Bupati Yes Dan Pemimpin Yang Gesit

Oleh : W. Masykar

Pemahaman tentang leadership agility atau pemimpin yang gesit di era pandemi Covid-19 dan beradaptasi dengan kebiasaan sangat penting bukan hanya bagi seorang pemimpin, tapi juga para Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk merespon kebutuhan masyarakat agar bisa memberikan pelayanan publik cepat dan berkualitas.

Itu disampaikan Bupati Lamongan Yuhronur Efendi dalam webinar yang diselenggarakan Hijrah Coach, Jumat (12/11). Hadir secara virtual sebagai narasumber talkshow yang berfokus pada agile leadership sektor pemerintahan, perkembangan kota serta sektor usaha Nasional bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  Sandiaga Salahuddin Uno.

Bupati Lamongan menyampaikan metode dan praktik terbaik agile leadership dalam pengembangan daerah, khususnya di Kabupaten Lamongan.

Dan dia harus menjadi role model dalam pemerintahan, memiliki kemampuan menggerakkan sumber daya aparatur agar memiliki cara pandang atau mindset yang sama dalam mencapai tujuan organisasi, Kejayaan Lamongan yang Berkeadilan. 

Cara pandang yang agile, kata Pak Yes selalu diterapkan dan dipraktekkan  dalam pengambilan kebijakan. Dengan demikian pola kerja pemimpin yang adaptif, cepat, responsif telah terinternalisasi pada diri ASN di Pemerintah kota Soto itu.

mindset organisasi pemerintahan yang kaku dan penuh hirarki menuju cara pandang yang agility, meski tentu bukan hal yang mudah bahkan harus diawali dari pemimpinnya.

Apa itu, leadership agility? Sebuah model kepemimpinan yang mampu menavigasi organisasi lebih adaptif, produktif, dan unggul dalam segala situasi. Gaya kepemimpinan lincah dengan ciri utama cepat dan fleksibel. (Speed and Flexibilily). Mengutamakan  model kolaborasi tinimbang gaya perintah. Lebih mengedepankan pelayanan atau melayani tinimbang mengendalikan atau mengatur.

Kelenturan dan kegesitan merupakan pilar utama dari model kepemimpinan agility ini. 

Model tradisional membuat prediksi dan perencanaan jangka panjang, sementara, model  agile leadership  fokus pada penyediaan visi, arah, dan strategi organisasi. Manajemen gesit tidak mengontrol pekerjaan dan penugasan, namun pembinaan tim dan organisasi/kelembagaan sehingga mampu mandiri.

Model agile membiarkan orang yang paling dekat dengan masalah untuk mencari solusi yang tepat, sehingga pemecahan masalah tidak lagi terpusat di atas. Mereka memotivasi orang lain melalui pemberian, kewenangan, dan tujuan, bukan lagi mengandalkan pada insentif ekstrinsik seperti kenaikan gaji,  atau jabatan.

Hanya saja, kelemahan dari pemberian kewenangan ini, kadang kebablasan. Kebijakan, bahkan tidak jarang dibuat justru merugikan atasan. 

Contoh, pada saat mutasi pergeseran jabatan beberapa waktu kemarin. Begitu pergeseran digulirkan, publik langsung terperangah karena dinilai tidak sesuai dengan ekspektasi pendukung. Pada gilirannya, isu yang berkembang adalah bahwa lingkaran orang berpengaruh di sekitar bupati lah yang melahirkan kebijakan mutasi atau pergeseran pejabat yang kontroversial itu. Dengan kata lain, pembisik. 

Meskipun dalam management fleksibility dan speed ini, dalam hal informasi terus bergerak aktif mendekati tempat tempat informasi, sehingga tidak hanya pasif menunggu informasi mengalir ke atas melalui laporan dan rapat. Tapi aktif menggali.

Itu sebabnya, mengadopsi model kepemimpinan agile untuk diterapkan di Jalur birokrasi tidak otomatis sama persis seperti ketika model ini diterapkan di suatu perusahaan. Karena perusahaan adalah organisasi/lembaga usaha yang profit oriented, sementara di organisasi/lembaga birokrasi lebih dominan pelayanan dan melayani. Apalagi, ketika birokrasi sudah dirasuki/diintervensi politik, maka politisasi birokrasi adalah sebuah keniscayaan sehingga model kepemimpinan yang lentur dan gesit ini, harus tetap mempertimbangkan aspek aspek politis. Bukankah begitu?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama