Problematika Putusan PN Jakpus Telah Melukai Konstitusi


Oleh: Alfitra Mappunna

(Sekjen Yayasan Bestari Hukum Indonesia)


Tidaklah rubuh bangunan setelah tegak, tidaklah lenyap kekuatan demokrasi bila dibarengi prinsip dasar yang menguatkan. Demokrasi yang teratur meniscayakan negara yang makmur. 


Demokrasi berpotensi surut bilamana aturan hadir yang tidak berjalan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) memenangkan Partai Rakyat Adil Makmur atau Partai Prima atas gugatan perdata mereka terhadap Komisi Pemilihan Umum. 


Melalui putusan atas gugatan 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan pada 8 Desember 2022, PN Jakpus memerintahkan KPU menunda pemilu. Sebagaimana bunyi dictum kelima amar putusan tersebut yang berbunyi "Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari". 

Hadirnya putusan PN Jakpus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ketentuan Pasal 22E ayat 1 yang menyebutkan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. 


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan dan tidak ditemukannya adanya nomenklatur penundaan pemilu. Namun, hanya dikenal dengan istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 431 hingga Pasal 433 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kewenangan memutus penundaan pemilu berada di tangan KPU. Adapun keputusan penundaan pemilu didasarkan atas gangguan keamanan, bencana alam, kerusuhan, atau gangguan lain yang dapat mengganggu tahapan pemilu. 


Oleh sebab itu, putusan dari PN Jakpus ini disebut ultra vires atau yang diterjemahkan “di luar kuasa” yang sejalan dengan kedudukan dari perkara yang telah diputus oleh PN Jakpus yang seyogianya dilakukan oleh PTUN yang memiliki kewenangan para ranah sengketa tersebut, bukanlah kompetensi dari PN Jakpus untuk menunda pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi.


Prof. Yusril Ihza Mahendra telah menuturkan bahwa gugatan yang dilayangkan Partai Prima adalah gugatan perdata. Gugatan ini terkait dengan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara. 


Sehingga, dalam gugatan perdata itu, lebih lanjut Prof.  Yusril Ihza Mahendra yang bersengketa adalah penggugat (Prima) dengan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain. Oleh karena itu, Putusan dalam sengketa perdata hanya mengikat kepada penggugat dan tergugat saja.


Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada pasal 173 ayat 1 menyebutkan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verilikasi oleh KPU. 


Dan selanjutnya bila terdapat sengketa proses pemilu, maka dalam sistem penegakan hukum pemilu serta penyelesaian sengketa proses pemilu telah diatur dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 pada pasal 470 dan 471 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara setelah upaya administratif di Badan Pengawas Pemilu dijalankan. 


Putusan wewenang merupakan konsep yang inti dari hukum administrasi. Sebab, Sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa hukum publik. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara ini juga disebut erga omnes, artinya daya berlaku putusan tersebut mengikat secara publik, di samping mengikat para pihak yang bersengketa (inter pares), juga mengikat bagi siapapun di luar pihak-pihak yang bersengketa. 


Prof. Mahfud MD juga menuturkan bahwa “Perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu”. Sebab, mekanisme dalam pelaksanaan pemilu telah diatur oleh konstitusi yang berlaku.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama