksekusi lewat pembangunan dinding turap atau pembetonan di pinggir sungai, maka naturalisasi tidak dieksekusi dengan cara demikian. Maka, alangkah tepatnya, jika kemudian dua langkah ini dipadukan, melakukan normalisasi sekaligus naturalisasi.

Mungkinkah bisa terwujud? (*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama