Novel Qosdus Sabil
Babak Keduapuluh lima
FB. Qosdus Sabil
Ig. qosdus.s
Penulis dapat dihubungi melalui email: qosdussabil@gmail.com
Biasa dipanggil Gus Bill
Santri Pinggiran Muhammadiyah
Editor: W. Masykar
Hijau pegunungan dan gemericik air menyatu dalam sebuah kolase. Ia laksana gambar hidup yang membuat orang-orang selalu kangen dibuatnya.
Pagi hari itu, aku diajak Abah ku menunaikan sholat subuh di Masjid Gedhe Kauman. Terpatri erat betapa besar kisah sejarah yang menyertai berdirinya Masjid ini.
Lantai marmer yang digaris-garis shaf miring ke kanan sebagai koreksi atas kiblat sebelumnya yang kurang tepat. Pilar-pilar kayu jati yang kokoh menyangga bangunan masjid secara keseluruhan.
Usai sholat, abah mengajakku jalan-jalan pagi menyusuri alun-alun Utara. Sembari jalan beliau bercerita tentang semangat perjuangan para tokoh pergerakan bangsa. Kisah kota Yogyakarta yang menjadi ibukota negara, dengan gedung Agung sebagai istana Negara di sebelah utara alun-alun. Masjid disisi barat. Dan Keraton disisi Selatan.
Ini adalah pengalaman pertama aku ke Yogyakarta. Agenda utama ke Yogyakarta ini adalah untuk mengantarkan Mbak Ummu Hanik melanjutkan sekolahnya di sekolah perawat Aisyiyah.
Beberapa kerabat dari Abahku sudah merintis jalan studi di kota pendidikan Yogyakarta. Putra-putri Pakde Marjoewan termasuk yang mula-mula sekolah ke Yogyakarta. Sebuah rumah di Gang Rotowijayan disewa sebagai basecamp pelajar.
Semua terlihat gembira hidup dalam kesederhanaan. Menjalani laku tirakat dan memperbanyak puasa sunnah. Setidaknya puasa senin kamis. Atau minimal puasa mutih ayyamul bidh. Puasa pada tiap hari putih hari dimana cahaya matahari langsung bersambung dengan cahaya bulan purnama pada tanggal 13-15 bulan hijriyah. Namun, ada juga beberapa diantara mereka yang kadang puasa Dawud. Sehari puasa sehari tidak. Puasa yang sangat berat jika tidak disertai semangat dan laku hidup tirakat.
Menjalani ibadah puasa sunnah terasa lebih ringan jika dilakukan dengan gembira. Apalagi jika banyak teman yang turut mengerjakannya. Puasa jadi nikmat dan penuh berkah.
Letak gang Rotowijayan menjadi begitu strategis untuk dijadikan markas pelajar. Letaknya sejajar disisi selatan masjid Gedhe Kauman. Keberadaannya yang strategis tersebut menjadi pertimbangan utama, agar semakin memudahkan akses ke semua sekolah-sekolah atau kampus yang dituju.
Selama menginap beberapa hari di Rotowijayan, aku merasakan adanya aura positif ketekunan, semangat dan daya juang yang tinggi dalam menuntut ilmu.
Akupun membayangkan kelak akan studi lanjut di kota Yogyakarta. Namun, garis tangan dan lakon hidupku berproses dari kota Malang. Kota pendidikan terbesar di Jawa Timur. Baru setelahnya, aku berpetualang ke kota Bogor. Dan kini terdampar di Ciputat. Sebuah kota kecil pusat peradaban intelektual Islam Jakarta.Suasana lingkungannya yang bersahabat dengan para perantau dan penuntut ilmu, menjadikan Ciputat ramai oleh berbagai kegiatan intelektual di tanah air. Ciputat terkenal dengan Keberadaan berbagai Lembaga pusat kajian keilmuan yang hidup dan berkembang pesat. Salah satu keunggulan Ciputat di antara kota pendidikan yang lain adalah visi internasional para aktivisnya. Dari Ciputat menuju pusat-pusat peradaban keilmuan berkelas dunia.
Hari itu, aku bersama Habibie berjalan kaki menyusuri jalan KH. Ahmad Dahlan. Rintik gerimis mengiringi langkah kami menuju ke sebuah rumah tua milik Pak Djazman di Gerjen. Aku sengaja mengagendakan untuk sowan ke rumah beliau.
Saat aku telepon ke rumahnya di daerah Kaliurang, beliau bertanya kepadaku tentang posisiku malam itu. Beliaupun lantas mengatakan untuk bertemu di rumah Gerjen saja. Supaya tidak terlalu jauh bagi kami ke Kaliurang.
Kami mengobrol banyak hal. Tentang bagaimana pemikiran dan gerakan besar IMM ini bisa diteruskan dengan semangat baru. IMM yang semakin berkelas gerakannya. Menjadi bagian penting yang berperan dalam arus politik reformasi di negeri ini.
Salah satu pertanyaan beliau yang aku ingat adalah bagaimana kalian mengawal Pak Amien memimpin reformasi ini?
Aku dan Habibie hanya mampu berangan-angan sesuai dengan semangat muda kami. Namun, Semangat muda kami langsung beliau koreksi: "Pak Amien memang termasuk tokoh awal DPP IMM, tetapi ingat beliau juga aktif sebagai Ketua lembaga dakwah HMI cabang Yogyakarta".
"Saya mengkhawatirkan beliau akan dikelilingi oleh ring satu yang tidak memiliki kemurnian ideologi kader seperti kalian. Ini yang berbahaya.
Apalagi jika mereka berasal dari latar belakang penumpang gelap reformasi. Mereka hanya akan meraih keuntungan untuk interest politiknya sendiri", nasehat pak Djazman kepada kami.Apa yang disampaikan pak Djazman benar belaka. Aku lihat cukup banyak konflik terjadi di lingkaran satu pak Amien bermula dari intrik-intrik internal
"Monggo-monggo Mas ini Bakmi godhok dulu ya", ujar Bu Ellyda sembari menyuguhkannya kepada kami.
"Wahhh kok repot-repot Bu".
"Nggak repot kok mas. Ini pas ada yang lewat. Ini bakmi langganan kami ".
"Pasti enak ini. Aromanya sedap. Cocok pas cuaca gerimis seperti ini", sahut Habibie menimpali.
Kami berdua memang belum sempat makan malam. Sehingga, kamipun tanpa ragu langsung menyantap bakmi sampai habis tak bersisa.
"Alhamdulillah... nikmat sekali bakminya".
"Ini kalian malam ini menginap dimana", tanya pak Djazman kepada kami.
"Malam ini kami menginap di Gedoeng Moehammadijah mawon Pak"; jawabku
"Oh begitu, baiklah. Jika ke Yogya jangan sungkan mampir ke rumah saya. Bisa disini atau di Kaliurang".
"Saya sudah pernah sekali ke rumah Panjenengan di Kaliurang. Dekat Puslitbang Dikti".
"Oh iya. Saya saat tertentu saja kesana. Saya ada rumah di jalan Kaliurang, tidak jauh dari kampus UII. Nanti kalau pas ke Yogya bisa singgah yang disana."
"Baik Pak Djazman. Terima kasih sekali bersedia meluangkan waktu untuk kami. Semoga disuatu hari nanti Panjenengan bisa hadir ke Malang njih."
"Baik mas Ahmad. InsyaAllah". Jawab Pak Djazman dan Bu Ellyda serempak dengan sumringah.
Malam itu, usai dari rumah Pak Djazman aku dan Habibie menyusuri perempatan Kauman yang sudah mulai terlelap oleh keheningan malam. Kami kemudian masuk gang Suronatan, melewati Madrasah Mu'allimat dan asrama-asramanya yang menyebar di perkampungan. Saat tiba kembali di Gedung Muhammadiyah, kondisi pintu masuk sudah terkunci. Namun, petugas yang jaga langsung sigap membukakan pintu, dan mempersilakan kami masuk untuk menginap.
Tak pernah bosan aku mengunjungimu!.(*)