Tanpa judul

Ravi Desai: PLN Atau Negara Harus Segera Mengatur Dan Membuat Regulasi Listrik  Surya

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Sejak merdeka, PLN telah men-subsidi listrik untuk industri dan rakyat tak terbilang jumlahnya jika dihitung dengan rupiah. Mungkin jumlah subdidi negara untukk pengadaan listrik ini sudah mencapai ribuan triliun rupiah.

Ini bukan jumlah yang sedikit. Tentu diperlukan solusi bagaimana bisa menghasilkan listrik yang murah sesuai kemajuan tekhnologi, sehingga subsidi negara di sektor ini bisa berkurang.

Seorang pakar energi lisrik Ravi Desai menawarkan solusi menarik, yaitu listrik matahari atau surys.

"Saat ini ada kesempatan bisa menghasilkan listrik tanpa bahan bakar, baik untuk industri maupun runsh tangga, yaitu listrik energi surya . Malah, masing masing industri dan rumah sekarang bisa pasang listrik matahari," ungkap Ravi Desai dalam bincang-bincang dengan wartamerdeka.info, Kamis (15/9/2022).

Tapi, tambah Ravi, PLN mesti atur secara regulasi, yang intinya bahwa yang bangkitkan listrik tetap PLN.

Hanya saja, dalam hal ini PLN  pinjam tempat roof top di masing industri atau rumah. 

"Supaya bisa kembalikan kerugian negara. Dan kurangin subsid PLN," ujar Ravi Desai, yang juga Ketua DPD Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Provinsi Banten

Jadi, kata Ravi lagi, jika solar panel yang  import swasta, yang pasang swasta juga, uang negara akan hilang banyak sekali.

Jadi, agar negara atau dalam hal ini  PLN bisa mengurangi subdidi listrik, maka PLN harus memanfaatkan tekhnologi tenaga surya ini dan sekaligus membuat regulasi yang mengatur listrik surya ini.

"Sementara kasih swasta harus bangun assembly line local 4gw tahap awal, smelter untuk bikin raw material silicone 40gw," ungkapnya.

Seperti diketahui, pemanfaatan energi matahari sebagai sumber energi alternatif untuk mengatasi krisis energi, khususnya minyak bumi, yang terjadi sejak tahun 1970-an mendapat perhatian yang cukup besar dari banyak negara di dunia. 

Di samping jumlahnya yang tidak terbatas, pemanfaatannya juga tidak menimbulkan polusi yang dapat merusak lingkungan. 

Cahaya atau sinar matahari ini dapat dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi sel surya atau fotovoltaik.

Potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga tahun 2025 adalah sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan gambaran potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya di masa datang.

Komponen utama sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan menggunakan teknologi fotovoltaik adalah sel surya. Saat ini terdapat banyak teknologi pembuatan sel surya. Sel surya konvensional yang sudah komersil saat ini menggunakan teknologi wafer silikon kristalin yang proses produksinya cukup kompleks dan mahal. 

Secara umum, pembuatan sel surya konvensional diawali dengan proses pemurnian silika untuk menghasilkan silika solar grade (ingot), dilanjutkan dengan pemotongan silika menjadi wafer silika. 

Selanjutnya wafer silika diproses menjadi sel surya, kemudian sel-sel surya disusun membentuk modul surya. 

Tahap terakhir adalah mengintegrasi modul surya dengan BOS (Balance of System) menjadi sistem PLTS. BOS adalah komponen pendukung yang digunakan dalam sistem PLTS seperti inverter, batere, sistem kontrol, dan lain-lain.

Saat ini pengembangan PLTS di Indonesia telah mempunyai basis yang cukup kuat dari aspek kebijakan. Namun pada tahap implementasi, potensi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. 

Secara teknologi, industri photovoltaic (PV) di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir, yaitu memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara sel suryanya masih impor. 

Padahal sel surya adalah komponen utama dan yang paling mahal dalam sistem PLTS. Harga yang masih tinggi menjadi isu penting dalam perkembangan industri sel surya. Berbagai teknologi pembuatan sel surya terus diteliti dan dikembangkan dalam rangka upaya penurunan harga produksi sel surya agar mampu bersaing dengan sumber energi lain.

Namun, mengingat rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 55-60% dan hampir seluruh daerah yang belum dialiri listrik adalah daerah pedesaan yang jauh dari pusat pembangkit listrik, maka PLTS yang dapat dibangun hampir di semua lokasi merupakan alternatif sangat tepat untuk dikembangkan. Dalam kurun waktu tahun 2005-2025, pemerintah telah merencanakan menyediakan 1 juta Solar Home System berkapasitas 50 Wp untuk masyarakat berpendapatan rendah serta 346,5 MWp PLTS hibrid untuk daerah terpencil. Hingga tahun 2025 pemerintah merencanakan akan ada sekitar 0,87 GW kapasitas PLTS terpasang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama