Di balik rimbunnya pepohonan dan aliran tenang Sungai Ele, Kecamatan Tanete Riaja, tersembunyi sebuah kisah alam yang diwariskan turun-temurun: kisah tentang baje’, kerang air tawar yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat.
Tak ada yang tahu pasti sejak kapan baje’ pertama kali muncul di sungai ini. Namun, dari cerita para orang tua yang telah lama tinggal di bantaran Sungai Ele, baje’ sudah ada sejak puluhan tahun silam—bahkan sebelum jalan-jalan aspal membelah desa dan listrik menerangi rumah-rumah.
Di masa lalu, ketika sore menjelang dan matahari mulai turun di balik perbukitan, anak-anak dan ibu-ibu akan menyusuri tepian sungai sambil meraba-raba dasar pasir dengan telapak tangan. Mereka mencari baje’—dengan sabar, dengan naluri.
Baje’, dalam tradisi lisan masyarakat Tanete Riaja, bukan sekadar kerang. Ia adalah rasa kampung halaman, pengisi dapur-dapur rakyat, dan sumber penghidupan musiman.
Dalam musim kemarau ketika air sungai surut dan jernih, baje’ akan bermunculan lebih banyak. Di situlah waktu terbaik untuk memanen dan menjualnya ke pasar bahkan menjajakan dipinggir jalan.
Biasanya, baje’ dimasak dengan santan dan cabai, dibuat sate menjadi hidangan sederhana namun penuh cita rasa. Bahkan Baje' pernah juara propinsi untuk PMT Stunting berbahan pangan lokal.
Sungai Ele memberi kehidupan. Alirannya yang jernih, dasarnya yang berpasir halus, dan lingkungan sekitarnya yang masih alami menjadikan kawasan ini sebagai habitat ideal bagi kerang air tawar untuk berkembang biak.
Kepala Desa Lompo Tengah, Arifuddin Pabiseang dalam pembincangan dengan Syamsu Marlin dari media Wartamerdeka. info mengatakan, adalah berkah bagi Desa Lompo Tengah karena sepanjang aliran sungai yang membentang, Baje' hanya ada di sungai Dusun Ele, bahkan Alhamdulillah beberapa tahun terakhir ini kerang air tawar ini terus berkembang biak dan sudah ada disungai Botto-Botto dan Lisu yang masih aliran sungai Ele.
Keberadaan baje’ menjadi simbol keseimbangan antara manusia dan alam. Tidak ada teknologi, tidak ada mesin, hanya kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun tentunya waktu tak pernah diam. Perubahan perlahan akan mengusik ketenangan Sungai Lompo Tengah. Limbah rumah tangga mulai mengalir ke sungai. Eksploitasi baje’ tanpa pengaturan waktu panen kian meningkat. Bukan tidak mungkin, suatu saat kelestarian baje’ hanya tinggal cerita.
Menyadari hal ini, kini Pemerintah Desa bersama BPD Lompo Tengah sedang membahas peraturan desa (Perdes) tentang perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang diantaranya mengatur tentang penghijauan bantaran sungai, larangan tua Ikan (penangkapan menggunakan racun), larangan menggunakan setrum dan lainnya.
"Kami juga konsisten melakukan penebaran benih ikan di sepanjang aliran sungai Lompo Tengah. Dan sudah terbentuk kelompok Nelayan Air Tawar Corawali Mallemba", sebut Arif.
Harapannya tentu sederhana: agar generasi yang akan datang masih bisa mengenal dan mencicipi rasa khas baje’, seperti yang dulu mereka rasakan semasa kecil.
Karena baje’ bukan sekadar kerang. Ia adalah kenangan, identitas, dan warisan. Keberadaannya adalah Sungai Lompo Tengah yang hidup dan airnya terus mengalir jernih. (syam m. djafar)