![]() |
Drs Andy Fefta Wijaya MDA PhD, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang |
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Drs Andy Fefta Wijaya MDA PhD, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang, ternyata ikut mencermati juga gejolak di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, yang jadi sorotan masyarakat.
Yakni terkait dengan upaya pencopotan Fadel Muhammad dari wakil ketua MPR-RI oleh Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, yang dinilai sejumlah pihak melanggar konstitusi.
Pakar Ilmu Administrasi Andy Fefta Wijaya pun menilai proses pencopotan Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR RI sebagai cacat atau mal administrasi.
Mengapa? "Karena dilaksanakan secara tidak akuntabel," tandas Andy Fefta Wijaya yang juga dikenal sebagai Koordinator Bidang Kelembagaan IAPA (Indonesian Association for Public Administrational), Jumat (9/9/2022).
Menurutnya, ciri-ciri mal administrasi yaitu pertama, jika terjadi
penyimpangan prosedur atau tindakan yang dilakukan itu tanpa dasar
prosedur administrasi yang clear.
“Kalau kita lihat kasusnya Pak Fadel saya mendapatkan info bahwa Pak
Fadel digantikan di tengah jalan itu karena beliau tidak melaporkan
secara tahunan mulai 2019-2021. Selama dua tahun ini tidak ada laporan,
alasannya itu,” ujar Andy, kemarin.
Ternyata, katanya, aturan untuk menyampaikan laporan itu kepada anggota
DPD baru dibuat sekarang, pada saat Fadel dipecat. Nah, menurutnya, itu
tindakan tersebut saat Fadel diturunkan sebagai wakil ketua MPR belum
ada acuannya. “Itu sudah gugur dari ciri tata kelola administrasi yang
benar. Berarti dia sudah cacat,” tegasnya.
Yang kedua, lanjutnya, apakah terjadi penyalahgunaan wewenang di mana
tindakan yang dilakukan itu melampaui wewenang yang ada. Jadi, apakah
betul forum yang dinamakan mosi tidak percaya mempunyai wewenang untuk
melakukan tindakan seperti itu?
Kalau memang mosi tidak percaya itu tidak ada dasarnya di dalam aturan
main, kata Andy, berarti pimpinan DPD sudah over wewenang. “Ini sangat
berbahaya, apalagi yang diturunkan ini wakil ketua MPR yang diangkat
selama lima tahun secara sah. Ini tidak main-main,” tandasnya.
“Kalau hal ini dibiarkan begitu saja bisa jadi mereka ganti wakil ketua
MPR setiap bulan sekali, suka-suka nya mereka. Dengan alasan yang
sederhana. Misalkan, terlambat laporan, atau lainnya bisa dibuat,”
sambungnya.
Padahal, terang Andy, untuk mengganti seseorang wakil ketua MPR itu
sudah jelas kriterianya. Misalnya, kalau yang bersangkutan berhalangan
tetap, melakukan tindak pidana, dihukum, atau korupsi dll sudah ada
aturannya. Sementara dalam kasus Fadel Muhammad tidak ada, apalagi tidak
melakukan hal-hal lain yang secara prinsip harus bisa digantikan
sebagai wakil ketua MPR RI.
Dia menegaskan, apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ada di forum
itu sudah melampaui wewenang yang diberikan. Bahkan, dasar melakukan
tindakan itu tidak sesuai aturan main atau regulasi. Karena untuk
menurunkan seseorang wakil ketua MPR itu harus jelas alasannya.
“Tidak bisa hanya motif tidak suka, dengan alasan tidak membuat laporan.
Tidak seperti itu. Kalau begitu tiap hari bisa ganti wakil ketua MPR.
Kita harus mengembalikan marwah MPR RI dan DPD RI supaya tidak dicampuri
oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya sesaat dan individu,”
imbuhnya.
Dalam hal ini, Andy melihat masalah ini terjadi karena ada konflik
internal di antara mereka, terutama ada individu yang merasa tidak
tersalurkan motif-motif politiknya kemudian membuat gerakan atau moment
yang seperti ini.
Jadi, lanjutnya, kalau di dalam maladministrasi itu memang salah satu
cacat administrasi itu kalau terjadi konflik kepentingan dan lebih
mengutamakan kepentingan pribadi. Apa sih kepentingannya mengganti wakil
ketua MPR, apakah beliau korupsi, dihukum? cacat secara tetap ? Kan
tidak.
“Berarti tidak ada kepentingan umum yang terganggu dengan beliau sebagai
wakil ketua MPR. Berarti itu lebih banyak kepentingan pribadi,”
tandasnya.
Lebih lanjut Andy menekankan, kalau secara administrasi cacat berarti
seharusnya itu tidak bisa diterima keputusan yang dilakukan di DPD itu.
Karena secara administrasi cacat, secara hukum juga tidak bisa diterima.
Oleh karena itu, secara otomotis tidak berlaku hasil keputusan
tersebut.
Menurutnya, hal ini sama dengan Komisi ASN sudah beberapa kali
membatalkan proses pemilihan jabatan sekjen, dirjen. Mereka banyak
dibatalkan karena mall administrasi.
Disamping itu, Andy juga mengatakan, seharusnya Dewan Kehormatan DPD
bergerak mulai memanggil pihak-pihak itu kemudian menyidangkan. Karena
memang Dewan Kehormatan seharusnya bisa memecahkan masalh secara
internal dulu daripada nanti dipecahkan di pengadilan, atau di
kepolisian.
“Lebih baik diselesaikan di internal dulu. Dewan kehormantan juga harus
fair karena ini sudah menjadi sorotan masyarakat luas, dan ini menjadi
contoh yang kurang baik ke depannya kalau ini dibiarkan. Yang repot
Negara,” tuturnya.
Sementara itu terkait pelanggaran etika, Andy menjelaskan, kalau
terjadi ada mendiskreditkan, misalnya terjadi tindak yang kurang etis,
seorang ketua atau wakil mengucapkan tindakan yang mendiskreditkan,
mengajak berkelahi. “Itu masuk pelanggaran etika,” terangnya.
Sedangkan, kata Andy, kalau terjadi maladministrasi yang pertama demi hukum dibatalkan keputusan tersebut.
Kedua, kalau misalnya dilanjutkan kita harus melihat kredibilitas dari
siapa penentu forum tersebut. Kredibilitas orang yang mengadakan forum
itu apakah memang masih layak yang bersangkutan diangkat sebagai
pimpinan.
“Di situ juga bisa membawa implikasi karena telah merusak marwah DPD.
Yang berbeda dengan parpol, DPD itu individu terpilih di masing-masing
daerahnya. Jangan disamakan mosi tidak percaya parpol,” cetusnya.
Kemudian, terangnya, di awal terjadi kesepakatan, si A menjadi ketua, si
B menjadi wakil ketua untuk lima tahun kontraknya pemilihan itu resmi.
Kalau di tengah jalan wakilnya digagalkan itu pimpinan lainnya juga
harus digagalkan semua.
“Logikanya menjadi berantakan, jangan diteruskan malu kita sebagai
akademisi. Jangan begitu lagi, kalau terjadi konflik selesaikan secara
elegan, kan malu dilihat masyarakat,” pungkasnya.
Sebelumnya,sejumlah pihak juga menilai pencopotan Fadel dari Wakil Ketua MPR-RI adalah bentuk tindakan inkonstusional yang diambil oleh lembaga DPD RI yang dipimpin oleh La Nyalla Mattalitti.
Dan tindakan pencopotan jabatan seorang pimpinan MPR RI oleh Ketua DPD RI La Nyalla adalah sebuah preseden buruk yang tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu, demi tegaknya marwah lembaga DPD RI dan MPR RI.
Suara-suara yang mengecam tindakan inkonstitusional yang dilakukan La Nyalla terus bermunculan di berbagai media.
Sejumlah kalangan akademisi dan ormas pun pada saat bersamaan mendukung langkah Fadel Muhammad melaporkan La Nyalla ke Badan Kehormatan DPD RI.
Fadel seperti diketahui, telah mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI), hari ini, terhadap saudara AA Lanyalla Mattalitti (Ketua DPD RI) atas pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD RI dan Kode Etik DPD RI.
Masyarakat pun mendesak agar Badan Kehormatan DPD RI segera memanggil La Nyalla untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai melanggar konstitusi.
"Badan Kehormatan DPD RI harus secepatnya bertindak tegas. Segera panggil La Nyalla. Jangan biarkan marwah DPD RI rusak," tandas pengamat politik Aris Kuncoro.
Sebelumnya, Abdul Rajak Babuntai, Wasekjen Infokom PB HMI, juga mengatakan, pada prinsipnya, pihaknya mendukung langkah-langkah yang ditempuh Fadel dalam upaya menegakkan konstitusi.
Ditegaskannya, DPD RI ini merupakan lembaga negara yang patut dijaga marwahnya.