Presiden Terus Terang Katanya Sandiwara, Apalagi Sandiwara?


Oleh: Danny PH Siagian, SE., MM
Pemerhati Sosial Politik

Masih ada saja orang nyinyir yang menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) memainkan sandiwara politik, saat rapat Kabinet tanggal 18 Juni 2020 lalu di Istana Negara, yang beredar di masyarakat sekitar 10 hari kemudian, dalam bentuk youtube dan menjadi viral.

Bagaimana mungkin masih dinilai bermain sandiwara, padahal wajah Presiden jelas-jelas terlihat tegang, dan bicaranya saja sudah lantang bahkan hampir meledak. Apa kurang jelas sikap keterus-terangan seorang Jokowi untuk menyatakan dirinya sedang geregetan dan mungkin sedang galau mikirin negara dan rakyatnya saat ini?

Jika visual yang terlihat terang-benderang seperti itu masih dinilai sedang memainkan sandiwara, bagaimana pula gambarannya jika Jokowi dan para Menterinya sedang bermain sandiwara? Mungkin hanya Amien Rais dan para nyinyir lainnya yang bisa membuat skenarionya, berikut menata adegan-adegannya. Termasuk memilih para pemain sandiwara politik yang dimaksud.

Selain soal sandiwara politik, Amien Rais yang mengunggah video di akun Instagramnya, Kamis (02/07/2020) juga mengatakan, dengan mengaduh-aduh, rakyat akan kembali mempercayai Pak Jokowi, mencintai beliau. Video Rapat Kabinet tersebut dikatakan untuk mencitrakan satu-satunya yang benar dan berkinerja baik hanya Presiden Jokowi, bukan para menterinya.

Jika pernyataan tersebut ingin diuji, maka banyak pertanyaan yang harus diklarifikasi terlebih dahulu. Apa yang dimaksud dengan mengaduh-aduh? Darimana bisa disimpulkan bahwa Presiden sedang mengaduh-aduh? Di adegan mana dalam video Rapat Kabinet tersebut? Dikatakan agar rakyat kembali memercayai Jokowi dan mencintai beliau, apakah selama ini rakyat sudah tidak percaya lagi dengan Jokowi? Apa dasarnya mengatakan agar rakyat memercayai Jokowi dan mencintai beliau? Apakah Jokowi juga selama ini pernah meminta-minta supaya dipercayai kembali dan dicintai rakyat? Apakah sesederhana itu melalui Rapat Kabinet bisa langsung sim salabim rakyat kembali percaya dan mencintai Jokowi? Kenapa pula jadi personaliti Jokowi yang jadi objek tudingan, sedangkan kapasitasnya adalah sebagai Presiden?

Dikatakan video tersebut mencitrakan satu-satunya yang benar dan berkinerja baik hanya Presiden Jokowi, bukan para menterinya. Lho, bagaimana mungkin Presiden dibandingkan dengan para Menterinya, sedangkan yang mengangkat Menterinya adalah Presiden? Kenapa pula kinerja Presiden dibandingkan dengan kinerja para Menteri yang menjadi bawahannya? Bukankah Presiden telah mendelegasikan kewenangannya kepada para Menteri, dan Presiden berhak menilai para Menterinya? Bukankah kinerja para Menteri dalam Kabinet merupakan cermin dari kinerja Presiden dan tanggungjawab Presiden?

Jika kita simak pernyataan tersebut dengan alat uji itu saja, maka dapatlah kita sebut bahwa pernyataan itu sangat lemah atau tidak berdasar. Bahkan dapat dikatakan sangat dangkal. Lebih jauh lagi, bisa sebagai fitnah. Karena justru pernyataan tersebut masih banyak menimbulkan pertanyaan. Padahal, umumnya pernyataan itu merupakan sesuatu yang bersifat fakta maupun opini berdasarkan fakta yang meyakinkan, sehingga tidak menimbulkan gugatan macam-macam atau bahkan polemik, jika digunakan untuk menilai atau menuding sesuatu.


Perilaku Nyinyir
Mempelajari semakin maraknya perilaku nyinyir melalui media sosial (medsos), banyak yang justru terkena pasal UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), karena asal bunyi (asbun) seenak udelnya sendiri, tanpa mempertimbangkan soal etika dan peradaban.

Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sementara itu, dari segi psikologis, psikolog klinis Dr. M. M. Nilam Widyarini, M.Si, (sumber Liputan6) beranggapan bahwa, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang menjadi sering menindas, mencibir, menghujat, dan melecehkan orang lain di dunia maya. Pertama, mereka melakukannya demi target tertentu, misalnya untuk mendukung kepentingan kelompok (politik, agama, dan lainnya). Kedua, nyinyir karena perasaan emosi marah terhadap orang atau situasi yang ada, yang kemudian dilampiaskannya melalui media sosial.

Tidak hanya itu, beberapa orang melakukan tindakan cyber bullying dengan cara nyinyir juga bisa didorong oleh pengalaman masa lalu, di mana ia pernah menjadi salah satu korban kekerasan. Mereka menyimpan rasa amarah ketika menjadi korban dan melampiaskannya dengan cara melakukan bullying pada orang lain.

Berkomentar atau nyinyir di media sosial mungkin memang merupakan hal yang sering dilakukan. Namun, Nilam menegaskan jika kondisi ini juga bisa digolongkan sebagai kelainan mental apabila seseorang melakukannya di luar kontrol kesadaran, kemudian dibarengi dengan delusi dan halusinasi.

Adapun Konsultan SDM di Lembaga Psikologi “Psycognito” Semarang, Harfi Muthia Rahmi, M.Psi. mengatakan, sifat nyinyir asal muasalnya karena seseorang memiliki gangguan kepribadian yang berdampak dengan terganggunya kepribadian sosialnya. Ini masuk gangguan kepribadian narsistik. Orang yang menderita kondisi ini merasa yakin bahwa dirinya lebih istimewa dibandingkan orang lain (pijarnews.com, 28 Juli 2019).

Dikatakan, kepribadian tersebut, cenderung arogan dan terus-menerus mengharapkan pujian dari orang lain. Mereka akan membanggakan dan melebih-lebihkan prestasi yang dicapai. Ketika merasa ada orang lain yang lebih unggul daripada mereka, penderita gangguan kepribadian narsistik akan merasa sangat iri.

Kembali ke tudingan Amien Rais dan para nyinyir senada lainnya, dengan pernyataan sandiwara politik, mengaduh-aduh, dan lain-lainnya yang tidak berdasar itu, maka jangan-jangan mereka sedang mengalami delusi, halusinasi atau sedang melampiaskan kemarahannya, entah disebabkan oleh apa dan siapa, atau oleh karena situasi.

Bisa juga, mereka-mereka sedang butuh pujian atau pengakuan dari orang lain (yang mungkin tak kunjung tiba), atau mereka melakukannya demi target tertentu, misalnya untuk mendukung kepentingan kelompok (politik, agama, dan lainnya). Atau karena mereka tidak sudi melihat keberhasilan orang lain, selalu merasa benar sendiri dan istimewa, sedang yang lain adalah dibawah kecerdasannya.

Atau jangan-jangan, mereka sudah terbiasa dengan sandiwara politik, sehingga menganggap kejujuran Presiden Jokowipun menjadi sebuah sandiwara, dan mereka mungkin jadi khawatir karena merasa tersaingi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama