Karya : YM. Sjahrir Tamsi
Di antara dentuman mesin, deru kompresor, dan aroma besi yang dipoles, tersimpan sebuah kisah cinta yang tak biasa. Bukan cinta yang lahir dari pandangan mata, melainkan dari Jiwa yang terpaut oleh panggilan Suci, yakni: mendidik dan menumbuhkan harapan.
Di sanalah berdiri seorang pendidik yang sederhana, bernama YM. Syamsi, seorang Guru pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang menjadikan bengkel sekolahnya sebagai taman inspirasi atau tempat di mana mimpi para Siswa dirajut dari percikan semangat dan peluh kerja keras.
Setiap pagi, Syamsi melangkah ke ruang praktik dengan senyum yang tak pernah pudar. Ia tahu, di balik wajah-wajah polos para siswanya, tersimpan potensi besar yang menunggu disentuh oleh kasih sayang dan kepercayaan.
Bagi Syamsi, “Cinta” terhadap Profesinya bukan sekadar kata, tapi nafas yang menuntun setiap langkah. Ia percaya bahwa setiap anak adalah benih yang hanya akan tumbuh jika disirami cinta, bukan sekadar instruksi.
“Mengajar bukan hanya soal menyampaikan materi,” katanya suatu hari kepada koleganya.
“Tapi tentang bagaimana Kita membuat Siswa percaya bahwa mereka mampu menciptakan sesuatu yang berarti.”
Cinta itu membuat Syamsi tak lelah berinovasi. Ia mengubah keterbatasan menjadi tantangan, dan tantangan menjadi peluang. Ketika peralatan bengkel mulai usang, ia mengajak siswanya merancang alat-alat baru dari bahan bekas. Bukan sekadar mengajar teknik, tetapi menanamkan filosofi kehidupan, yakni: bahwa inovasi lahir dari cinta terhadap pekerjaan dan kepedulian terhadap sesama.
Suatu hari, Syamsi memperkenalkan Project-Based Learning (PBL) di Ruang Praktik Siswa (RPS). Ia tak lagi ingin Siswanya hanya meniru, tetapi "Berpikir, Merancang, dan Mencipta".
Proyek pertama mereka yaitu: "Membuat Sistem Kelistrikan Sepeda Motor Hemat Energi".
Siswa-siswanya bekerja dalam tim, meneliti, menguji, gagal, lalu mencoba lagi. Syamsi tak pernah marah ketika mereka salah.
Ia hanya tersenyum dan berkata lembut,
“Kegagalan bukan Akhir dari Pembelajaran, tetapi Awal dari Inovasi.”
Dari sinilah lahir berbagai ide kreatif yaitu: dari "Sistem Sensor Otomatis untuk Bengkel Sekolah, hingga Aplikasi Digital Sederhana yang membantu guru lain memantau kegiatan praktik siswa".
Bagian 3 – Teknologi, Cinta, dan Harapan BaruWaktu berjalan. Dunia berubah.
Syamsi menyadari bahwa Generasi Baru tak lagi hanya belajar dari buku dan obeng, tapi dari layar dan simulasi. Maka, ia memperkenalkan teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) ke dalam pembelajaran.
Kini, Siswa bisa belajar merakit mesin tanpa takut salah, melalui simulasi digital. Mereka bisa “masuk” ke dalam mesin dan memahami setiap komponen tanpa membuka satu baut pun.
Dan ketika sekolah kekurangan fasilitas, Syamsi tak menyerah. Ia membuat sendiri "Modul Digital Interaktif" yang bisa diakses lewat ponsel siswa.
Cinta terhadap profesinya membuat Syamsi tak sekadar menjadi guru, ia menjadi "Arsitek Masa Depan Pendidikan Vokasi".
Baginya, teknologi hanyalah alat, yang utama adalah "Rasa Cinta dan Keinginan Tulus untuk membuat Siswanya Tumbuh Lebih Baik dari Dirinya".
Ia tahu, inovasi bukanlah kerja individu. Maka ia menggandeng Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, Dunia Industri dan Dunia Kerja (DUDIKA), dan sesama Guru. Ia aktif dalam program pelatihan "Guru Penggerak", berbagi praktik baik, dan membuka jejaring kolaborasi lintas sekolah.
“Inovasi itu menular,” ucapnya dalam sebuah seminar pendidikan.
“Ketika satu guru berinovasi dengan cinta, maka seratus guru lainnya akan terinspirasi untuk menyalakan api yang sama.”
Pemerintah dan Swasta pun mendukung. Bengkel sekolahnya menjadi "Teaching Factory Percontohan". Siswa-siswanya menjuarai lomba kreativitas teknik tingkat nasional.
Itulah Puncak Cinta Seorang Pendidik.
Ketika usia mulai menua, dan langkah kakinya tak lagi secepat dulu, Syamsi duduk di sudut bengkel sambil memandangi Siswa-siswanya bekerja. Ia tahu waktunya akan tiba untuk menyerahkan tongkat estafet pada Generasi Muda.
Namun, hatinya tenang karena cinta yang ia tanam telah berakar kuat di dada mereka.
“Inovasi boleh berubah,” katanya pada dirinya sendiri,
“Tapi cinta terhadap dunia pendidikan harus tetap menjadi bahan bakar utama.”
Ia tersenyum, melihat bengkel yang dulu sederhana kini penuh alat, ide, dan semangat. Ruang Praktik Siswa itu bukan lagi sekadar tempat belajar, melainkan Monumen Cinta—cinta seorang guru kepada siswa-siswanya, kepada profesinya, dan kepada bangsanya.
“Kisah cinta di ruang praktik kejuruan” bukan sekadar cerita tentang guru dan siswanya.
Ia adalah simbol dari "Dedikasi tanpa pamrih, dari passion yang menembus batas waktu dan fasilitas".
“Cinta Sejati dalam Pendidikan,” tulisnya di papan tulis sebelum pensiun,
“Adalah ketika Ilmu Menjadi Cahaya, dan Cahaya itu Menerangi Kehidupan Orang lain.”
(Bersambung)
