DPR Sahkan Perppu COVID-19 Menjadi UU



JAKARTA (wartamerdeka.info) -
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-15 penutupan Masa Sidang III Tahun

UU ini adalah mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (UU).

Perppu  tersebut diterbitkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tengah 'perang' melawan virus corona (COVID-19) yang berimbas pada perekonomian domestik dan global.

Pembahasan untuk Perppu ini sudah dilakukan para anggota dewan di setiap komisi yang bersangkutan sejak bulan lalu. Dari pembahasan tersebut, dari 9 fraksi yang ada, 8 menyatakan setuju dan 1 fraksi yakni PKS menolak.

"Dalam pandangan mini fraksi ada 8 fraksi setuju dan 1 fraksi menyatakan menolak," ujar Ketua DPR RI Puan Maharani di Ruang Paripurna DPR RI, Selasa (12/5/2020).

Namun, karena mayoritas fraksi menyatakan persetujuan, maka Perppu ditetapkan untuk menjadi UU.

"Jadi, setuju untuk menjadi UU? Setuju ya, Tok!," ketok Puan.

Seperti diketahui, dalam Perppu ini pemerintah melebarkan defisit pembiayaan anggaran maksimal 5% hingga tahun 2022. Pelebaran defisit karena keputusan pemerintah untuk memberikan stimulus fiskal melalui tambahan belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 untuk penanganan Covid-19.

Pemerintah menggelontorkan dana mencapai Rp 405,1 triliun yang akan digunakan untuk dana kesehatan sebesar Rp 75 triliun, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial atau safety net (SSN), Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan.

Dana tersebut termasuk Rp 150 triliun yang nantinya akan dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan usaha.

Selain itu, dalam Perppu tersebut, disebutkan kewenangan tambahan dari tiga lembaga yakni Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kewenangan BI

Untuk BI, dalam Pasal 16 Ayat 1 disebutkan bahwa untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1), BI diberikan kewenangan untuk:

a. Memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik.

b. Memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK.

c. Membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi covid-19.

d. Membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik.

e. Mengatur kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa bagi penduduk termasuk ketentuan mengenai penyerahan, repatriasi, dan konversi devisa dalam rangka menjaga kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.

f. Memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo Surat Utang Negara atau Surat Berharga Syariah Negara yang dimiliki korporasi/ swasta melalui perbankan.

Adapun di Pasal 2 disebutkan "ketentuan mengenai kewajiban penerimaan dan penggunaan devisa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf e, diatur dengan Peraturan Bank Indonesia."

Kewenangan OJK

Adapun bagi OJK, kewenangan tambahan termaktub dalam Pasal 23.

Ayat 1 menyebutkan bahwa untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), OJK diberikan kewenangan untuk:

a. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi.

b. Menetapkan pengecualian bagi pihak tertentu dari kewajiban melakukan prinsip keterbukaan di bidang pasar modal dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.

c. Menetapkan ketentuan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan wajib dilakukan oleh pelaku industri jasa keuangan.

Adapun Pasal 2 menyebutkan "ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka melaksanakan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan."
Lebih lanjut, disebutkan pula dalam Pasal 24m bahwa untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK, Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada LPS.

Di Pasal 25-nya, lanjutannya adalah, "pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi covid-19.

Kewenangan LPS

Adapun untuk kewenangan LPS, termaktub dalam Pasal 20 Perppu tersebut.Disebutkan dalam Pasal 1, bahwa untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1), LPS diberikan kewenangan untuk:

a. Melakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan untuk penanganan permasalahan solvabilitas bank.

b. melakukan tindakan:
Penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia;
Penerbitan surat utang;
Pinjaman kepada pihak lain; dan latau
Pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal;

c. Melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah (least cost test).

d. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Adapun Pasal 2 disebutkan "ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." (An/C)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama