(Praktisi Pendidikan SMA N 1 Paciran)
(Piyantun Sedayulawas, Pemerhati Sejarah Lokal)
Sejarah kadang mencatat raja-raja yang berperang, menaklukkan, dan membangun kemegahan, namun melupakan mereka yang menjaga negeri dalam diam. Pate Bagus adalah salah satu dari mereka—pemimpin yang tak menghunus keris di medan perang, tetapi memegang kendali negeri dengan kebijaksanaan, kesabaran, dan ketulusan.
Pada awal abad ke-16, di pesisir utara Jawa, sebuah kadipaten yang strategis bernama Sedayu. Kadipaten ini menjadi salah satu pelabuhan utama dalam jaringan dagang dan militer Kesultanan Demak, terutama saat ekspedisi jihad maritim ke Melaka berlangsung pada 1513. Di tengah pergolakan zaman dan kemelut pewarisan kekuasaan, muncul sosok Pate Bagus, paman dari adipati muda Pate Amiza, yang mengemban peran sebagai wali negeri saat penguasa sahnya belum cukup umur atau pengalaman.
Dalam sejarah kekuasaan lokal Jawa, khususnya pada masa awal Islamisasi, keberadaan seorang *wali raja* atau *administrator senior* kerap menjadi faktor penentu stabilitas politik. Sosok seperti ini tidak selalu mencolok dalam catatan sejarah, namun berperan vital dalam menjaga kesinambungan dinasti. Salah satu figur penting dalam konteks Kadipaten Sedayu adalah "Pate Bagus", adik dari Pate Amiza Senior, sekaligus paman dan wali dari Pate Amiza Junior.
Meski seringkali luput dari perhatian utama sumber Eropa, peran Pate Bagus menjadi sangat sentral dalam masa transisi kepemimpinan Sedayu dari generasi pertama ke generasi kedua. Ia hadir dalam catatan Tomé Pires sebagai pengelola harian pemerintahan Sedayu saat penguasa resminya masih muda dan belum sepenuhnya aktif dalam urusan negara.
Menyebut Sedayu sebagai negeri penting dalam jalur laut antara Jepara dan Gresik, yang saat itu diperintah bangsawan Muslim pesisir.
(Pinto, Peregrinacam, 1614 (Edisi Inggris: The Travels, 1653)
Babad Tanah Jawi Versi Surakarta, juga menuliskan tentang adipati-adipati pesisir dalam Pasukan Pate Unus ke Malaka, di antaranya tertulis Tiyang Sadayo atau Orang Sedayu.
Menyinggung tentang adipati-adipati yang mewakili daerah pesisir dalam pasukan Pate Unus ke Malaka, termasuk “tiyang saking Sadayo.” - Babad Tanah Jawi, ed. Olthof, 1941
“...de Çidayo, que hé um porto razoado, e tem um capitam mouro...”
(Sedayu adalah pelabuhan yang layak dan memiliki kapten Muslim). - Tomé Pires, Suma Oriental, ed. Cortesão, 1944.
Namun, siapa kapten atau penguasa Sedayu saat itu? Diduga sosok itu adalah Pate Bagus, seorang tua bijaksana, paman dari penguasa muda, yang menjalankan pemerintahan di tengah kekosongan pemimpin.
Selama Pate Bagus memegang kendali administratif, Sedayu menjadi bagian penting dari rantai maritim antara Jepara, Gresik, dan Tuban. Dalam catatan Tomé Pires,di atas disebutkan bahwa Sedayu memiliki “seorang kapten Muslim” yang berwenang penuh atas pelabuhan. Bisa jadi, jabatan itu secara de facto dijabat oleh Pate Bagus selama Pate Amiza belum aktif sebagai pemimpin langsung.
- Pate Amiza (anak saudaranya)
- Pate Rodim (Demak)
- Pate Unus (Jepara)
Kedekatan kekerabatan ini menjelaskan kuatnya posisi Sedayu sebagai sekutu strategis Demak dan pusat logistik maritim pada masa itu.
Ketika "Pate Amiza Senior" wafat atau turun tahta sekitar tahun 1513, posisinya diwariskan kepada putranya, *Pate Amiza Junior, yang masih berusia sekitar 20 tahun. Dalam struktur kekuasaan Jawa tradisional, seorang pemimpin muda kerap ditemani oleh sosok **patih utama* atau *paman senior* sebagai wali pemerintahan.
Dalam hal ini, Pate Bagus bertindak sebagai semacam “perdana menteri” atau *penguasa de facto, yang menjalankan pemerintahan atas nama keponakannya. Menurut *Suma Oriental, Amiza Junior lebih banyak menghabiskan waktu untuk berburu, sehingga urusan pemerintahan ditangani oleh pamannya.
“...Pate Amiza is a very young man, aged twenty... his uncle, Pate Bagus, governs in his stead.”
(Tomé Pires, 1513)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kekuasaan administratif Sedayu saat itu berada di tangan Pate Bagus.
Sekitar tahun 1513, ayah dari Pate Amiza (penguasa muda Sedayu) ikut serta dalam ekspedisi pertama ke Melaka di bawah komando Pate Unus, sultan muda dari Demak. Dalam ekspedisi itu, banyak tokoh pesisir gugur di lautan, termasuk ayahanda Pate Amiza.
Maka kekuasaan Sedayu turun kepada sang anak. Namun, Pate Amiza baru berusia dua puluhan. Ia dikenal lebih suka berburu ketimbang mengatur pemerintahan. Dalam kondisi seperti itu, Pate Bagus—paman dari pihak ayah atau ibu—melangkah maju. Ia tidak menobatkan diri sebagai adipati, tidak menggeser takhta keponakannya. Ia cukup menjadi wali—pengatur negeri, pengambil keputusan, dan pemelihara stabilitas.
“Nalika Ratu Enom durung saget mrentah, sing nangani nagari ya Pamané, Pate Bagus... Wong sepuh seng bijaksana, nanging ora kepengin nyonggo takhta.”
(Saat adipati muda belum mampu memerintah, pamannyalah yang menangani negeri—Pate Bagus... Orang tua yang bijaksana, namun tak ingin merampas takhta.)
Banyak orang ingin berkuasa, tapi Pate Bagus justru menjaga kuasa agar tidak direbut. Ia adalah penjaga amanat. Dalam adat Jawa, orang seperti Pate Bagus disebut pepundhen urip—tokoh tua yang menjadi panutan masyarakat, tempat orang mencari keputusan, tapi tak memegang mahkota.
Selama masa perwaliannya, Pate Bagus menjalankan fungsi kenegaraan: menerima utusan dari Gresik, menjaga hubungan dagang dengan Tuban, dan mendukung ekspedisi militer Demak. Tidak ada pemberontakan. Tidak ada kudeta. Tidak ada cerita bahwa ia pernah mengkhianati keponakannya. Justru sebaliknya: ia mendidik, melindungi, dan membuka jalan agar Pate Amiza kelak dapat memimpin secara penuh.
Jika Pate Amiza adalah adipati muda yang tampil dalam narasi sejarah formal, maka Pate Bagus adalah fondasi yang menopangnya. Tanpa Pate Bagus, Sedayu mungkin jatuh dalam kekacauan saat peralihan kekuasaan. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus dilandasi ambisi, tapi bisa muncul dari pengabdian.
Dan di kemudian hari, tradisi kepemimpinan yang ditanamkan oleh Pate Bagus akan diwarisi oleh generasi selanjutnya, termasuk oleh Pate Sudayo (1546), dan Raja Lella (1596), yang masih berada dalam garis besar dinasti yang sama.
Meski tidak banyak disebut dalam naskah-naskah Eropa seperti Suma Oriental (Tomé Pires) atau catatan Portugis lain, nama Pate Bagus masih hidup dalam memori kolektif masyarakat Sedayu sebagai tokoh yang “mbarep nanging ora nyonggo takhta”—ia mendahului, tetapi tidak merebut. Nilai kebijaksanaan dan kepemimpinannya terekam dalam tradisi lokal, pitutur para sesepuh Sedayulawas.
Sejarah Sedayu bukan hanya tentang peperangan dan pelayaran. Ia juga tentang kebijaksanaan orang-orang tua yang menjaga negeri dengan laku diam. Pate Bagus adalah lambang dari keikhlasan seorang pemimpin: ia tak mencatatkan namanya di batu, tetapi menanamkan nilainya di hati rakyat dan garis keturunan.
Di masa kini, ketika banyak yang berebut kuasa tanpa kesiapan dan tanpa kesadaran, kisah Pate Bagus memberi pelajaran: memimpin bukan berarti duduk di singgasana, tetapi mengabdi dalam keheningan demi keberlangsungan negeri.(*)
- Tomé Pires. The Suma Oriental of Tomé Pires. Edisi Armando Cortesão. London: Hakluyt Society, 1944.
- Ferdinand Mendez Pinto. Peregrinaçam. Lisbon: 1614. Edisi Inggris: The Travels of Mendes Pinto, 1653.
- Babad Tanah Jawi. Versi Surakarta. Ed. J. J. Meinsma & Th. Pigeaud.