Pemerintah Diminta Waspadai Kebangkitan HTI


Pemerintah diminta untuk mewaspadai dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diyakini terus berupaya bangkit. Meski sudah dibubarkan oleh pemerintah pada 2017 silam, sesuai Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi tersebut dianggap hanya bersalin rupa dan terus eksis di bawah tanah.

“Mereka tidak pakai baju HTI lagi tapi mereka gunakan istilah lain tapi seruannya sama, orangnya sama. Ingat HT selalu berupaya melakukan kudeta pada pemerintah yang sah baik di Yordania, Mesir, Iran, Turki, dan Pakistan. Pembodohan kalau mereka selalu mengatakan (berjuang damai) tak menggunakan senjata karena suatu saat pasti akan pakai senjata,” kata mantan pimpinan Jamaah Islamiah, Nasir Abbas, dalam webinar, Sabtu (17/10/2020).

Dalam webinar bertema “Membaca Gerakan Khilafah dan Ekstrimisme di Abad 21” itu juga turut bicara, diantaranya, adalah Ainur Rofiq al Amin (mantan anggota HTI dan Savic Ali pendiri media Islami.co dan pegiat media sosial.

Lalu siapa yang akan menggunakan senjata bagi Hizbut Tahrir? Nasir menambahkan, “Aparat. Mereka ini terus bergerak merekrut tentara dan polisi karena mereka punya senjata. Di Mesir yang menembak presiden Mesir adalah perwira tentara yang terpapar Hizbut Tahrir sehigga HTI tidak cukup hanya dilarang (tapi ditangkap). Manhaj HT itu kalau berhukum Islam termasuk faktor yang mewajibkan angkat senjata ke muka hakim. Hakim itu maksudnya pemerintah.”

Selama ini memang HTI tidak bisa ditangkap karena dianggap tidak melakukan aksinya melalui senjata dan teror melainkan dakwah. Ini memang berbeda dengan JI, NII, JAT, atau JAD yang punya jalur dakwah dan senjata. Juga berbeda dengan MIT yang hanya menggunakan jalur senjata. Namun bagi Nasir semua itu pada akhrnya sama yakni menegakan daulah khilafah.

Dia menyoroti transformasi narasi yang digunakan oleh kelompok pro khilafah untuk mengganti NKRI. Seperti Menegakkan Negara Islam/Darul Islam, Menegakkan Daulah Islamiah, Menegakkan Khilafah, Menegakkan Syariat Islam, Iqomatudddin (Menegakkan agama Islam), Li Illa Kalimatillah (demi menegakkan kalimat Allah), dan NKRI Bersyariah.

”Jadi ini diawali dari proses yang salah atau gagal paham, lalu intoleransi, radikalime, dan terorisme. Saya ingatkan mereka jangan sampai masuk neraka karana ingat Surat An Nisa 97. (Kalau memang menganggap Indonesia kafir) maka hijrahlah. Misalnya ke Brunai yang sudah Islam. Seperti Nabi tidak merusak Mekak tapi pergi ke Madinah,” urainya.

Ainur menambahkan jika kelompok seperti HTI mengeskploitasi bobrok pemerintah untuk menyudutkan demokrasi. Misalnya ada pemimpin yang korup maka itu akan dijadikan sample rusaknya pola demokrasi dan mereka membuat alternatif berupa bayang-bayang idealnya khalifah dan NII. Maka itu Ainur berharap tidak ada lagi pejabat bobrok.

“Ajakan saya kepada penguasa dan pejabat janga sampai menunjukan hal yang bobrok karena itu bisa jadi santapan empuk bagi kelompok radikal dan khilafah. Semakin bobrok maka mereka makin punya kesempatan masuk dan itu jadi celah,” lanjutnya.

Sementara Safic Ali menambahkan saat ini ada 271 juta pengguna internet di Indonesia. Di sisi lain Indonesia juga muncul sebagai lima besar negara dunia yang penduduknya percaya kepada agama. Makanya saat ini internet dan media sosial dijadikan platform bagi kelompok radikal untuk mencari pengikut termasuk di Indonesia.

“Banyak sekali akun-akun yang diawalnya menggunakan video dari BBC namun di tengah disisipi video ISIS. Ini untuk mengakali artificial intelligence milik Facebook. Data juga menunjukan jika kelompok radikan ini pembaca fanatik situs-situs tertentu dan mereka tidak baca portal lain. Akhirnya yang lahir adalah pembaca dengan kacamata kuda. Bahaya ini,” tegasnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama