│
├── Pate Bagus (paman, pelaksana pemerintahan 1513)
│
└── Pate Amiza Muda (ca. 1493–sesudah 1513)
│ (menikah dengan Putri Sunan Giri Zainal Abidin)
│
└── Pate Sodayo (ca. 1515–1546)
│
└── (Bupati Sedayu abad XVI)
│
└── Raja Lella Sedayu (aktif 1596)
GUSTI SEDAYU DALAM PERGOLAKAN DEMAK PASCA-1546

Oleh: Fathur Rahman, S.Pd.,M.Pd.
(Piyantun Sedayu Lawas)
Praktisi Pendidikan SMAN 1 Paciran – Pemerhati Sejarah Lokal Pesisir Utara Jawa
Sedayu, sebuah nama yang mungkin bagi sebagian orang kini hanyalah nama desa tua yakni Sedayu Lawas di pinggiran pesisir utara Jawa Timur, sesungguhnya menyimpan kisah besar yang pernah mengguncang sejarah kekuasaan Islam di tanah Jawa. Pada pertengahan abad ke-16, wilayah ini bukan sekadar pelabuhan kecil. Ia adalah kadipaten maritim yang strategis, menjadi penghubung antara pusat kekuasaan Demak, Giri, dan pelabuhan besar lain seperti Tuban dan Gresik.
Di tengah gegap gempita perubahan zaman setelah wafatnya Sultan Trenggono tahun 1546, muncullah seorang tokoh dari Sedayu yang nyaris menjadi pemegang kendali kekuasaan seluruh Jawa, Bali, dan Madura. Ia adalah Pate Sudayo, atau Gusti Sedayu, sebagaimana ia dikenal oleh masyarakat lokal.
Nama Pate Sudayo tidak muncul dalam Babad Tanah Jawi, tidak pula dalam Serat Kanda atau Serat Centhini. Namun, ia muncul mencolok dalam catatan seorang penjelajah Portugis, Ferdinand Mendez Pinto, yang menulis dengan detail pergolakan pasca-wafatnya Sultan Trenggono di Pasuruan, pada Maret 1546. Sultan wafat secara tragis, ditusuk oleh seorang anak kecil dari keluarga bangsawan Surabaya yang dikenal sebagai Pangeran Pondan.
Kekosongan tahta pun terjadi. Dalam suasana genting itu, delapan pembesar pesisir berkumpul untuk memilih pemimpin baru. Pinto mencatat:
“...eight of the chiefest Moors... unanimously elected Pate Sudayo, a prince from the coast, to be the sovereign of Java, Bali, and Madura.” - (Ferdinand Mendez Pinto, Peregrinaçam, CLXXVII, ed. 1653)
Pate Sudayo datang ke Demak dengan armada besar: 1.500 kapal jenis calalucer dan juri pangos, membawa lebih dari 200.000 orang pengikut—angka yang meskipun tampak fantastis, menandakan betapa besar pengaruh dan sumber dayanya saat itu.
Meskipun Pinto menyebut Sudayo sebagai "pangeran dari Surabaya", banyak peneliti menyangsikan keakuratan ini. Sebab dalam bagian lain catatannya, Pinto menyebut bahwa semua bangsawan Surabaya dari keluarga Pangeran Pondan dihukum mati. Lalu siapa sebenarnya Pate Sudayo?
Aliyah Gordon (2001) menafsirkan bahwa nama “Sudayo” lebih dekat ke “Sedayu” daripada Surabaya. Ia menyatakan:
“Pate Sudayo, identified with the title of Patii Sedayoe, was likely a regional governor of Sedayu.” - (The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, hlm. 472)
Jika ditelusuri lebih jauh, tokoh ini mungkin adalah penerus dari Pate Amiza Junior, bangsawan muda Sedayu yang disebut dalam Suma Oriental karya Tomé Pires (1513). Pate Amiza adalah keponakan dari Pate Morob (Rembang), sepupu Pate Unus (Jepara), dan menantu Raja Giri. Garis keturunannya menunjukkan bahwa Pate Sudayo berasal dari jaringan elit pesisir yang terhubung langsung dengan pusat kekuasaan Islam di Demak dan Giri.
Sistem kekuasaan Jawa saat itu tidak berbentuk monarki sentralistik. Melainkan mengikuti pola mandala—di mana pusat kekuasaan dikelilingi oleh kekuatan regional semi-otonom. Dalam hal ini, delapan Pate (penguasa pesisir) duduk dalam satu sidang bersama untuk menentukan pemimpin baru:
1. Pate Jepara
2. Pate Cirebon
3. Pate Sedayu (Sudayo)
4. Pate Rembang
5. Pate Tidunan (Kudus)
6. Pate Gresik
7. Pate Zaenal
8. Pate Demak
Pemilihan Pate Sudayo menandakan kepercayaan besar pada dirinya, baik karena kekuatan armadanya, maupun karena loyalitasnya terhadap struktur kekuasaan Islam.
“...five thousand were arrested and executed... by impalement and fire, causing horror among even the Portuguese.” (Peregrinaçam, CLXXVII)
Namun kekuasaan Pate Sudayo tidak berlangsung lama. Justru pada puncak pengaruhnya, ia dibunuh oleh sesama elite pesisir, para Pate yang dahulu memilihnya. Pinto mencatat dengan getir:
"...and that they might not be deluded by the pretences of Pate Sudayo, who being one of them, was put to death by the rest before the election." - (Pinto, 1653, hal. 223)
Pate Sudayo dianggap terlalu ambisius, bahkan mungkin mengancam dominasi kolektif para penguasa pesisir lainnya. Ia pun menjadi korban konspirasi.
Dalam upaya mengidentifikasi lebih lanjut, muncul berbagai tafsir historiografis. De Graaf menduga Pate Sudayo adalah Pangeran Sunjaya dari Surabaya, namun pendapat ini tidak memiliki kesinambungan genealogis yang kuat.
Sementara Sarkawi B. Husain (2018) menyebut kemungkinan Pate Sudayo adalah Ki Ageng Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran, tokoh spiritual yang dikenal di wilayah Ampel dan Brondong pada akhir abad ke-16. Namun, dari segi waktu, tokoh ini kemungkinan adalah generasi berikutnya dari Pate Sudayo, bukan orang yang sama.
Pate Sudayo mungkin gugur, namun warisannya tetap hidup di Sedayu. Dalam masyarakat lokal, ia dikenal sebagai Gusti Sedayu, tokoh yang pernah mengangkat Sedayu ke panggung politik tingkat tinggi Jawa.
- Makam Sentono
- Makam Sono
- Makam Keramat Pereng Gunung Menjuluk
- Makam depan Mighrab Masjid Agung Sedayu Lawas
- Makam Suko
Setiap sebagai penanda bahwa sejarah besar pernah hidup di sini, di pesisir utara yang dahulu menjadi jalur emas perdagangan dan kekuasaan.
Kisah Pate Sudayo mengajarkan kita satu hal: bahwa sejarah besar tak hanya ditulis oleh raja-raja di dalam kraton, tetapi juga oleh pemimpin-pemimpin pesisir yang berani bermimpi, berjuang, dan kadang jatuh karena pengkhianatan.
Pate Sudayo adalah bagian dari sejarah Sedayu yang selama ini tersembunyi di balik kabut waktu. Tapi berkat sumber-sumber asing dan kajian sejarah lokal, namanya kini kembali mengemuka sebagai simbol keberanian, politik pesisir, dan kesetiaan pada nilai-nilai Islam dan kemaritiman Jawa.(*)

Daftar Pustaka :
2. De Graaf, H.J. Bangkitnya Mataram Islam. Jakarta: Grafiti, 1987
3. Pinto, Ferdinand Mendez. The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, London: Henry Cogan, 1653.
4. Pinto, Ferdinand Mendez. Peregrinaçam. Lisbon: Regia Officina Typographica, 1614; London: Henry Herringman, 1653.
5. Pinto, Fernao Mendes. Peregrinacam, Lisbon: Pedro Crasbeeck, 1614.
6. Pires, Tomé. The Suma Oriental, ed. Armando Cortesão, London: Hakluyt Society, 1944.
7. Gordon, Aliyah. The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago. Malaysia: MSRI, 2001.
8. Sarkawi B. Husein. Sejarah Lamongan dari Masa ke Masa. Lamongan: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, 2018.
9. Sarkawi B. Husain, Riwayat Giri dan Dakwah Islam di Jawa Timur, 2018