Para Peserta Webinar Nasional Bergengsi Guru Di Atas Garis, Ikuti Acara Dengan Antusias

Para nara sumber, host dan peserta Webinar Guru Diatas Garis, September 2020

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Para peserta Webinar Nasional Bergengsi ‘Guru Diatas Garis’, yang pesertanya memang  kebanyakan guru dari berbagai daerah itu, mengikuti acara dengan penuh antusiasme, melalui aplikasi zoom meeting.

Hal ini tak lepas dari peran Host Sabam Sopian Silaban, yang juga terbiasa sebagai motivator dalam pelatihan SDM itu, menggoyang suasana penuh spirit sejak awal. Dengan suara  lantang dan semangat bertubi-tubi, Sabam menyapa dengan akrab dan bersahabat, sekaligus menularkan energi positip kepada 44 peserta itu. 

Ditambah spirit yang terbangun dari 3 (tiga) nara sumber Webinar yang piawai dalam menyampaikan materi paparannya dengan berbagai contoh dan ungkapan-ungkapan filosofis. Kadang juga diselingi humor, sehingga membuat suasana hampir 3,5 (tiga setengah) jam tak terasa membosankan.

Webinar itu sendiri digelar hari Sabtu, 12 September 2020, dari pukul 09.00 dan berakhir pukul 12.29 WIB, yang dikendalikan host Sabam dari wilayah timur Jakarta. Sedangkan ketiga nara sumber berada di wilayah Medan, Sumatera Utara.

Setelah mengawali acara dengan menyanyikan bersama lagu kebangsaan Indonesia Raya, Sabam Silaban, si penulis buku “Guru Diatas Garis” itu menjelaskan, bahwa webinar tersebut merupakan rangkaian pelatihan berseri dan memiliki bobot nilai tersendiri, dimana nantinya dapat dijadikan bekal penilaian peserta, yang ingin mengikuti kelanjutan tahap pelatihan berikutnya. 

Memasuki sesi webinar, Sabam memberikan kesempatan pertama kepada nara sumber Prof. Dr. Ir. Albiner Ruplin Raylen Pamimpin Siagian, M.Si, Guru Besar Tetap Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Prof. Albiner (panggilan akrabnya) membawakan judul presentasi ‘Menjadi Guru Yang Humanis’. 

Menurut Prof. Albiner, guru sekarang ini sedang berada dalam tantangan Era Industri 4.0, bahkan sedang bersiap masuk Era Industri 5.0, sehingga harus mampu memandang dari berbagai perspektif. Sebab sering pikiran manusia itu menjadi lawan dirinya sendiri, sehingga sulit beradaptasi, apalagi berkembang. 

Dikatakan Guru Etos dan Revolusi Mental ini, misalnya, menganggap diri cuma guru di kampung-kampung, yang berpikir: yah... mau bilang apa lagi, yah..terima sajalah, apa boleh buatlah, yah begini sajalah, sebab mau berkembang juga susah. 

“Nah, yang begini ini adalah cara pandang pesimistik. Tak ada semangat. Bukan optimistik, yang selalu berorientasi positip,” ujarnya. 

Padahal dalam ‘Psikologi Positif’ menekankan pentingnya berpikir optimistik. Artinya memandang dunia di sekeliling kita dengan perspektif yang positif. Sedangkan Psikologi Positif itu adalah aliran psikologi yang menerapkan ilmu psikologi bagi tumbuhnya insan-insan yang bermental positif dan optimistik untuk menggapai kebahagiaan sejati, sebagaimana dalam buku “Learned Optimism–How to Change Your Mind and Your Life” oleh Martin Seligman, Profesor Psikologi University of Pensylvania (Bapak Psikologi Positif).

Oleh sebab itu, penulis buku Humanisme Seorang Guru ini mengatakan, dalam menghadapi tantangan 4.0 yang diikuti perkembangan teknologi, perlu merevolusi mindset. 

“Kita membutuhkan Mindset Revolution atau Revolusi Pola Pikir. Dimana Pola Pikir (Mindset) merupakan sekumpulan keyakinan dan cara pikir yang menentukan perilaku, tampilan, dan sikap mental seseorang, dan Revolusi Mindset itu adalah perubahan kerangka berpikir secara mendasar yang terjadi dalam waktu yang singkat,” bebernya.

Lebih jauh, Albiner mengatakan, selama pengalamannya mengajar 25 tahun, pada dasarnya tidak ada manusia yang terlalu bodoh untuk diajar. Karena pada umumnya, manusia itu dilahirkan memiliki potensi dan talenta masing-masing.

Sementara itu, terkait guru sebagai pengajar, dia katakan barangkali ada guru yang masih merasa memiliki kuasa, dan tidak pernah mendengarkan apa yang ada dalam pikiran para siswanya. Padahal, anak-anak mestinya jadi diri mereka, seperti dikatakan Khalil Gibran, dimana anak-anak harus menjadi diri mereka sendiri: yang asli, otentik, dan terbaik (bukan untuk dimiliki dan dimanfaatkan oleh orang tua mereka).

“Maka menjadi guru itu harus kredibel dan visioner.  Kredibel itu berarti memiliki integritas, kapabilitas, dan otoritas. Sedangkan Visioner, berarti memiliki teropong batin dan peta mental sebagai panduan kepemimpinan. Guru yang kredibel, berarti dimana orang tua tidak merasa ragu anaknya didik oleh guru tersebut,” tandasnya.

Sedangkan pendidik yang humanis harus mengajar dengan tiga pendekatan yaitu: dialogis, reflektif dan ekspresif. Maka jika kita sudah mampu merubah mindset, maka kita akan mampu beretos kerja yang hebat.

Masuk ke pembicara kedua, Mardi Panjaitan, S.Pd., M.Si, Guru SLB dan SMA Swasta di kota Medan yang juga adalah ASN mengatakan, guru diatas garis harus memiliki kebiasaan proaktif, sebagaimana tertulis dalam buku Stefen R. Covey, ada 7 (tujuh) habit, dimana yang pertama adalah proaktif. 

Dalam buku tersebut, kata Mardi, seseorang yang bersikap proaktif, mampu memberi jeda antara datangnya stimulus dengan keputusan untuk memberi respon. Pada saat jeda tersebut seseorang yang proaktif dapat membuat pilihan dan mengambil respon yang dipandang terbaik bagi dirinya. 

Dicontohkan Guru SLB ini, dirinya sejak pandemik bulan Maret, banyak pekerjaan yang pending, karena berbagai hambatan atau pembatasan menghindari Covid-19. 

“Tapi kalau kita proaktif, maka tidak pasrah begitu saja. Kita harus tetap bergerak. Merespons situasi yang terjadi, dan bagaimana cara melakukan penyesuaian dengan inovasi. Awalnya banyak yang mengeluh, siswa dan guru. Tapi tanpa disadari, kita sekarang jadi bisa sebagai kameraman, presenter, editor, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Sebab itu menurutnya, guru harus proaktif. Mengerjakan semua secara bertanggungjawab, menaklukkan semua hambatan yang ada, dengan memilih respons untuk bertindak.

“Karena guru yang proaktif, adalah guru yang tidak pernah puas terhadap apa yang telah dipelajarinya. Guru proaktif harus visioner, punya mimpi ke depan. Bermimpilah setelah anda bangun. Karena kalau bermimpi dalam tidur, itu adalah hanya bunga mimpi,” katanya sambil tertawa.

Diungkapkan Mardi, kalau guru melihat siswanya, apakah pernah memikirkan siswanya nanti akan jadi apa dan seperti apa?

“Guru diatas garis harus punya mimpi terhadap siswanya. Akan jadi apa siswa tersebut ke depan? Maka, berjuanglah untuk jadi guru diatas garis dengan melakukan misi, karena misi adalah upaya untuk mewujudkan mimpi,” tandasnya.

Sebab menurutnya, setiap siswa memiliki potensi dan bakat yang berbeda-beda. Jadi, Guru Diatas Garis itu, harus mampu membaca dan mengarahkan siswanya mengembangkan potensi yang dimiliki. 

Disisi lain, untuk menjadi Guru Diatas Garis, seorang guru itu juga harus mampu menulis buku. Tentu, harus giat membaca banyak referensi sebelumnya, hingga dapat menulis buku, dan kemudian mendapatkan manfaat ekonomisnya.

Sebagai pembicara terakhir, Abdul Latif Rusdi, M.Pd, Guru Olahraga SMP Negeri 39 Medan, Penulis Buku “Guru Olahraga di Era 4.0” membawakan judul paparan “Siap dan Aktif menjadi guru Berteknologi”, sebagaimana yang ada di buku yang ditulisnya. Dia mengutip pernyataan Prof. Dr. Syawal Gultom, Rektor Unimed, Medan (2019) yang mengatakan, bahwa peran guru tidak akan pernah tergantikan kecerdasan buatan ataupun robotik. 

Menurutnya, menjaga gap antara perkembangan teknologi dengan kemampuan, adalah sebuah keniscayaan. Tapi bagaimana sesegera mungkin dapat menyesuaikan perkembangan teknologi tersebut hingga mampu mengambil peran dan jangan sampai tertinggal, serta harus mampu mengikuti perubahan jaman. 

Dikatakan Latif dalam meningkatkan pembelajaran dengan menggunakan teknologi. Secara virtual, membuat sesuatu di dunia maya seperti nyata, dengan mengandalkan Visual Big Data, si canggih yang tahu segalanya. 

“Guru memang harus mengetahui dan menguasainya. Tapi kita juga harus punya data para siswa kita, supaya kita bisa mengkombinasikan. Memang harus banyak mempelajari beragam aplikasi pembelajaran. Mulai membuat modul belajar, ketersediaan buku keolahragaan, media pembelajaran, model pembelajaran dan pengaplikasiannya sesuai dengan kebutuhan siswa saat ini,” paparnya.

Diceritakan, dulu soal teknologi ini membuat banyak guru yang apatis, Tapi sekarang tanpa disadari, para pendidik sudah lebih banyak yang mampu. 

Pesatnya perubahan teknologi, membuat seorang guru harus mampu juga mengayomi siswa milenial, menciptakan karya, kreatif dan inovatif.

“Sekarang orang-orang bahkan ada yang bisa membuat start up. Siapa tau guru bisa dengan inovasi membuat aplikasi baru yang juga mampu bernilai ekonomi. Jadi kita sebagai objek teknologi, tapi juga sekaligus sebagai orang yang mengkreasi, menciptakan. Bahkan kolaborasi para guru juga dibutuhkan,” tandasnya.

Kita dihadapkan ke revolusi industri 5.0, dimana yang 4.0 sebenarnya belum tuntas. Tapi dengan adanya pandemik, sudah diakselerasi langsung ke 5.0. Sehingga jangan sampai kita tidak bisa mengendalikan teknologi itu sendiri.

 Dia juga mengatakan, ada konsekwensi perkembangan teknologi, yang membuat para siswa tidak mengenal lagi permainan-permainan klasik zaman dulu kanak-kanak, sebagaimana tradisi yang sudah ada.

“Bagi kami guru olah raga, ini juga saatnya back to basic. Selain olah raga, kami juga mengajarkan main engkrang, alip-alipan, dan permainan tradisionil lainnya. Agar kekuatan budaya pada diri siswa, dapat menjadi benteng dari serbuan perkembangan di era 5.0,” harapnya.

Usai pembicara ketiga, moderator Sabam mengatakan pertanyaan yang sudah banyak tersedia di chatting room, akan dijawab secara personal langsung para nara sumber, karena waktu sudah lebih dari tiga jam. 

Namun, melihat antusiasme peserta, beberapa diantaranya diberi kesempatan mengungkapkan kesan dan pesannya. Antara lain dari: Tanjung Balai, Bandung, Tarutung, Medan, dan beberapa wilayah  lainnya. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama