Lebaran Kupatan Nang Gunung Menjuluk Sedayulawas

By: Fathur Rahman Cah Banjangan (Sedayulawas, Brondong, LA)
(Praktisi Pendidikan di SMAN 1 Paciran)

"Senin, 7 April 2025 M / 8 Syawal 1446 H
Lebaran Kupatan Gunung Menjuluk Sedayulawas"
Sejarah iku URUB, URUB iku URIP
(Jasmerah, jangan sekali melupakan sejarah)
Jangan sampai kita kehilangan jejak kesejarahan Sedayu Lawas. 
Cara melemahkan suatu identitas wilayah/bangsa
1. Kaburkan sejarahnya
2. Hancurkan bukti2 sejarahnya, agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan
3. Putuskan hubungan dengan leluhur nya.

A. Makna Lebaran Ketupat atau Riyoyo Kupatan Sejarah dan Makna Filosofis Kupat dan Lipet dalam Tradisi Nusantara
Kupat dan lipet merupakan dua jenis makanan tradisional yang telah lama menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat Jawa dan Nusantara secara umum. Kedua makanan ini tidak hanya memiliki nilai gastronomi, tetapi juga menyimpan makna filosofis yang mendalam serta jejak sejarah yang panjang, bahkan sebelum kedatangan Islam di kepulauan ini.

Makna Kupat dalam Tradisi Jawa dan Islam
Secara etimologis, kata kupat dalam bahasa Jawa baru diartikan sebagai kependekan dari ngaku lepat, yang berarti "mengakui kesalahan". Dalam konteks ini, kupat sering dikaitkan dengan tradisi Lebaran, di mana masyarakat saling memaafkan atas kesalahan yang telah dilakukan selama setahun terakhir. Proses pembuatan dan bentuk anyaman daun kelapa yang membungkus ketupat juga melambangkan kompleksitas hidup manusia, yang pada akhirnya menemukan keseimbangan dan kemurnian setelah dimasak hingga matang.

Dalam perspektif Islam, kupat sering dikaitkan dengan beberapa kata dalam bahasa Arab, seperti kafa, kaffat, kaffatan, atau hufat, yang bermakna kembali kepada kesempurnaan. Pemaknaan ini semakin menguatkan posisi kupat dalam tradisi Lebaran sebagai simbol penyucian diri setelah menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadan.

Kupat dalam Sastra Klasik Nusantara
Namun, jauh sebelum pengaruh Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-11 hingga ke-12, istilah kupat telah dikenal dalam karya-karya sastra klasik yang berasal dari periode Kerajaan Kediri. Kata kupat ditemukan dalam Kakawin Ramayana, Kakawin Subadra Wiwaha, dan Kakawin Kresnayana, yang menunjukkan bahwa konsep atau makanan ini sudah dikenal masyarakat Jawa sejak periode Hindu-Buddha.

Kupat dalam sastra klasik ini mungkin memiliki makna yang lebih luas dibandingkan sekadar makanan. Bisa jadi, kupat sudah menjadi simbol keseimbangan, kesederhanaan, atau bahkan bagian dari ritual tertentu yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pada masa itu.

Lepet dan Jejaknya dalam Sejarah Majapahit
Selain kupat, ada juga makanan tradisional lain yang memiliki sejarah panjang, yaitu lepet. Dalam bahasa Jawa, lepet berasal dari kata silep rapet, yang berarti "terlipat dan tertutup rapat". Hal ini mengacu pada cara pembuatannya yang umumnya melibatkan pembungkusan bahan makanan dengan daun atau lipatan yang rapat.

Berbeda dengan kupat, lepet lebih banyak dikaitkan dengan era Majapahit. Keberadaan makanan ini tercatat dalam Kakawin Korawasrama, sebuah karya sastra yang berasal dari periode Majapahit. Kemunculannya dalam teks sastra tersebut menunjukkan bahwa lipet telah menjadi bagian dari tradisi kuliner masyarakat saat itu.

Makanan yang dibungkus rapat seperti lepet juga bisa dihubungkan dengan simbolisme tertentu, seperti menjaga sesuatu dengan baik atau menyimpan rahasia. Dalam konteks kehidupan kerajaan, makanan ini mungkin digunakan dalam ritual tertentu atau sebagai bekal perjalanan bagi para pedagang dan prajurit Majapahit.

Baik kupat maupun lepet merupakan bagian dari warisan kuliner Nusantara yang memiliki akar budaya dan makna filosofis yang kaya. Kupat, yang dikenal luas dalam tradisi Islam sebagai simbol kesempurnaan dan penyucian diri, ternyata telah lebih dahulu muncul dalam sastra klasik era Kediri. Sementara itu, lepet yang berasal dari kata silep rapet juga memiliki jejak panjang di era Majapahit dan tercatat dalam teks sastra kuno.

Kehadiran dua makanan ini membuktikan bahwa kuliner Nusantara bukan sekadar tentang cita rasa, tetapi juga mencerminkan perjalanan sejarah dan perkembangan budaya masyarakat dari masa ke masa.B. Merayakan Ketupatan di Atas Gunung Menjuluk Sedayulawas
Sejarah Kupatan dan Tradisi Punden Berundak di Nusantara: Perjalanan dari Era Pra-Islam hingga Islamisasi

Tradisi ketupatan atau kupatan di Nusantara memiliki akar yang sangat panjang dan erat kaitannya dengan budaya serta kepercayaan masyarakat sebelum kedatangan Islam. Seiring dengan berkembangnya agama dan perubahan sosial, tradisi ini mengalami pergeseran makna dan fungsi. Dari ritual sakral di tempat-tempat yang disucikan seperti punden berundak hingga menjadi bagian dari perayaan Hari Raya Ketupat dalam Islam, perjalanan tradisi ini mencerminkan proses akulturasi budaya yang berlangsung selama berabad-abad.

Punden Berundak: Warisan Kepercayaan Leluhur Nusantara
Sebelum kedatangan agama-agama besar, masyarakat Nusantara memiliki kepercayaan terhadap Sang Hyang Maha Wenang, sosok yang mereka sembah di tempat-tempat yang dianggap suci. Salah satu bentuk tempat suci tersebut adalah punden berundak, struktur bertingkat yang digunakan untuk pemujaan roh leluhur.
Punden berundak bukan sekadar tempat ritual, tetapi juga memiliki simbolisme yang mendalam:
• Tingkatan pertama melambangkan kehidupan janin.
• Tingkatan kedua melambangkan kehidupan manusia di dunia.
• Tingkatan ketiga melambangkan kehidupan manusia setelah mati.

Struktur ini menunjukkan bagaimana masyarakat pra-Islam memahami konsep kehidupan dan kematian serta menghormati leluhur mereka melalui ritual-ritual tertentu.

Ketika agama Hindu dan Buddha berkembang di Nusantara, konsep punden berundak ini diadopsi dalam bentuk candi, seperti yang terlihat dalam Candi Borobudur dan Candi Sukuh. Bahkan ketika Islam mulai berkembang, pola yang sama masih ditemukan dalam arsitektur masjid-masjid kuno, seperti Masjid Agung Demak, Masjid Agung Sedayulawas dan Masjid Sendang Duwur, yang memiliki tingkatan atau undakan pada atapnya.

Gunung Menjuluk dan Tradisi Tasyakuran Pra-Islam
Salah satu tempat yang dianggap suci oleh masyarakat Sedayulawas sebelum Islam adalah Gunung Menjuluk. Gunung ini memiliki struktur bertingkat, seperti punden berundak 3 yakni disebut pereng:
• Undag 1 (Pereng 1)
• Undag 2 (Pereng 2)
• Undag 3 (Puncak Gunung Menjuluk)

Masyarakat Sedayulawas sebelum Islam sering melakukan ritual tasyakuran atau sedekah bumi di tempat ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan rasa syukur kepada alam. Ritual semacam ini juga dilakukan di berbagai punden di desa-desa lain, dengan waktu dan tanggal yang berbeda-beda sesuai dengan tradisi setempat.

Islamisasi dan Transformasi Tradisi Kupatan
Ketika Islam mulai berkembang di Nusantara melalui para wali dan ulama dari era Kesultanan Demak hingga Mataram, tradisi kupatan mengalami perubahan. Para wali tidak menghapus tradisi ini, melainkan mengadaptasinya ke dalam ajaran Islam dengan menjadikannya bagian dari perayaan Idul Fitri.

Hari Raya Ketupat dilaksanakan sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri dan menjadi momen bagi masyarakat untuk bersilaturahmi dan memohon maaf satu sama lain. Tradisi ini diperkenalkan oleh para wali suci di era Demak dan Mataram, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.

Di beberapa daerah, seperti wilayah Mataraman, tradisi ini dilakukan dengan membawa kupat, lepat, dan bumbu-bumbu ke masjid. Setelah itu, makanan tersebut didoakan oleh seorang modin sebelum dibagikan kepada masyarakat. Tradisi serupa juga terjadi di tempat-tempat lain, meskipun dengan variasi lokal yang berbeda.

Kupatan di Menjuluk, Sendang Duwur, dan Drajat
Dalam konteks lokal, bisa jadi di era peralihan Islam, masyarakat desa membawa kupat, lepet, dan makanan lainnya ke Gunung Menjuluk untuk didoakan oleh pemimpin adat setempat, sebelum melakukan bancakan atau makan bersama. Tradisi ini mirip dengan kebiasaan warga Sendang yang naik ke Bukit Amitunong, serta masyarakat Paciran, Blimbing, dan Sedayu yang menuju Menjuluk sebelum melanjutkan perjalanan ke Sendang.

Begitu pula di Desa Drajat, masyarakat naik ke gunung atau bukit di sebelah timur desa dan melakukan ritual yang serupa. Namun, dalam perkembangannya, kegiatan ini bertransformasi menjadi Festival Ketupatan, yang lebih berfokus pada silaturahmi, persaudaraan, dan reuni tanpa unsur ritual keagamaan yang dulu dilakukan.

Tokoh-Tokoh Islam dalam Sejarah Wilayah Sedayu, Sendang Duwur, dan Drajat
Islamisasi di daerah ini tidak lepas dari peran tokoh-tokoh spiritual yang menyebarkan ajaran Islam dan membangun pusat-pusat keagamaan:
1. Sedayu – Pate Amiza, Pate Sudayo, Tmg. Joyosumitro, Mbah Sarengat (Sariat), Syekh Abdul Qohar, dan Radja Lella Sedayu.
- Mbah Sarengat atau Sariat merupakan tokoh penting di Sedayu sebelum Islam berkembang pesat.
- Menantunya adalah Syekh Abdul Qohar, yang merupakan ayah dari Sunan Sendang Duwur.

2. Sendang Duwur – Sunan Sendang Duwur (R. Noer Rochmat)
- Sunan Sendang Duwur lahir di Sedayu pada tahun 1520 dan wafat pada tahun 1585.
- Ia memainkan peran penting dalam Islamisasi wilayah Sendang Duwur dan sekitarnya.

- Masjid kuno Sendang Duwur memiliki arsitektur unik yang menggabungkan unsur Hindu-Buddha dan Islam, mencerminkan akulturasi budaya.

3. Drajat – Sunan Drajat (Raden Qosim)
- Raden Qosim, atau Sunan Drajat, memimpin Perdikan Drajat dari tahun 1482 hingga 1520-an.
- Ia dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kesejahteraan sosial dan pendidikan.
C. Kesimpulan
Tradisi kupatan di Nusantara tidak lahir secara tiba-tiba dengan masuknya Islam, tetapi merupakan kelanjutan dari kebiasaan tasyakuran dan sedekah bumi yang sudah dilakukan masyarakat sejak zaman pra-Islam.

Perlahan, tradisi ini bertransformasi dari ritual kepercayaan leluhur menjadi bagian dari perayaan Islam, terutama melalui pengaruh para wali dan ulama. Namun, esensi dari tradisi ini tetap terjaga, yaitu sebagai bentuk rasa syukur, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur.

Hingga kini, meskipun aspek ritualnya telah berkurang, festival ketupatan tetap menjadi momen penting bagi masyarakat untuk berkumpul, bersilaturahmi, dan menjaga persatuan, sebagaimana yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka selama berabad-abad.

Lamongan,  4 April 2025. Jam: 10:51 WIB
Fathur Rahman (Piyantun Sedayulawas)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama