Tommy Soeharto: Ingin Hidup Berdemokrasi, Tapi Kenapa Harus Rampas Demokrasi?

Tommy Soeharto

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Hutomo Mandala Putra yang akrab disebut Tommy Soeharto, ternyata secara perlahan tapi pasti, mampu  menjadi Ketua Umum Partai. Terbukti dalam Pemilu 2019 lalu, bersama Partai Berkarya yang dipimpinnya, mendapat perolehan suara signifikan dan tersebar di seluruh tanah air.

Tommy-pun jadi perhatian banyak kalangan, terutama para politikus. 

‘’Ada yang simpati, tapi banyak juga yang memandang sebelah mata,'’ kata Tommy sambil menambahkan, karena masih dianggap anak bawang di kalangan internal partai-pun sebagian ada yang beda pendapat. 

Beda pendapat adalah hal yang lumrah dan wajar. 

‘’Kita hargai sebagai anugerah. Tapi jangan karena perbedaan cara pandang, organisasi dikorbankan,’’ tegas Putra Mantan Presiden RI kedua itu.

Menurut Tommy, dalam era demokrasi yang bebas ini, seharusnya kita bersatu padu, membangun bangsa dan negara menjadi bangsa dan negara yang maju sejahtera dan bermartabat. Dalam era demokrasi millenial seperti ini, bukan zamannya  membuat tandingan-tandingan dalam satu Organisasi Politik, apalagi merampas dan saling merasa paling berhak dan paling bisa memimpin Parpol.

’’Jika merasa perbedaan itu dianggap tidak mungkin mencapai titik temu, sikapi dengan sikap ksatria, bentuk partai baru,’’ tegasnya. 

Diketahui, Partai Berkarya pimpinan Tommy Soeharto, digoyang oleh Kelompok MP, melalui Munaslub beberapa bulan lalu. Anehnya Hasil Munaslub itu ditetapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,  dengan Keputusan Nomor : M.HH-17.AH.11.01 Tahun 2020.

Dalam keputusan aquo juga ada klausula nomor tiga bagian akhir mencabut Keputusan Nomor: M.HH-04.AH.11.01 tahun 2018. Partai Berkarya dalam Munaslub dirubah menjadi Partai Beringin Karya. 

Keputusan itulah yang dijadikan objectum litis atau pokok gugatan di PTUN Jakarta.

‘’Dalam keputusan aquo, dapat diduga telah terjadi 'abuse of power' penyalagunaan kewenangan yang dilakukan oleh Pejabat Negara. Karenanya, digugat di PTUN dengan Petitum atau permohonan agar keputusan aquo dibatalkan demi hukum dan menurut hukum,’’ kata Be Surosowan, kuasa Hukum Tommy, Minggu (27/09/2020) kepada media di Jakarta. 

 Be Surosowan, kuasa Hukum Tommy Soeharto

Menurut Be Surosowan, ada perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan oleh Pejabat negara atau Penguasa yang lazim disebut 'onrechtmatig overhead daad.' Patut diduga, telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang  menjadi dasar hukum dalam Adminitrative Law dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan good governance. 

Dalam menerbitkan Keputusan tersebut, sang Menteri mengabaikan banyak hal, yang seharusnya menjadi pertimbangan. 

’’Itulah jika Politik Hukum dan Hukum Politik diterapkan dalam Pemerintahan. Akibatnya, netralitas sebagai abdi negara menjadi keberpihakan," tandasnya.

Mengutip sebuah pernyataan yang cukup menarik dari mantan Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill, yang berkata bahwa kebenaran sangatlah berharga sehingga harus dikelilingi oleh pengawal-pengawal kebohongan. Kejujuran tidak pernah menjadi keutamaan politik. 

Sementara untuk menutupi celah antara pernyataan dan kenyataan, politikus tidak memberi kebenaran. Tetapi pembenaran. 

"Kami berharap, sengketa dalam perkara ini tetap berpijak pada hukum yang adil," pungkasnya. (DANS/BAMS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama