Gerakan 212 dan Konstitusi Religius

Oleh : Iwan Setiawan, Ph.D

(Dosen Hukum Tata Negara.
Fakultas Hukum. Universitas Muhammadiah Yogyakarta) 


Reuni 212 pada Ahad, 2 Desember 2018 kembali menggemparkan jagad media (sosial) dan menggelorakan semangat Islam yang luar biasa. Boleh dikatakan belum ada satupun gerakan atau kelompok, bahkan partai politik sekalipun yang bisa menggerakkan orang sebanyak itu dengan mengorbankan harta benda, waktu dan kekuatan fisik untuk hadir membaur di Monas dan sekitarnya.

Reuni 212 ini seakan memberikan pesan, kekuatan umat Islam tidak bisa diremehkan. Namun demikian tetap saja banyak pihak yang mengkritisi dan bahkan mengejek  gerakan ini sebagai gerakan yang memiliki agenda politik dengan kedok agama. Bahkan sebagian  menyebutnya sebagai gerakan yang akan memecah persatuan bangsa. Tulisan di bawah ini menggarisbawahi beberapa isu penting terkait fenomena gerakan 212 ini.

Isu Agama dan Politik

Isu relasi agama dan politik sebenarnya bukan isu yang baru. Apakah agama dan politik harus dipisahkan  atau  bersinergi terus menjadi perdebatan yang tak pernah berhenti.  Ia selalu muncul ke permukaan di momen tertentu. Misalnya, sebagian kelompok, yang sebagiannya pendukung capres-cawapres Jkw-MA, secara terang-terangan dari awal menolak membawa agama ke ranah politik. Dari awal kelompok ini bereaksi negatif terhadap rencana pencalonan Ust. Abdul Shomad sebagai capres Prabowo, dengan alasan tidak pantas seorang ulama masuk ke wilayah politik kenegaraan karena akan mencampurkan adukan agama dan politik. Walau kemudian kelompok ini harus menelan ludah sendiri karena akhirnya PDIP dan koalisinya memilih KH. Ma’ruf Amin, seorang figur ulama,  sebagai cawapresnya. Ini rill politik yang terjadi. PDIP dan koalisinya tidak konsisten dengan pandangan yang mereka miliki terkait relasi agama dan politik.

Sebenarnya, pilihan politik PDIP dan koalisinya memilih figur ulama dari NU adalah langkah politik yang positif jika dengan pemahaman bahwa memang politik itu memerlukan agama sebagai spirit berpolitik yang melahirkan kebaikan untuk kepentingan publik. Jangan sampai ulama hanya dipakai untuk mendorong mobil mogok dan setelah jalan, ulamanya ditinggalkan, bahkan mengalami persekusi di sana-sini. Sikap politik PDIP dan koalisinya akan diuji konsistensinya dalam kebijakan yang mereka buat. Apakah itu hanya pilihan pragmatis atau memang atas kesadaran ideologis pentingnya merangkul kelompok Islam.

Di sisi lain, Prabowo dengan latar belakang keluarga yang nasionalis memilih mendekat ke kelompok Islam yang dianggap lebih konservatif dalam wacana politik modern. Prabowo bahkan berani membaut kontrak politik dengan kelompok ulama yang menjadi motor gerakan 212. Dengan kata lain, Prabowo pun memahami realitas politik Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim. Prabowo memilih jalan mengakomodasi aspirasi umat Islam yang ada di dalam gerakan 212 tersebut. Oleh karena itu, wajar jika secara tren politik, gerakan 212 akan lebih condong memilih Prabowo-Sandi karena mereka berani membuat kontrak politik untuk mengakomodasi aspirasi umat Islam.

Pilihan PDIP Cs dan Gerindra yang nasionalis  untuk mendapatkan dukungan dari kelompok Islam menunjukkan bahwa kekuatan politik umat Islam sangat diperhitungkan. PDIP misalnya saya kira banyak belajar dari kekalahan mereka dalam beberapa pilkada beberapa tahun belakangan ini. Jakarta, Banten, Bantul dan beberapa wilayah di Kalimantan menjadi bukti bahwa ketika PDIP meninggalkan umat Islam, maka mereka bisa menelan kekalahan pahit. Kesadaran PDIP untuk mengakomodasi aspirasi umat Islam tentu diharapkan tidak sekedar dalam rangka mencari suara dalam pemilu, tetapi diharapkan memang dengan bahwa aspirasi umat Islam memang harus diakomodasi sebagai kelompok mayoritas.

Ilusi Kelompok Sekuler dan Konstitusi Religius

Yang disayangkan adalah sebagian kalangan, yang berada di belakang PDIP dan koalisinya tetap terjebak dengan ilusi konsep negara sekuler yang mereka ambil dari konsep barat modern. Pandangan sekulerisme pada prinsipnya memandang politik harus disterilkan dari pengaruh agama dan rohani. Bahkan dalam titik ekstrim ideologi sekuler itu ingin menihilkan eksistensi agama dalam kehidupan manusia. Di titik yang paling ekstrim, sekularisme yang fundamental, hampir tidak jauh beda dengan ideologi  komunisme yang anti agama. Jadi tidak heran secara ideologis keduanya bisa berkoalisi jika berhadapan dengan kelompok politik yang religious.

Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa agama jangan dicampurkan dengan politik.  Pernyataan terbaru adalah penolakan PDIP, PSI dan Nasdem terhadap perda-perda yang dinspirasi oleh nilai-nailai agama (baca perda syariah). Statemen ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi dan pemimpin partai koalisinya tidak memahami dengan seksama konsep negara Indonesia yang sebenarnya menurut UUD 1945 adalah negara yang religius, yang pilar pertamanya adalah “ Ketuhanan yang Maha Esa” dan dalam pembukaannya menyebutkan bahwa negara ini merdeka atas berkah rahmat Allah. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa kebebasan warga negara pun dibatasi oleh nilai-nilai moral dan agama. Artinya, secara konstitusional, Indonesia tidak menganut dikotomi agama dan negara. Agama dan negara berjalan secara harmonis dan saling melengkapi.

Secara ekstrim,bisa dikatakan bahwa pernyataan tokoh-tokoh PDIP, PSI dan Nasdem tersebut sebenarnya lah bertentangan dengan spirit UUD 1945 yang religius. Oleh karena itu, jangan heran jika pernyataan tokoh-tokoh PDIP, PSI dan Nasdem direspon dengan keras oleh kelompok-kelompok Islam karena hal itu merupakan penegasian terhadap nilai-nilai religiusitas yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi konsensus politik bersama bangsa Indonesia. Jika mengaku Pancasila seharusnya bangsa Indonesia menolak pandangan ideologi sekularisme, apalagi komunisme. Bukan sebaliknya menggunakan pandangan sekularisme itu untuk menyudutkan kelompok-kelompok agama.

Pernyataan tokoh-tokoh PDIP, PSI dan Nasdem dan kebijakan pemerintah rezim PDIP dan koalisinya di atas termasuk yang memantik reaksi dari kelompok Islam yang sekarang berkumpul di Monas dalam acara Reuni 212. Gerakan 212 adalah reaksi politik keumatan yang merasa akhir-akhir ini rezim PDIP dan koalisinya meminggirkan aspirasi umat Islam. Gerakan 212 ini merupakan gerakan politik moral yang bersifat lintas gerakan sehingga gelombangnya sangat besar. Oleh karena itu, PDIP, PSI dan Nasdem sepatutnya merevisi pandangan dan sikap politiknya terhadap umat Islam.

Agenda Kebangsaan ke Depan

Agenda ke depan yang perlu dilakukan adalah, pertama, penguatan demokrasi Indonesia akan gagal jika tidak ada konsensus politik di antara aktor-aktor politik negara. Kegagalanu demokrasi di banyak negara demokrasi baru,  salah satu faktornya adalah rendahnya kemampuan aktor-aktor politik utama negara tersebut dalam membangun konsensus politik. Akibatnya pertikaian politik yang berkepanjangan dan kadang buntu bisa membuat konsolidasi demokrasi berjalan maju mundur (muddled democracy). Oleh karena itu, jika ingin mendorong penguatan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih matang, maka perubahan harus dilakukan justru di kalangan aktor-aktor politik lembaga negara. Perkembangan demokrasi pun memerlukan contoh tauladan dari para pemimpin negara agar rakyat bisa dididik menjadi warga negara yang menghargai nilai-nilai demokrasi dan rule of law, yang dianut UUD 1945.

Kedua, generasi muda Indonesia perlu mendapat pendidikan konstitusi dan kenegaraan yang cukup agar mereka paham tentang spirit konstitusi Indonesia yang religious sehingga perdebatan relasi agama dan negara tidak muncul terus menerus sebagai perdebatan laten yang tidak pernah selesai. Sulit bagi bangsa Indonesia menatap masa depan jika masih terpenjara oleh sejarah masa lalu akibat tidak adanya aktor-aktor negara yang visioner dan kuat dalam mengelola bangsa yang majemuk ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama