Ketua ICMI Jawa Timur
Ketika Australia resmi mengumumkan pengakuan terhadap Negara Palestina pada 21 September 2025, maka harapan kembali menggema di hati umat Islam. Langkah Negeri Kanguru ini menambah daftar panjang negara yang secara terbuka memberikan legitimasi politik bagi Palestina sebagai entitas berdaulat. Bersamaan dengan Inggris dan Kanada, pengakuan ini memperkuat arah baru diplomasi internasional: bahwa solusi dua negara bukan hanya jargon, tetapi komitmen nyata.
Bagi dunia Islam, kabar ini seperti oase di tengah gurun panjang penderitaan rakyat Palestina. Tentu pengakuan semacam ini tidak serta-merta menghentikan penjajahan, blokade, atau perampasan tanah di Tepi Barat. Namun, pengakuan ini sudah pasti menjadi simbol moral yang meneguhkan: bahwa perjuangan Palestina bukan perjuangan yang sia-sia.
Dalam Islam, solidaritas terhadap sesama umat adalah bagian dari iman. Nabi Muhammad SAW mengibaratkan umat bagaikan satu tubuh; bila satu anggota sakit, yang lain ikut merasakannya. Penderitaan rakyat Palestina selama puluhan tahun sejatinya adalah luka kolektif umat Islam. Karena itu, setiap langkah internasional yang memberi pengakuan terhadap Palestina harus dipandang sebagai pintu baru untuk memperkuat ukhuwah dan menegakkan keadilan.

Sumber : detiknews
Indonesia sejak lama konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Konstitusi kita tegas menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Dalam berbagai forum internasional, Indonesia selalu berdiri di barisan depan membela hak rakyat Palestina.
Dengan langkah Australia ini, Indonesia memiliki peluang emas untuk mengambil peran lebih besar. Dalam pikiran saya, sedikitnya ada tiga peran yang bisa dimainkan Indonesia:
Pertama, melalui diplomasi multilateral di PBB, Indonesia bisa mendorong lebih banyak negara untuk mengikuti jejak yang sama.
Kedua, melalui kerjasama bilateral, Indonesia dapat memperkuat dukungan politik, ekonomi, bahkan pendidikan bagi Palestina.
Ketiga, melalui peran di dunia Islam, Indonesia bisa menjadi jembatan yang mempertemukan negara-negara Muslim dengan kekuatan Barat yang kini mulai membuka ruang pengakuan.
Meski penuh harapan, kita tidak boleh lengah. Pengakuan negara-negara Barat seringkali datang bersama syarat-syarat politik, termasuk pembaruan tata kelola di Palestina atau pengesampingan kelompok tertentu. Hal ini menuntut kewaspadaan. Jangan sampai pengakuan hanya berhenti sebagai instrumen politik, tidak benar-benar menjamin keadilan dan kedaulatan penuh Palestina.
Tugas Indonesia dan dunia Islam adalah memastikan bahwa pengakuan ini ditindaklanjuti dengan langkah konkret: yaitu dorongan terhadap gencatan senjata permanen, penghentian pembangunan permukiman ilegal, serta penyelenggaraan pemilu yang legitimate di Palestina.
Pengakuan Australia terhadap Palestina pastilah bukan akhir perjalanan, tapi awal dari babak baru diplomasi. Momentum ini harus dimanfaatkan Indonesia dan dunia Islam untuk mengubah simpati global menjadi kebijakan nyata yang melindungi hak rakyat Palestina.Dalam bahasa iman, ini adalah amanah: membela yang tertindas, menguatkan yang lemah, dan menegakkan keadilan. Dalam bahasa diplomasi, ini adalah peluang: menempatkan Indonesia sebagai pemimpin moral dan politik dalam perjuangan kemanusiaan yang paling lama di abad modern.
Sejarah akan mencatat, apakah kita sekadar menjadi penonton dari pengakuan ini, atau menjadikannya pijakan untuk melangkah lebih jauh demi tegaknya kemerdekaan Palestina yang hakiki.(*)