(Piyantun Sedayu, Pemerhati Sejarah Lokal)
(Jasmerah, jangan sekali kali melupakan sejarah)
Jangan sampai kita kehilangan jejak kesejarahan Kita
1. Kaburkan sejarahnya
2. Hancurkan bukti2 sejarahnya, agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan
3. Putuskan hubungan dengan leluhur nya.
Akhir abad ke-16 adalah masa penuh ketegangan di pesisir utara Jawa. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), jaringan perdagangan Asia Tenggara berubah drastis. Pusat-pusat dagang di Jawa—Tuban, Sedayu, Gresik, hingga Surabaya—menjadi medan perebutan pengaruh antara pedagang Asia (Gujarat, Melayu, Makassar) dan kekuatan Eropa (Portugis, kemudian Belanda).
Brondong, sebuah pelabuhan kecil di antara Sedayu dan Paciran, berfungsi sebagai **satellite port** (pelabuhan satelit) dari Kadipaten Sedayu. Meski ukurannya kecil, letaknya strategis untuk mengawasi lalu lintas kapal di jalur pesisir barat–timur menuju Selat Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Banda-Maluku. Pada masa itu, Brondong dan Sedayu berada di bawah penguasa yang sama, yaitu Raja Lella, tokoh kunci dalam peristiwa pengusiran Cornelis de Houtman.
> *(Di sini terdapat empat kota yang letaknya berdekatan, yang pertama Tuban, lalu Cidayo, lalu Brandaon, dan terakhir Surubaya.)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 78r.
Pada 2 Desember 1596, empat kapal Belanda pimpinan Cornelis de Houtman berlabuh di perairan yang awalnya mereka kira Tuban. Willem Lodewycksz mencatat urutan empat pelabuhan utama di kawasan ini—Tuban, Sedayu (Cidayo), Brondong (Brandaon), dan Surabaya—yang jaraknya relatif dekat satu sama lain.
Rombongan Belanda disambut dengan pesan untuk menunggu, karena penduduk setempat hendak menawarkan rempah-rempah—cengkeh, fuli, dan pala—yang baru tiba. Raja Lella sendiri ditemui oleh salah satu utusan Belanda dalam suasana megah: menunggang kuda putih, dikawal 30 prajurit berkuda.
> *(...Sang Raja datang menunggang seekor kuda putih, diiringi sekitar tiga puluh penunggang kuda, membawa cengkeh, fuli, dan pala sebagai hadiah.)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 78v.
Kabar konflik di Banten kemungkinan sudah sampai ke telinga Raja Lella. Diduga, penguasa Sedayu dan Brondong memandang armada Belanda sebagai ancaman politik sekaligus pesaing dagang yang tidak diundang. Brondong, sebagai pelabuhan pendukung Sedayu, menjadi salah di antara satu basis prajurit yang kelak terlibat langsung dalam serangan.
Pada pagi hari, enam perahu besar penuh prajurit bergerak dari pantai—tiga di antaranya merapat ke kapal *Amstelredam*. Mereka membawa dua ekor hewan sebagai hadiah, namun begitu naik ke dek, mereka mencabut keris bergelombang (*creis*) dan menyerang.
> *(...orang-orang Jawa, dengan keris di tangan, menyerang orang-orang kami, menikam Komisaris, Nakhoda, dan beberapa yang lain hingga tewas...)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 79r.

E. Korban dan Dampak
> *(...dari pihak Jawa, sekitar seratus lima puluh tewas, dari pihak kami dua belas...)*
> — Willem Lodewycksz, *Historie van Indien* (1598), fol. 79v.
Setelah peristiwa ini, armada Cornelis de Houtman segera meninggalkan perairan Sedayu–Brondong menuju Arosbaya, Madura, dengan hubungan yang semakin memburuk antara Belanda dan para penguasa pesisir Jawa.
Peristiwa 5 Desember 1596 menunjukkan bahwa Brondong, meski pelabuhan kecil, memainkan peran militer strategis sebagai bagian dari jaringan pertahanan Sedayu. Letaknya yang berdekatan dengan Sedayu Lawas memungkinkan koordinasi cepat antara pusat kekuasaan dan pos pantai. Bagi Belanda, nama Sedayu dan Brondong kemudian melekat sebagai lokasi yang terlibat dalam “pengkhianatan” pertama yang mereka alami di Jawa, sementara bagi pihak Jawa, ini adalah bagian dari upaya mempertahankan kedaulatan dagang dan politik dari pendatang asing yang belum dipercaya.(*)
- Lodewycksz, Willem. *Historie van Indien: Waer inne verhaelt is de avontuijren die de Hollandtsche schepen bejeghent zijn in Oost-Indien, sedert haer uytvaert uyt Hollandt, totter wederkeeringe tot Amsterdam*. Amsterdam: Cornelis Claesz, 1598.
- Jacobs, Els M., ed. *De eerste schipvaart naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman, 1595–1597*. Amsterdam: Linschoten-Vereeniging, 2000.
- Ricklefs, M.C. *A History of Modern Indonesia since c. 1200*. 4th ed. Stanford: Stanford University Press, 2008.
- Andaya, Leonard Y., and Barbara Watson Andaya. *A History of Early Modern Southeast Asia, 1400–1830*. Cambridge: Cambridge University Press, 2015.