Lakon Santri Mbeling (3)

 

Novel Karya : Qosdus Sabil
Aktivis Pinggiran Muhammadiyah 
"Lakon Santri Mbeling" adalah Novel Perdana karya : Qosdus Sabil

Editor: W. Masykar
Babak Ketiga - "Tiger Alaska"
"Tapi tulisan sampeyan ini bener kok. Wong MU ini angel-angel tenan. Nafsi-nafsi pokoknya. Kalau diajak kerjasama sesama wong MU susah sekali, tapi kalau dengan pihak lain, sueneeeeeng", kata Mas Tarto serius kepadaku.

"Aku sampai bertanya-tanya, kira-kira apa sebabnya? Apa mereka takut ketahuan bisa diajak hengki pengki sama orang lain??? wkwkwkwk.. tapi bener kok uangel poll". Lagi-lagi Mas Tarto menyampaikan curhatnya padaku.

"Lazismu kini sudah berusia dua puluh tahun lebih, tetapi baru sedikit pimpinan Muhammadiyah dan para anggotanya yang memilihnya menjadi penyalur zakat. Itu fakta broo!", tuturnya lagi.

"Iya Mas Tarto. Ini ada yang bilang ke saya sembari menunjukkan fakta bahwa mengerjakan project di Muhammadiyah iku paling enak.
Direncanakan sendiri.
Diawasi sendiri.
Diresmikan sendiri.
Diawasi dan diaudit sendiri".
Urusannya cuma antara dia dengan malaikat pencatat saja". Aku tertawa getir menyampaikannya.
Dihitung dewe.

"Fakta yang lain: aku nggak bisa pinjam ambulansnya Lazismu Mas. Bagaimana ini?".

"Padahal dulu Lazismu punya banyak ambulans. 

Pada kemana itu ya ambulans? Kasihan Aan. Dia dan komunitas Jaga Ginjal Indonesia (JGI), beserta pasien gagal ginjal sering pontang panting cari pinjaman ambulans". 

"Lhaaaa itu yang lucu. Punya ambulans, tapi kagak punya driver. Piye jal? Jadi punya ambulans cuma untuk dipajang". Mas Tarto melanjutkan curhatnya. 

"Ambulans dipakai hanya kalau ada kegiatan penyuluhan. Malah sampai pernah dipakai organisasi lain yang punya program hapus tatoo keliling, unik raaaa".

"Pokoknya Lazismu pusat nggak bisa menghandle ambulans bos", masih kata Mas Tarto.

" Sama alasannya dengan UMJ kuwi. Padahal saya juga selalu urun bensin, juga ngasih ke drivernya. Yaaah sekedar buat beli kopi sambil menunggu diriku konsultasi dengan dokter". 

"Perintah Pak Rektornya sendiri tidak dilaksanakan dengan benar. Mas Rektornya sampai nggak enak hati sama saya. Apalagi kemudian saya malah sering pakai ambulans milik caleg PKS".

"Beberapa kali saya dapat pinjaman ambulans milik Thamrin University. Kebetulan Mas Rektornya ini juga sahabat baik saya. Beliau merupakan senior saya saat kami masih aktif di IPM. Berlanjut lagi saat kami juga memilih IMM sebagai organisasi kemahasiswaan. Beliau aktif di komisariat IMM Unibraw. Saya aktif di PC IMM Malang".

Selanjutnya, saya sekarang lebih sering memakai ambulans milik Lembaga Amal Dompet Dhuafa. Yang hebatnya lagi, DD ini memiliki jaringan yang luas dengan komunitas relawan untuk kemanusiaan dan siaga kedaruratan bencana".

"Pernah suatu kali saya terpaksa menyewa ambulans dari Cinere. Eh kagak tahunya terpasang logo NU besar sekali di kaca pintu belakangnya". Hahahahaaaa.... Tapi lucunya driver dan pendampingnya sama-sama mahasiswa UMJ. Keduanya bercerita bahwa bisnis ambulans ini cukup bagus prospeknya. Ini adalah ambulansnya yang kedua, dan kondisinya masih gres kinyis-kinyis.

"Bapak adalah pelanggan pertama yang menaiki ambulans ini", ujar Makruf si driver ambulans saat itu kepadaku. 

"Memang Lazismu ini harus ada program penghimpunan untuk proyek-proyek khusus yang retail seperti ambulans gratis", ujar Mas Tarto lagi. 

"Kalau selama ini program Lazismu masih ngawang-ngawang kabeh".

"Ambulans yang dulu dipakai hapus tatoo pernah saya urus untuk diserahkan ke Lazismu Grobogan, tapi malah dikasihkan ke Lazismu Banten yang ternyata yo ora aktif. Mbuh ah bingung. Hahhaahaaaa ... Kali ini Mas Tarto sudah mulai bisa tertawa-tawa.

Menertawakan kekonyolan diri sendiri. Setidaknya, baginya tertawa adalah hal istimewa.  Tidak semua orang mudah tertawa. Maka tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.

Kritik saya kemarin tentang iuran anggota Muhammadiyah yang selama tidak digarap dengan serius, ternyata banyak mengundang komentar.

"Uang receh iuran anggota Muhammadiyah seringkali diabaikan. Karena menganggap iuran anggota sebagai hal kecil saja. Padahal potensi dana terhimpun sekitar tujuh koma delapan triliun. Apalagi umumnya anggota Muhammadiyah sudah terbiasa berinfaq yang secara nominal bahkan mungkin lebih besar jumlahnya dari uang iuran ".

Udin yang sedari tadi hanya diam menyimak, ternyata akhirnya gatal juga untuk bicara. "Betul kanda, saya diberitahu teman alumni pondok tradisional, menurut pengakuannya pondok pesantren tempat dia belajar tidak mengandalkan bantuan pemerintah melainkan cukup dari iuran santri dan alumni karena ada barakahnya".

" Ummat Muhammadiyah itu tidak terlalu memikirkan barakah Mas. Orang Muhammadiyah cuma yakin kalau ikhlas itu urusan langsung dengan Gusti Allah", ujarku menambahkan. 

Mendengar komentarku Yoyok-pun segera ikut nimbrung: "Saat aku diminta membantu  panitia Muktamar Muhammadiyah seabad di Jogja dulu itu, media center 'Aisyiyah menyuruh aku meramaikan diskusi tentang program jangka pendek dan jangka panjang Muhammadiyah  Termasuk meminta supaya aku menyampaikan masalah ini ke Prof. Chamamah".

"Hasilnya ada tiga opsi yang saling bertautan: pertama, harus mengaktifkan lagi Bank Persyarikatan yang sudah diambil alih Bukopin. Itu murni karena salah urus dan faktor error person. Lalu, menjadikan BMT-BMT yang ada, sebagai cabangnya".

"Kedua, perlu dilakukan sosialisasi insentif bagi seluruh PWM yang membawahi PDM-PDM  agar iuran itu jangan dijadikan beban, tapi kebutuhan. Kalau sudah menjadi kebutuhan, tanpa diingatkan itu pasti akan jalan sendiri. Potong kompas segala bentuk birokrasi yang terlalu ribet bagi anggota persyarikatan".

"Harus jelas sharing budget untuk menyisipkan produk-produk yang dijual dalam hitungan prosentase sebagian bisa dimasukkan sebagai iuran. Ini tindakan kuratif bila dari total jumlah iuran belum mencapai target per-bulannya".


"Aku saat itu yo mantuk-mantuk wae. Lha wong aku bukan pakar ekonomi", ujar Yoyok menimpali sambil terkekeh-kekeh puas menggoda Ustadz Zainul yang selalu terlihat serius.

 "Iuran anggota itu implikasinya bukan sekedar *uang atau dana* tapi jauh lebih dari itu. Iuran Anggota adalah *wujud eksistensi organisasi itu sendiri*, terkait dengan berapa riil jumlah anggota. Lha kalau organisasi tidak jelas anggotanya siapa, terus kita mau bagaimana?", tutur Ustadz Zainul dengan mimik tetap serius. 

"Selanjutnya terkait urusan politik dan sosial. Demokrasi yang disepakati di Indonesia itu butuh suara terbanyak, butuh kejelasan berapa jumlah anggota.", tambah Ustadz Zainul mempertegas. 

"Dakwah itu butuh sasaran dakwah. Jika kita ada database siapa dan berapa anggota Muhammadiyah yang pasti, maka dakwah melalui digital sasarannya akan lebih tepat dan akurat".

Udin kembali menyela. Dia mengatakan: "Saya yakin, Iuran anggota dapat menumbuhkan rasa untuk ikut memiliki Muhammadiyah. Ketika anggota merasa memiliki Muhammadiyah, maka yang berikutnya akan tumbuh rasa untuk ikut menjaga Muhammadiyah",

"Betul. Ini akan jadi kekuatan luar biasa jika kita bisa mengkonsolidasi anggota lewat iuran. Rotary club saja dengan iuran anggota dan donasi bisa mendapatkan uang trilyunan rupiah. Masak Muhammadiyah tidak bisa," ujar Mas Dayat membenarkan jalan logika Ustadz Zainul yang sangat kritis tersebut.

Ambulans kembali membawaku pulang dari Karet Bivak. Usai mengantarkan pemakaman jenazah Mas Hamzah di tanah merah. Itulah mengapa tidak jauh dari sana disebut sebagai kawasan Tanah Abang. Kini Tanah Abang dinobatkan menjadi pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara. 

Kembali ambulansku meraung-raung di langit Pejompongan. Laksana Sang Tiger dari Alaska saat menerkam mangsanya. Tiger Alaska-ku pun terus melaju tanpa ragu. Menerobos lincah diantara kemacetan ibukota. Hingga, rombongan pejabat lengkap dengan iring-iringan pengawalan polisi jalan raya, menguntit, mengekor, di belakang kaki Tiger Alaska...
Alhamdulillah Alhamdulillah  🤩💝💝💖💖💖

2 Komentar

  1. Mantap betul 😎👍

    BalasHapus
  2. Lanjutkan mem-Potret kondisi persyarikatan dari sudut tepi seperti ini Gus. Mantab sebagai otokritik

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama