Islam dan Pancasila


Oleh: Prof. Dr. Daniel Mohammad Rosyid

(Guru Besar ITS, Surabaya)

Saat para sekuler menyebar wacana islamophobic, Prof. Yudian Wahyudi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila menegaskan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Pernyataan ini dibangun sebagian untuk merespons wacana Nasarudin Joha yang konsisten membenturkan Pancasila dengan Islam. Istilah jowo- nya : tumbu oleh tutup. Pemikiran Nasaruddin Joha adalah bukti tak terbantahkan atas sinyalemen Yudian Wahyudi. 

Baik Yudian maupun Joha sama-sama kelirunya. Pancasila tidak pernah dimaksudkan oleh Bung Karno dkk untuk menggantikan agama-agama. Bahkan bagi para tokoh Islam yang perumus Pembukaan UUD45 dan batang tubuhnya sebelum diobrak-abrik reformasi, Pancasila adalah kesepakatan para gentlemen tentang sebuah platform kehidupan bersama di tengah kemajemukan. Seperti semua kesepakatan, selalu ada takes and gives, ada pengorbanan di sana sini. Pancasila memungkinkan Bhinneka Tunggal Ika.

Seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD45 itu, negara berdasar pada 5 dasar. Dasar yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya orang yang dungu dan tidak peduli sejarah nasional yang gagal memahami bahwa dasar yang pertama ini sangat dijiwai oleh kehidupan beragama rakyat Indonesia. Pernyataan yang mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama tidak sesuai dengan fakta sejarah pendirian Republik ini, walaupun memperoleh pembenaran jika ditabrakkan pada narasi Joha.

Joha secara konsisten membenturkan Islam dengan Pancasila karena gagal memahami bahwa kekuatan-kekuatan sejarah membentuk Islam dalam praktek muslim dengan darah dan daging. Prof.  Umar Kayam bahkan pernah mengatakan bahwa manusia Indonesia itu bertulang animisme, berdaging Hindu, berjubah Islam dan berparfum Eropa.

Muslim Indonesia memiliki semua hak sebagai warga negara untuk mengekspresikan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini hak konstitusional yang tidak bisa dicabut oleh siapapun.  Wacana sekuler yang mengintimidasi muslim harus dihentikan karena melukai perasaan muslim dan mengancam persatuan.

Menjadi muslim bagi siapapun adalah sebuah lompatan eksistensial melampaui tribalism yang  primordialistik. Oleh karena itu bagi muslim mudah sekali menjadi bangsa Indonesia sebagai "an imagined community". Setiap narasi yang membenturkan Islam dengan Pancasila akan bersifat merusak, tidak saja bagi muslim tapi juga bagi bangsa ini. Sementara itu para neoliberal dan neokomunis akan berpesta pora di atas tulang belulang Islam dan Pancasila.

Gunung Anyar, 13/2/2020

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama