JAKARTA (wartamerdeka.info) - Upaya pencopotan Fadel Muhammad dari Wakil Ketua MPR RI oleh Ketua DPD RI menuai banyak kritikan dari sejumlah pakar politik dan hukum.
Ketua Forum Dekan Ilmu-ilmu Sosial Perguruan Tinggi Negeri Se-Indonesia (Fordekiis) Andy Fefta Wijaya menuding proses pencopotan Fadel adalah cacat administrasi.
Bahkan Andy Fefta menuding adanya konflik kepentingan terkait pencopotan Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR.
Menurut Andy Fefta, pemecatan itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. "Artinya tindakan pencopotan tersebut menyalahi tata kelola administrasi," kata Any Fefta dalam keterangan, kemarin.Dia mengungkapkan, ada dua unsur terjadinya maladministrasi dalam pencopotan Fadel dari kursi pimpinan MPR. Pertama, tidak ada prosedur administrasi yang dibuat dan disepakati.
Kedua, sudah ada prosedur administrasi yang dibuat secara mendadak dan sepihak untuk mewujudkan kepentingan tertentu.
"Itu tindakan sewenang-wenang, dan hal ini menodai MPR RI sebagai lembaga tinggi negara," ujarnya.
Menurut Andy, seharusnya Badan Kehormatan MPR dapat melakukan panggilan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses pencopotan Fadel Muhammad. Dia mengatakan, hal itu dilakukan agar masalah ini menemui titik terang.
Dia menambahkan, apabila peristiwa ini dibiarkan dan terus berlarut tanpa menemukan titik terang akan memberikan preseden yang buruk bagi MPR. Selain itu juga berdampak pada sistem di MPR dan DPD RI, karena telaj ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu.
Mosi tidak percaya, kata Trubus, tidak diatur dalam undang-undang.
Di era mendekati tahun 2024, imbuhnya, DPD seharusnya semakin giat memperjuangkan daerah, termasuk keuangan daerah.
“Ternyata tidak dilakukan. Menurut saya itu sudah melanggar norma-norma sosial,” katanya.
Dia menilai, aneh kalau La Nyalla mencabut posisi seorang pimpinan MPR RI.
Menurutnya, LaNyala tidak punya kewenangan karena DPD bukan partai.
“Harusnya dia bekerja secara professional dalam konteks masalah bagaimana membangun DPD mewakili aspirasi daerah,” katanya.
Ini jadi carut marut. DPD di bawah kepemimpinan La Nyalla, telah menunjukkan diri sebagai parpol.
Bahkan seolah olah punya kuasa untuk menjungkir balikkan terhadap seseorang yang dinilai melanggar atau tidak sesuai dengan ideologinya.
"Itu ranah partai, sedangkan DPD bukan partai,” pungkasnya.
Seperti diketahui, tindakan kontroversial Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA La Nyalla Mattalitti terkait dengan upayanya untuk mencopot Fadel Muhammad dari Wakil Ketua MPR RI mendapat perlawanan dari Fadel.
Malah sekarang, justru terjadi arus balik. La Nyalla yang kini terancam diberhentikan sebagai Ketua DPD RI dengan tudingan telah melanggar kode etik dan tatib DPD RI serta melanggar UU MD3.
La Nyalla tampaknya lupa, atau sengaja menabrak konstitusi bahwa seorang pimpinan lembaga tinggi, seperti pimpinan MPR RI, tidak bisa diberhentikan atau dicopot saat masih bertugas dengan mekanisme "Mosi Tidak Percaya".
Dalam UU MD3 tidak dikenal mekanisme "Mosi Tidak Percaya".
Selain itu dalam konteks ini, DPD RI bukanlah "fraksi tersendiri" seperti fraksi parpol yang bisa mengusulkan anggotanya untuk dicopot, dengan syarat-syarat yang ketat seperti diatur dalam UU MD3.
Seperti diketahui, Wakil Ketua MPR RI, Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad telah melaporkan AA La Nyalla Mattalitti, kepada Badan Kehormatan DPD RI.
"Kami mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI), hari ini, terhadap saudara AA Lanyalla Mattalitti (Ketua DPD RI) atas pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD RI dan Kode Etik DPD RI," ujar Fadel Muhammad kepada wartawan, Kamis (25 Agustus 2022).
Menurut Fadel, tindakan pencopotan dirinya dari Wakil Ketua MPR RI melalui mekanisme "Mosi Tidak Percaya" oleh Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti adalah tindakan yang melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD.