Mabes Polri Diminta Menyita SHM Dan Uang Hasil Lelang Villa Kozy Milik Rita KK

Gedung Mabes Polri

JAKARTA (wartamerdeka.info) -  Pengacara Hasanuddin Nasution, SH, MH, mengatakan kekecewaannya akan kinerja penyidik Kepolisian.

Kasus pidana oknum pejabat Bank Swadesi yang kini beralih menjadi Bank Of India Indonesia (BOII) sudah dua kali di-Propam-kan tapi prosesnya masih jalan ditempat.

"Pengaduan ke Propam pertama di Polda Bali dan kedua di Mabes Polri. Namun tetap saja penanganannya lelet, tersendat-sendat bahkan nyaris jalan di tempat atau tanpa progress selama 10 tahun," kata Hasanuddin.

Advolat Hasanuddin Nasution adalah kuasa dan penasihat hukum Rita KK/PT RK yang tengah memperjuangkan keadilan atas hartanya dengan mempertanyakan penanganan kasus perbankan di Bank Swadesi/Bank Of India Indonesia/(BOII) yang tak kunjung tuntas selama kurun waktu hampir 10 tahun. 

Alat bukti kasusnya antara lain berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) dan uang hasil lelang atas Villa Kozy milik debitur Rita KK juga tidak kunjung disita penyidik walau Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sudah menerbitkan penetapan penyitaan atas barang-barang bukti terkait kasus perbankan tersebut.

Sepulang dari Mabes Polri pengacara Hasanuddin mencari tahu tindak lanjut penanganan kasus perbankan dengan 21 tersangka. Salah satunya eks Dirut BOII Ningsih Secuati tengah diadili di PN Jakarta Pusat - mengatakan kekecewaannya akan kinerja penyidik Kepolisian. 

"Janganlah terjadi seperti dalam syair lagu, pertama dan kedua tidak apa-apa, tetapi janganlah sampai untuk ketiga kalinya di-Propam-kan," katanya mengingatkan.

“Selain barang bukti yang belum disita, ke-20 direksi, komisaris dan pimpinan BOII yang sudah di BAP bahkan ditetapkan tersangka tetapi saat dipanggil-panggil tidak mau datang dan tidak diapa-apain pula. Kalau sudah tidak kooperatif jangan lagilah dibiarkan bebas. "Tahan saja demi kepastian hukum dan progress penanganan kasus itu," tutur advokat senior ini.

Jika SHM dan dana hasil lelang Villa Kozy yang disetorkan ke bank diamankan, dan disita pula barang bukti lainnya, terlebih dimasukkan ke dalam tahanan para tersangka, Hasanuddin optimis penanganan kasus tersebut akan lancar dan cepat. Namun jika terus dibiarkan terseok-seok penanganannya, bukan tidak mungkin menjadi ada kesan atau seolah-olah bank asing dibiarkan beroperasi bahkan terus merajalela melakukan perbuatan melawan hukum atau tindakan kriminal kerah putih (white collar crime) terhadap debitur-debiturnya.

“Kami dengar masih ada juga beberapa saksi kunci yang telah dipanggil dua kali namun tidak memenuhi panggilan polisi tetapi tetap saja tidak dijemput paksa saksi tersebut. Ini kan mengesankan mereka itu kebal hukum. Kami dan boleh jadi juga pihak Kepolisian tidak menghendaki di-Propam-kan untuk ketiga kalinya kaitan tersendat-sendatnya penanganan kasus perbankan ini,” harap Hasanuddin.

Mestinya ke-20 tersangka, kata Hasanuddin, sudah terpidana atau paling tidak selesai menjalani proses persidangan di peradilan tingkat pertama. Nyatanya baru status tersangka saja disematkan. Bahkan salah seorang tersangka yaitu Prakash Chugani kini berada di Singapura. Dengan status tersangka kenyataan ini menunjukkan hukum dipermainkan.

Sebagai negara hukum, Hasanuddin berharap, negara dalam hal ini diwakili Mabes Polri seharusnya memberi kepastian hukum kepada setiap pencari keadilan terlebih yang sudah bertahun-tahun dizolimi. Jangan setiap ditanya penyidik, jawaban yang diberikan belum ada dan belum ada perintah melulu.

Hasanuddin menganggap kasus perbankan di BOII sesungguhnya kecil hingga seharusnya dapat dituntaskan secepatnya dan tidak bertele-tele seperti saat ini. Di samping sita SHM Villa Kozy sebagai obyek sengketa, villa tersebut seyogyanya jangan lagi disewakan entah oleh siapa. "Obyek sengketa itu seharusnya dalam pengawasan Mabes Polri atau distatusquokan saja, dan bukan disewakan terus menerus oleh pemenang lelang agunan debitur itu," ujar Hasanuddin.

Hasanuddin juga menyinggung terdakwa bekas Dirut BOII Ningsih Suciati, salah satu dari 21 yang terlibat dalam kasus perbankan di BOII, yang telah dituntut lima tahun ditambah denda Rp 5 miliar subsider tiga bulan penjara. Dia berharap majelis hakim PN Jakarta Pusat agar menghukum residivis itu sesuai dengan perbuatannya. "Kami berharap majelis hakim dapat menjaga marwah, citra dan kehormatan sehingga pengadilan tetap sebagai rumah keadilan bagi pencari keadilan termasuk Rita KK," pintanya.

Rita KK/PT RK mengajukan kredit ke Bank Swadesi/BOII dengan agunan Villa Kozy. Ketika usaha Rita KK hadapi kendala dimohonkan restrukturisasi ke BOII. Namun bukan yang dimohonkan yang dilaksanakan. Tetapi upaya pelelangan agunan Villa Kozy yang digenjot. Saat dilakukan penolakan bahkan perlawanan sengit atas upaya lelang, BOII akhirnya melelang villa itu semurah-murahnya (Rp 6,3 miliar) dari harga appraisal jauh sebelumnya Rp12 miliar. Rita KK yang mempunyai pinjaman Rp 10,5 miliar akhirnya tetap ditagih dan dikejar-kejar hutang kreditnya. Sementara Villa Kozy oleh pemenang lelang telah diagunkan lagi ke bank dengan pinjaman Rp 38 miliar. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama