Setiap bulan Oktober, kita kembali diingatkan pada peristiwa monumental dalam sejarah bangsa, yaitu Sumpah Pemuda. Peristiwa tahun 1928 itu tidak hanya sekedar catatan sejarah, melainkan juga simbol kebangkitan kesadaran nasional.
Di tengah keterbatasan dan penjajahan yang melanda bangsa kita, para pemuda Indonesia, kala itu, berani menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Sungguh tekad yang sederhana, namun mengguncang dasar kolonialisme.
Kini, hampir seabad lamanya, kita hidup di era yang sepenuhnya berbeda. Dunia telah berubah, bukan lagi peperangan fisik yang kita hadapi, melainkan perang ide, arus informasi, dan krisis identitas di ruang digital. Lantas, pertanyaannya adalah apakah Sumpah Pemuda masih relevan di tengah derasnya gelombang globalisasi dan teknologi yang serba cepat?
Jawabannya: lebih relevan dari sebelumnya.
Sumpah yang Tak Pernah Usang
Esensi Sumpah Pemuda adalah persatuan dalam keberagaman. Nilai ini tetap menjadi jangkar moral bangsa, bahkan di era digital yang sering kali menimbulkan sekat baru bukan lagi antar daerah atau suku, melainkan antar kelompok opini di media sosial. Generasi Z, yang lahir di tengah teknologi, kini memiliki tanggung jawab moral untuk menerjemahkan semangat itu dalam bahasa zamannya, menjaga persatuan di dunia maya.
Mereka harus mampu menjadi pemuda digitalis yang nasionalis, bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi penggerak perubahan yang berakar pada nilai kebangsaan. Persatuan yang dahulu diwujudkan dalam kongres, kini bisa diwujudkan dalam jejaring digital melalui kolaborasi lintas daerah, kampanye literasi, dan gerakan sosial yang membangun.
Tantangan Generasi Z
Generasi Z hidup dalam realitas yang serba cepat, penuh informasi, dan kerap membingungkan. Di satu sisi, mereka adalah generasi paling terbuka, kreatif, dan kritis. Namun di sisi lain, mereka juga menghadapi ancaman nyata yaitu disinformasi, polarisasi, dan hilangnya jati diri nasional.
Sumpah Pemuda hadir sebagai pengingat bahwa kemajuan teknologi tidak boleh menghapus nilai luhur bangsa. Bahwa menjadi modern bukan berarti kehilangan akar budaya. Dan bahwa di tengah dunia yang tanpa batas, bahasa Indonesia, budaya lokal, dan semangat gotong royong tetap menjadi identitas yang membedakan kita dari bangsa lain.
Menanam Semangat Kolaborasi
Spirit Sumpah Pemuda adalah kolaborasi lintas perbedaan. Dulu para pemuda datang dari latar yang berbeda, namun bersatu demi cita-cita kemerdekaan. Kini, kolaborasi itu dapat diwujudkan dalam banyak cara dari membangun start-up berbasis pendidikan, membuat konten budaya di media sosial, hingga melakukan inovasi sosial berbasis teknologi.
Pemuda masa kini tidak lagi berjuang di medan perang, tetapi di medan ide dan inovasi. Mereka perlu memperkuat literasi digital, etika komunikasi, dan semangat gotong royong agar kemajuan teknologi benar-benar membawa manfaat bagi bangsa.
Tidak Sekedar Peristiwa
Sumpah Pemuda bukanlah sekadar peristiwa sejarah yang dikenang setiap 28 Oktober. Ia adalah roh kebangsaan yang harus terus hidup dalam jiwa setiap generasi. Di tangan Generasi Z, semangat itu menemukan bentuk baru yaitu semangat untuk berpikir global, tetapi bertindak nasional; berjiwa modern, namun tetap berkarakter Indonesia.
Selama pemuda masih berani bermimpi, berinovasi, dan berbuat untuk bangsanya, maka Sumpah Pemuda akan tetap hidup tidak hanya dalam sejarah, tetapi dalam denyut nadi zaman digital.
