JAKARTA (wartamerdeka.info) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengajak para pelaku usaha memanfaatkan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). Selain sebagai upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal, maupun Nationally Determined Contribution (NDC) berupa penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Keberadaan Perpres tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara penggerak dunia yang melakukan penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
"Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprediksi potensi perdagangan karbon di Indonesia bisa mencapai Rp 350 triliun. Besarnya potensi ekonomi tersebut tidak lepas dari karena Indonesia mampu menyerap sekitar 113,18 gigaton karbon. Diperoleh dari luasnya hutan hujan tropis di Indonesia yang merupakan terbesar ketiga dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Luas hutan mangrove mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove. Serta lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton," ujar Bamsoet usai menerima Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia, di Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Pengurus Asosiasi Perdagangan Karbon Indonesia yang hadir antara lain Ketua Umum Riza Suarga dan Wakil Ketua Umum Poempida Hidayatullah, Mutho Kuntjoro, Trimo Pamudji Al Djono, dan M. Muqowam.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menjelaskan, jika diterapkan secara serius, perdagangan karbon Indonesia bisa mengejar China, yang sudah meluncurkan mekanisme perdagangan karbon sejak Juli 2021 dengan skema carbon emission trading scheme (ETS). Kementerian Ekologi dan Lingkungan Cina melaporkan, sejak diluncurkan pada Juli 2021, hanya dalam waktu empat bulan saja volume perdagangan kumulatif karbon di China telah mencapai 1,044 miliar yuan atau sekitar Rp 2,2 triliun.
"Indonesia bisa memanfaatkan potensi pembeli karbon dari berbagai negara dunia yang memiliki keterbatasan hutan. Seperti Amerika Serikat, berbagai negara Eropa dan Asia lainnya," jelas Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini menerangkan, sejalan dengan upaya Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060, IMI juga gencar mengkampanyekan migrasi kendaraan berbahan bakar minyak ke bermotor listrik, sebagai bagian dari upaya menggairahkan sektor ekonomi jihau (Green Economy). Serta sejalan dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.
"Kalangan dunia usaha harus responsif terhadap potensi industri berbasis ekonomi hijau yang akan menjadi primadona investasi masa depan dunia. Antara lain terdiri dari industri kendaraan listrik dan sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin. Selain bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia, Ekonomi Hijau juga mampu menyerap banyak tenaga kerja, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan demi masa depan bumi yang lebih baik," pungkas Bamsoet. (A)