Oleh : Prof. Dr. Daniel Mohammad Rasyid
(Guru Besar ITS Surabaya)
Setelah sindiran Megawati dalam HUT PDIP ke - 50 beberapa waktu lalu, yang telah menyurutkan wacana perpanjangan jabatan Presiden melalui penundaan Pemilu 2024 atau amandemen UUD 2002, kini muncul gelombang tuntutan para Kepala Desa untuk diperpanjang masa jabatannya dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Para kepala desa juga mengancam anggota DPR jika tidak memenuhi tuntutan ini melalui perubahan UU No.6/2014 Tentang Desa, maka partai politik yang menolak tuntutan mereka itu akan "dihabisi" para kepala desa tersebut. Seperti yang dikatakan Ubaidilah Badrun, gerakan para kepala desa ini tidak mungkin dipisahkan dari agenda pemenangan parpol tertentu dalam Pemilu 2024, termasuk Pilpres.
Tuntutan para Kepala Desa ini secara substantif bermasalah. Yang pertama, setiap jabatan publik, bahkan di tingkat desa sekalipun, adalah amanah yang harus diselesaikan secepat mungkin untuk kemudian diserahkan ke pengganti yang lebih muda.
Kedua, jika masa jabatan Presiden saja dibatasi 5 tahun, urusan di tingkat desa yang jauh lebih sederhana seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu yang jauh lebih singkat. Alasan perpanjangan jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun seperti yang disampaikan oleh tokoh PDIP Budiman Sujatmiko tidak masuk akal dan mengada-ada.
Kali ini Budiman tidak seperti biasanya yang cerdas, kini tampak dungu.
Ketiga, tidak ada jabatan publik yang layak dipertahankan mati-matian atau di panjang-panjangkan, kecuali karena motif koruptif. Bahkan memberi kesempatan menjabat 2 periode pun tidak punya pijakan praktis dan etis. Membuka kemungkinan menjabat dua periode akan menimbulkan sindrom petahana yang buruk bagi good governance termasuk upaya mereformasi birokrasi agar makin meristokratik.
Jika semula UU diciptakan atas inisiatif Pemerintah atau DPR, maka perubahan atas UU Desa ini seolah didesakkan dari bawah oleh para Kepala Desa. Selama beberapa tahun terakhir ini, banyak bukti bahwa keduanya adalah maladministrasi publik yaitu praktek pembuatan UU yang diabdikan untuk kepentingan elite, kali ini elite desa, bukan untuk kepentingan publik pemilih atau masyarakat desa.
Apakah memperpanjang jabatan Kepala Desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan meningkatkan pelayanan publik di desa ? Negatif. Kekuasaan cenderung korup, dan memperlamanya akan menambah dan memperluas korupsi. Sudah banyak laporan korupsi atas dana desa akibat pilkades yang tidak murah. Setiap investasi hanya akan value for money jika memenuhi 2 syarat : birokrasi yang bersih, dan operator pelaksana yang profesional.
Dua hal ini masih langka ditemui di banyak desa. Akibatnya, banyak dana desa yang gagal menghadirkan pelayanan yang value for money tapi hanya pelayanan yang value for monkeys desa saja.
Sebagai agenda reformasi, desentralisasi ke tingkat Kabupaten atau Kota hingga hari ini belum memenuhi harapan, yaitu peningkatan pelayanan publik di daerah otonom. Bahkan seorang Bupati belum lama ini secara terbuka berselisih dengan seorang Dirjen soal Dana Bagi Hasil SDA.
Desa bukanlah daerah otonom. Kepemimpinan desa masih mudah dimanipulasi oleh Bupati dan Walikota hingga elite politik di Jakarta. Sulit untuk menghindari kecurigaan bahwa gerakan para Kepala Desa ini digalang oleh kepentingan pemenangan Pemilu 2024 termasuk Pilpres. Kita berharap para Kepala Desa ini tidak berubah menjadi monyet desa di tahun politik ini. (**)