Oleh: Andre Vincent Wenas, M.M., M.B.A*) |
Mengapa disebut rabun atau myopic? Sebab rabun (myopia) merupakan kondisi ketika seseorang mengalami kesulitan untuk melihat objek dengan jelas. Berat sebelah pula. Jadinya buram.
Pak
Syarief Hasan (Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat), seperti diliput
TribunNews.com (Sabtu, 26 Februari 2022), di bawah judul berita “Demokrat
Ungkap Jokowi Bakal Wariskan Utang Rp 7 Ribu Triliun Kepada Generasi Milenial,”
mengatakan: "Utang kita itu baik pemerintah swasta maupun pemerintah dan
swasta sudah 41 persen lebih. Hampir kurang lebih Rp 7.000 triliun. Artinya
kewajiban kita membayar utang itu sangat luar biasa. Artinya secara terus
terang itu APBN kita tidak sehat."
Dengan
segala hormat, sebentar saja kita ingin mengomentari pernyataan publik politisi
senior Partai Demokrat yang juga mantan Menteri Negara Koperasi & UKM di
era SBY ini. Sekarang beliau juga sebagai Wakil Ketua MPR-RI.
Konteksnya
adalah beliau mewakili Partai Demokrat menyoroti hasil survei yang menyatakan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih memiliki tingkat kepuasan yang tinggi di
masyarakat.
Dan
hal itu olehnya dinilai kontradiktif dengan kenyataan yang ada di masyarakat.
Dimana salah satu kontradiksinya adalah posisi utang Indonesia yang mencapai
hampir kurang lebih Rp 7 ribu triliun.
Karena
ini adalah pernyataan di ruang publik, tentu boleh juga kita tanggapi di ruang
yang sama.
Seperti
sudah berkali-kali coba diterangkan oleh Menkeu Sri Mulyani (juga di ruang
publik), bahwa membaca (neraca) keuangan negara itu mesti menyeluruh.
Kita
pahami, bahwa menyeluruh itu artinya mesti melihat sisi neraca yang lengkap.
Yaitu, aspek Utang (kewajiban) dan aspek Modal (ekuitas) di satu sisi, yang
diimbangi dengan aspek Aset (harta) di sisi sebelahnya.
Cepat
saja, kita mengacu ke Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020 (yang
terbit tahun 2021) dan sudah diaudit oleh BPK-RI. Beginilah posisi neraca
keuangan negara kita:
Total
Aset per tahun 2020 adalah Rp 11.098,67 triliun. Terdiri dari Aset Lancar Rp
665,16 triliun, Investasi Jangka Panjang Rp 3.173,07
triliun,
Aset Tetap Rp 5.976,01 triliun, Piutang Jangka Panjang (neto) Rp 59,32 triliun,
dan Aset Lainnya (neto) sebesar Rp 1.225,10 triliun.
Nah,
aset ini dibiayai dari sisi kewajibannya (Utang) dan Modal (ekuitas), yang
tergambar sebagai berikut: Kewajiban di tahun 2020 adalah sebesar Rp 6.625,47
triliun. Terdiri dari Kewajiban Jangka Pendek Rp 701,60 triliun dan Kewajiban
Jangka Panjang Rp 5.923,87 triliun.
Dengan
demikian, jumlah Ekuitas per tahun 2020 adalah sebesar Rp 4.473,20 triliun.
Apakah
Utang yang Rp 6.625,47 triliun di tahun 2020 itu ada kenaikan dibanding tahun
sebelumnya (2019)? Ya ada kenaikan, Utang di tahun 2019 adalah sebesar Rp
5.340,22 triliun. Tetapi…
Tetapi
jumlah kekayaan (total aset) negara kita pun juga naik. Dari Rp 10.467,63 triliun
di tahun 2019, naik di tahun 2020 menjadi Rp 11.098,67 triliun!
Jadi,
jika diukur dalam indikator rasio solvabilitas (debt to asset ratio), yaitu
metrik utama yang digunakan untuk mengukur kemampuan negara (maupun perusahaan)
dalam memenuhi kewajiban (utang) jangka panjangnya: masih sangat aman!
Catatan
tambahan saja, sebelum tahun 2019, yaitu di tahun 2018, Kementerian Keuangan
juga pernah mencatat bahwa total aset negara mencapai Rp 5.728,49 triliun.
Aset
tersebut terdiri dari Barang Milik Negara (BMN) yang tersebar di
Kementerian/Lembaga (K/L). Artinya, jumlah ini melesat tiga kali lipat dari Rp
1.538,18 triliun selama kurun waktu 2007-2018.
Semoga
generasi milenial yang cerdas-cerdas itu bisa memahami artinya. (Jakarta, 01/03/2022)
*) Andre Vincent Wenas, Pendiri & Direktur Eksekutif
Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF.
Editor:
Danny PHS