Sedayu dan Brondong dalam Bingkai Sejarah Pengusiran Cornelis de Houtman, 2 - 5 Desember 1596)

    Yang mengusir armada ini Warga Sedayu dan        Brondong dipimpin Raja/Pate Lella

Oleh: Fathur Rahman, M.Pd
(Piyantun Sedayu, Pemerhati Sejarah Lokal)
"Sejarah iku URUB, URUB iku URIP"
(Jasmerah, jangan sekali kali melupakan sejarah)
Jangan sampai kita kehilangan jejak kesejarahan Kita
Cara melemahkan suatu identitas wilayah/bangsa
1. Kaburkan sejarahnya
2. Hancurkan bukti2 sejarahnya, agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan
3. Putuskan hubungan dengan leluhur nya.
A. Latar Belakang Geopolitik Pesisir Jawa
Akhir abad ke-16 adalah masa penuh ketegangan di pesisir utara Jawa. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), jaringan perdagangan Asia Tenggara berubah drastis. Pusat-pusat dagang di Jawa—Tuban, Sedayu, Gresik, hingga Surabaya—menjadi medan perebutan pengaruh antara pedagang Asia (Gujarat, Melayu, Makassar) dan kekuatan Eropa (Portugis, kemudian Belanda).

Brondong, sebuah pelabuhan kecil di antara Sedayu dan Paciran, berfungsi sebagai **satellite port** (pelabuhan satelit) dari Kadipaten Sedayu. Meski ukurannya kecil, letaknya strategis untuk mengawasi lalu lintas kapal di jalur pesisir barat–timur menuju Selat Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Banda-Maluku. Pada masa itu, Brondong dan Sedayu berada di bawah penguasa yang sama, yaitu Raja Lella, tokoh kunci dalam peristiwa pengusiran Cornelis de Houtman.

> “Hier leggen vier Steden bij malkanderen, de eerste Tubaon, daerna Cidayo, daerna Brandaon, ende daerna Surubaya.”
> *(Di sini terdapat empat kota yang letaknya berdekatan, yang pertama Tuban, lalu Cidayo, lalu Brandaon, dan terakhir Surubaya.)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 78r.
B. Kedatangan Armada Belanda
Pada 2 Desember 1596, empat kapal Belanda pimpinan Cornelis de Houtman berlabuh di perairan yang awalnya mereka kira Tuban. Willem Lodewycksz mencatat urutan empat pelabuhan utama di kawasan ini—Tuban, Sedayu (Cidayo), Brondong (Brandaon), dan Surabaya—yang jaraknya relatif dekat satu sama lain.

Rombongan Belanda disambut dengan pesan untuk menunggu, karena penduduk setempat hendak menawarkan rempah-rempah—cengkeh, fuli, dan pala—yang baru tiba. Raja Lella sendiri ditemui oleh salah satu utusan Belanda dalam suasana megah: menunggang kuda putih, dikawal 30 prajurit berkuda.

> “...den Coninck quam op een wit peerden, ende wel dertigh Ruyteren, brenghende Clouwe, Mace ende Noote tot een present.”
> *(...Sang Raja datang menunggang seekor kuda putih, diiringi sekitar tiga puluh penunggang kuda, membawa cengkeh, fuli, dan pala sebagai hadiah.)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 78v.
C. Dari Keramahan ke Permusuhan
Berbeda dengan awal sambutan di Banten, interaksi di Sedayu–Brondong cepat berubah menjadi kecurigaan. Lodewycksz menulis bahwa penduduk dan penguasa adalah kaum Mohammedan (Muslim), tetapi nada pengamatannya kali ini jauh dari netral—ia melihat agama penguasa sebagai identitas lawan.

Kabar konflik di Banten kemungkinan sudah sampai ke telinga Raja Lella. Diduga, penguasa Sedayu dan Brondong memandang armada Belanda sebagai ancaman politik sekaligus pesaing dagang yang tidak diundang. Brondong, sebagai pelabuhan pendukung Sedayu, menjadi salah di antara satu basis prajurit yang kelak terlibat langsung dalam serangan.

D. Hari Serangan: 5 Desember 1596
Pada pagi hari, enam perahu besar penuh prajurit bergerak dari pantai—tiga di antaranya merapat ke kapal *Amstelredam*. Mereka membawa dua ekor hewan sebagai hadiah, namun begitu naik ke dek, mereka mencabut keris bergelombang (*creis*) dan menyerang.
“...de Javanen, met haer Creis in de vuyst, vielen de onse aen, stakende Commissaris, Schipper, ende eenige anderen doot...”
> *(...orang-orang Jawa, dengan keris di tangan, menyerang orang-orang kami, menikam Komisaris, Nakhoda, dan beberapa yang lain hingga tewas...)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 79r.
Pertempuran di dek berlangsung sengit. Awak kapal Belanda menggunakan tombak, pedang, dan bahkan tusuk sate untuk memukul mundur penyerang. Meriam berisi batu-batu kecil ditembakkan, memaksa sebagian penyerang melompat ke laut. Satu perahu mereka tenggelam.
E. Korban dan Dampak
> *(...dari pihak Jawa, sekitar seratus lima puluh tewas, dari pihak kami dua belas...)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 79v.
Korban di pihak Jawa diperkirakan mencapai 150 orang, sementara pihak Belanda kehilangan 12 orang, termasuk seorang anak laki-laki yang ditemukan tewas dengan tiga belas luka tusukan. Tawanan yang ditangkap mengaku bahwa serangan ini telah direncanakan sejak mereka meninggalkan Banten, dan Sedayu dan Brondong disebut sebagai salah satu titik konsentrasi kekuatan sebelum penyerangan.
> “...van de Javanen bleven omtrent hondert ende vijftigh doot, van de onse twaalf...”

Setelah peristiwa ini, armada Cornelis de Houtman segera meninggalkan perairan Sedayu–Brondong menuju Arosbaya, Madura, dengan hubungan yang semakin memburuk antara Belanda dan para penguasa pesisir Jawa.

F. Makna Historis Brondong
Peristiwa 5 Desember 1596 menunjukkan bahwa Brondong, meski pelabuhan kecil, memainkan peran militer strategis sebagai bagian dari jaringan pertahanan Sedayu. Letaknya yang berdekatan dengan Sedayu Lawas memungkinkan koordinasi cepat antara pusat kekuasaan dan pos pantai. Bagi Belanda, nama Sedayu dan Brondong kemudian melekat sebagai lokasi yang terlibat dalam “pengkhianatan” pertama yang mereka alami di Jawa, sementara bagi pihak Jawa, ini adalah bagian dari upaya mempertahankan kedaulatan dagang dan politik dari pendatang asing yang belum dipercaya.(*)
Daftar Pustaka
- Lodewycksz, Willem. *Historie van Indien: Waer inne verhaelt is de avontuijren die de Hollandtsche schepen bejeghent zijn in Oost-Indien, sedert haer uytvaert uyt Hollandt, totter wederkeeringe tot Amsterdam*. Amsterdam: Cornelis Claesz, 1598.
- Jacobs, Els M., ed. *De eerste schipvaart naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman, 1595–1597*. Amsterdam: Linschoten-Vereeniging, 2000.
- Ricklefs, M.C. *A History of Modern Indonesia since c. 1200*. 4th ed. Stanford: Stanford University Press, 2008.
- Andaya, Leonard Y., and Barbara Watson Andaya. *A History of Early Modern Southeast Asia, 1400–1830*. Cambridge: Cambridge University Press, 2015.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Adv.