Menyongsong 75 Tahun Indonesia Merdeka: Perlu Pikirkan Ketahanan Negara, Bangsa Dan Keluarga

(Bagian I)


Oleh: HARTONO TANUWIDJAJA, SH, MSi, MA, CBL

   
New Normal pasca pandemi corona (covid 19) memporak porandakan seluruh sendi sendi kehidupan. Baik secara global maupun nasional.

Kita engga bahas yang global karena yang global kan persoalan dari tiap negara/bangsa. Ini kan beda beda tapi kita lebih memfokuskan kepada kondisi nasional kita. Bahwa pemerintah yang demikian legitimed-pun ternyata engga mampu menghadapi covid 19 ini.

Hancur semua. Penerimaan pajak, industri, ekspor-impor, pariwisata, transportasi, UMKM bahkan sampai  pengemudi Ojol juga ikut hancur. Jadi hampir tidak ada yang tersisa dari dampak covid 19 ini. Tapi kita tidak bermaksud untuk membahas situasi yang global. Situasi global itu kan artinya pandemi yang sama menimpa negara negara lain. Apakah itu di Amerika di Eropa atau di Asia lain. Tapi kita mau sedikit ambil satu segment yang kita harus jadikan poin penting yaitu bahwa kualitas kehidupan rakyat Indonesia ini semakin buruk. Jadi sebelum kita bahas kualitas Indonesia semakin buruk kita buka dulu kondisi sebelum covid 19.

Sebelum covid rata rata kita mempunyai pekerjaan, punya inkam/pendapatan, keuangan, makanan maupun stock makanan, kesehatan cukup. Artinya ada 4 yang utama: Unsur pekerjaan, keuangan, makan minum dan kesehatan tambah satu pendidikan.

Era sebelum covid 19 catatan kita, di negara ini ada 24 juta rakyat miskin. Setelah covid ini semua bergerak ke kalangan yang menengah. Kalangan menengah itu artinya  orang yang tadinya punya pekerjaan tiba tiba kena PHK, dirumahkan sementara. Yang tadinya punya inkam/pendapatan karena PHK jadi tidak punya inkam atau inkamnya dipotong. Orang yang tadinya punya stock makanan cukup jadi terbatas bahkan ada yang berkurang. Orang yang tadinya kesehatannya biasa biasa, karena virus ini yang punya sakit penyakit tambah sakit yang sehat jadi sakit yang tidak tahan meninggal larena covid 19.

Pendidikan yang tadinya normal sekarang daring lewat online. Ada menarik juga karena sempat ada berita kemaron seorang murid kirim surat ke Menteri Pendidikan yang isi suratnya, "Pak Menteri, gara gara covid ini saya belajar lewat online. Kasian ibu saya habis duitnya beli pulsa. Engga kebayang sama kita  anak SD bisa bikin surat ke Menteri. Bahwa pikirannya terbuka bisa begitu bahwa ini bukti kendala ekonomi bagi ibunya sampai kesulitan beli pulsa supaya dia bisa mengikuti sistem pendidikan daring.

Nah..., makanya kemudian ini digencarkan dari situasi normal ke sitiasi covid ini digencarkanlah jaring pengaman sosial dalam bentuk bansos dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Katanya dulu nilainya Rp 600.000 tapi kenyaraannya di bawah Rp 500.000, dibawah Rp 250.000, terahir di bawah Rp 150.000. Ini penyumbatan penyumbatan. Kesempatan seperti ini menjadi pertanyaan buat kita. Sebetulnya kita sudah punya modal cukup. Kita bangsa yang beragama. Artinya apa? Artinya setiap hari mengajarkan hal hal yang baik. Penduduk kita boleh dibilang sekarang ini 45% itu kan generasi muda yang pendidikannya cukup dan baik tapi tetap saja setiap ada bencana ada ini muncul persoalan pemotongan. Catatn dikurangi sampai ke kawan yang marginal ini makim berkurang. Kembali ke tadi padahal kita bangsa yang beragama. Tiap hari kita berdoa, mengajarkan hal hal yang baik ayat ayat yang baik. Tapi dalam pelaksanaan tidak seperti itu.

Pendidikan kita baik 45% makin tinggi. Mungkin sekarang bergerak ke arah 70% yang punya pendidikan baik itu. Tapi korupsi engga berkurang juga.

Nah..., jadi yang pasti kita bicara dari sisi angka kan. Sebelum covid ini ada 24 juta penduduk di bawah garis miskin. Setelah covid konon menurut laporan Menteri Keuangan ada tambahan 4 juta yang terancam hidupnya melarat karena banyak perusahaan yang tutup, UMKM-nya ambruk, perbankannya ikut kredit macet, banyak orang kehilangan pekerjaan. Jadi potensi orang miskinnya bertambah banyak. Secara angka di catat oleh Menkeu tadi 4 juta. Berarti sudah 28 juta secara angka. Tapi yang lebih menderita secara sah angkanya mungkin lebih dari 28 juta. Kenapa?  Karena tidak pernah ada suvei yang resmi (pasti). Berapa sih yang orang miskin di kita ini? Berapa orang kaya dikita enggak pernah ada satu penelitian yang betul betul akurat. Kalau kita perbandingkan dengan negara negara Eropa, negara Eropa tersebut pajak penghasilannya 40%. Negara Eropa dan Amerika itu pajaknya 40%. Tapi 40% ini betul betul dipakai subsidi hal hal yang sifatnya sosial. Kesehatan masyarakat, pendidikan, yang menyangkut publik, bantuan sosial itu betul betul dirasakan.

Di Indonesia, pajak penghasilannya 2,5%. Jauh sekali. 2,5% saja orang masih engga mau bayar. Sekarang kalau kita punya untung Rp 10 juta kita disuruh bayar pajak Rp 4 juta pasti engga mau. Kenapa? Karena kita tidak dapat perimbangan dari hal hal yang bersifat sosial. Kalau di luar negeri hal yang bersifat sosial itu muncul perimbangan gotong royong. Pokoknya theori theori di kita ini bagus semua. Dari gotong royong itu bagus tapi dalam pelaksanaannya tidak jalan.

Kejadian di Amerika baru ini, ada seorang kulit hitam ditangkap polisi gara gara diduga menggunakan uang palsu senilai 20 dolar AS. Nilai ini di Amerika Serikat kecil sekali meski di Indonesia setara Rp 270.000. Ketika ditangkap diinjak lehernya yang mengakibatkan matinya orang kulit hitam tersebut.
Dampaknya bisa demikian. Di kita, ada kakek yang mencuri di Cianjur, Jawa Barat, ga ada yang tolong. Ada banyak orang susah di Medan. Di daerah daerah tak ada yang tolong. Kenapa, karena kita tidak merasa sebagai satu bangsa satu negara.

Nah..., itu dampak dari kebebasan roformasi. Sehingga masing masing orang tersebut mengatur dirinya sendiri tapi melupakan bagaumana kira hidup sebagai dalam satu negara dan bangsa.

Kita berbicara begini saat ini  karena kita baru melewati 72 rahun Kesaktian Pancasila. Sebentar lagi kita melewati 75 tahun kita merdeka. Tapi yang namanya "Ketahanan Bangsa". Faktor penting ini jangankan kita bicara Ketahanan Negara. Ketahanan Negara ini kan asalnya dari Ketahanan Bangsa. Ketahanan Bangsa asalnya dari Ketahanan Keluarga. Bagaimana kita mau mengatakan suatu pos yang unggul sebagai Ketahanan Negara kalau ketahanan kita sebagai Bangsa tercerai berai. Orang Muslim sama agamanya tapi beda aliran. Khong Hu Tju, orang Kristen sama agamanya tapi karena beda aliranya laun lain. Banyak juga begitu baru kita kemudian ke keluarga. Bagaimana kita mau tahu kalau disatu keluarga  lainnya yang hanya satu jalur inkamnya yaitu dari ayahnya saja. Ibu engga kerja, anak sekolah 2 (dua). Jadi ayah membiayai 4 orang untuk hidup. Lalu trrjadi covid, si ayah di PHK atau dirumahkan. Berkurang inkam  ditambah sakit, anak sekolah, sudah hancur lebur.

Kita engga punya Ketahanan Negara, Ketahanan Bangsa, Ketahanan Keluarga. Ini kita engga punya. Pertanyaannya, pemimpin kita selama ini mgapain saja.

Sebelum Lebaran kemarin ada statmen dari RI-2. Dia mengatakan bangsa Muslim yang umatnya terlalu banyak, ini enggak akan maju. Saya jadi bingung juga, kok beliau yang bicara padahal beliau ini Ketua MUI. Nah,,,, jadi apa kerja dia. Kerjanya pemimpin ini apa?

Yang saya kagumi justru pernyataan Yapto S (Ketua Umum PP), saat diwawancara Dedy Qobuser. Yapto tidak saya kenal baik. Hanya pernah jumpa satu dua kali. Tapi pernyataannya dalam wawancara di tv tersebut membuat saya kagum. Katanya bangsa Indonesia ini diibaratkan binatang, kaya kerbau. Kadang kadang dia ligat sedikit kaya banteng. Dia bilang orang Indonesia ini kalau ada proyek (pekerjaan) dia tidak mau bekerja. Dia kasi ke orang lain yang mengerjakan proyek, tanda kutip ke orang Cina dengan komisi Rp 10. Dia berpikir punya untung Rp 10. Tapi orang Cina yang bekerja dan tambah kaya. Dia beli mobil baru, beli rumah baru dan  dia kawin lagi. Lama lama kan gunungnya habis lalu jual. Dia miskin, orang Cina jadi kaya, kata Yapto.

Orang Cina kaya itu disalahin. Seperti itu orang Indonesia ini, menurut Yapto. Cukup puas dengan dapat sekedarnya. Jadi bangsa Indonrsia itu kalau dianalogikan adalah kerbau. Coba seorang Yapto bicara begitu. Saya kagum terus terang. Dan kenapa bapak ini tidak jadi Presiden?

Di masa SBY menjabat presiden RI, kerbau pernah digiring oleh demonstran ke depan Istana Presiden. Kerbau tersebut diibaratkan, presiden outopilot-lah disebut lambat-lah. Namun Presiden engga protes atau menangkap orang orang itu.

Di kita ini engga bisa cari pemimpin ideal. Susah karena terlalu banyak orang pintar, terlalu banyak orang sok pintar, terlalu banyak orang sok suci. Jadi kita mau pilih orang terbaik dari yang baik susah. Pak Joko Widodo kita pilih dari orang terbaik engga enggak maksimal juga. Kenapa? Karena roda roda pendukungnya itu atau mesin mesin penggeraknya itu engga bisa singkron dengan dia. Dia maunya bersih, sederhana, cepat. Tapi ga sesuai.

Kita lihat covid ini pejabatnya sebentar ngomong A sebentar B. Engga ada yang beres. Malah pak Luhut Panjaitan sebagai Menko Maritim, dia bilang kalau tenaga asing Cina engga masuk 500 orang, engga kerja orang Indonesia sekian ribu. Logokanya bingung kita. Ini yang perlu kita pelajari. Sebetulnya bukan soal ras-nya. Tapi bahwa proses alih teknologi itu. Kalau engga dikerjakan sama tenaga kerja Cina engga bisa orang ini. Bagaimana mau kita  bikin kereta api cepat Jakarta Bandung 35 menit kalau engga dikerjain orang Cina engga ada yang bisa kerjakan. Tetapi orang kan melihatnya Cina...., Cina..., Cina... dan Cina.

Sam dengan yang dikatakan Yapto S. Kamu kasi pekerjaan Cina, untung kamu habis orang Cina jadi kaya. Cina disalahi.

Bisa engga kita sekarang membentuk pemimpin pemimpin dengan pembagian tugas yang jelas. Pemimpin agama, ini tugasnya kesini. Politik, akademisi kesini. Politikus kesini. Jadi nanti besinergi kan. Kalau di kita  kan engga merangkap semua. Jadi kita bingung rakyat juga bingung.

Menurut saya, ketahanan Negara, ketahanan Bangsa ketahanan keluarga penting. Karena covid ini justru memberi satu pengalaman baru kepada kita. Saya pernah buat satu statmen "Hidup normal itu artinya kita punya duit. Hidup normal saya punya uang. Hidup abnormal saya tidak punya uang. Karena uang kita dari utang. Kan New Normal.

Dua tiga bulan kita kena covid engga ada pemasukan. Kadang kadang kita ambil tapi kan engga semua bakat seperti itu. Iya kan! Kita mau bertanya sampai kapan kita kondisi begini. Ini baru covid. Nanti ada lagi virus baru dari ayam. Sedang jadi pembicaraan virus baru dari ayam jadi jangan sering makan ayam meski ayam itu enak. Ayam ini positif banyak penyakit.

Kalau kita hidup begitu berarti kita harus punya cadangan sebulan, dua bulan. Terus terang, dulu kita sebagai lawyer ibaratnya satu kali dapat makanan kaya ular, tiga bulan kita simpan. Karena situasi begini ya sudah tutup ini tutup itu ahirnya subsidi, jadi kacau. Tetapi  untung masih ada kita makan. Situasi covid aku masih dapat job besar.

Setelah covid ini nanti kan New Normal. Mungkin ada lagi tetapi apakah kita tetap dalan kondisi tanpa pertahanan Negara, Bangsa dan Keluarga. Ini baru perang dengan virus yang tidak kelihatan. Kalau kita perang dar... der.... dor..., bom meledak kiri kanan gimana itu. Seperti ketegangan antara Cina dengan India, Cina dengan Taiwan sekarang. Mereka memang engga pusing mati 100.000 orang karena mereka banyak penduduknya 1,4 Miliar. Dan 30% penduduk dunia ini orang Cina.(Bersambung)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama