Merdeka Belajar di Kampus Merdeka, Sebagai Upaya Mewujudkan Lulusan Yang Kompeten, Inovatif, dan Berakhlak Mulia


Oleh: Danny PH Siagian, SE., MM

(Pemerhati Pendidikan/ Dosen Akademi Sekretari dan Manajemen Dharma Budhi Bhakti, Jakarta)


Memahami konsep Merdeka Belajar yang menjadi salah satu program inisiatif Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, sesungguhnya mengarahkan para pendidik untuk menciptakan suasana belajar yang bahagia, inovatif dan berdedikasi. 

Merdeka Belajar masuk dalam penerapan proses pelaksanaan pengajaran di setiap sesi  pembelajaran, yang mengandalkan kemerdekaan berpikir. Esensi kemerdekaan berpikir, harus didahului para guru, sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi. Tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terasa berbeda.

Dengan Merdeka Belajar, sistem pengajaran juga akan berubah dari yang awalnya terbiasa di dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid dapat berdiskusi lebih dekat dengan gurunya, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru. Tetapi lebih pada membentuk karakter peserta didik yang lebih berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, dan kompeten.

Tentu, dengan Merdeka Belajar, tidak lagi hanya mengandalkan sistem ranking seperti selama ini. Karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Sehingga nantinya akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat.

Demikian juga, kesinambungan program Merdeka Belajar dengan program seri ke-II Mas Menteri, yakni Kampus Merdeka. Sangat jelas ada “benang merah” keterkaitan dalam hal konsep implementasi kedua program tersebut, baik penekanannya untuk siswa, maupun mahasiswa. 

Ada 4 (empat) kebijakan Kampus Merdeka yang dicanangkan. Ada 3 (tiga) kebijakan   yang berkaitan dengan institusi sebagai penyelenggara pendidikan, yaitu: Pertama yaitu terkait otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru; Kedua terkait penjaminan mutu akreditasi Perguruan Tinggi; Ketiga terkait kebebasan bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). 

Sedangkan kebijakan Keempat, terkait hak belajar 3 (tiga) semester di luar Prodi (Program Studi). Melalui kebijakan ini mahasiswa memiliki fleksibilitas untuk mengambil kelas di luar Prodi dan kampusnya. Kegiatan yang bisa dilakukan mahasiswa di luar prodinya di antaranya magang atau praktik kerja di industri atau organisasi nonprofit, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, terlibat dalam proyek desa, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil, dan kegiatan lainnya, yang disepakati dengan program studi. Tetapi kebijakan ini tidak berlaku pada mahasiswa pada prodi bidang kesehatan.

Kebijakan keempat ini adalah kebijakan yang langsung dirasakan peserta didik, yang harus difasilitasi perguruan tunggi tempatnya kuliah. Namun, yang masih menjadi pertanyaan, apakah program ini sudah dapat dilaksanakan di berbagai kampus, dan bagaimana pola penerapan serta penyesuaian yang dilakukan?

Dari pengamatan sementara, masih banyak kampus yang belum dapat langsung melaksanakannya. Hal ini  disebabkan karena masih banyaknya aturan dan peraturan yang mengikat sebelumnya, sehingga harus membutuhkan penyesuaian dalam implementasinya. Terutama dalam hal kurikulum, metode pelaksanaan, maupun sistim evaluasi proses belajar-mengajar, yang berkaitan dengan keberadaan para mahasiswa tersebut selama 3 (tiga) semester itu diluar program studinya. 

Sesungguhnya, kebijakan memberikan fleksibilitas untuk mengambil kelas di luar prodi dan kampus ini, merupakan kebijakan kunci link and match yang sering di dengung-dengungkan. Kesempatan ini perlu segera diwujudkan, agar dapat menghasilkan output lulusan yang lebih kompeten dan komprehensif pengetahuannya, untuk memasuki dunia kerja.  

Selain itu, peluang untuk melakukan inovasi terhadap pola pencapaian profil lulusan dari masing-masing program studi, dapat lebih leluasa. Karena adanya fleksibilitas yang bisa dimanfaatkan untuk merancang metode tambahan dalam proses pelaksanaannya, untuk memaksimalkan kompetensi lulusan yang kreatif dan inovatif. 

Kebijakan ini juga sudah memiliki payung hukum dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, terutama di pasal 18. Namun harus diakui, regulasi ini masih tergolong baru, karena baru diterbitkan 28 Januari 2020 lalu. Masih dibutuhkan sosialisasi yang lebih intens, di tengah berbagai pembatasan akibat pandemi Covid-19 ini. 

Keterkaitan Capaian Tujuan Pendidikan Nasional 

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebut, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ada 2 (dua) bagian besar yang harus dimiliki para peserta didik sekaligus, agar menjadi lulusan yang berkompeten. Di satu bagian disebut, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Dalam hal ini, bagaimana perguruan tinggi melakukan pengukurannya, kendati mata kuliah Agama dan Pancasila diberikan sebagai MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum). Apakah nilai semesternya cukup sebagai ukuran para lulusan berakhlak mulia?

Berbeda dengan pengukuran di bagian lainnya yang mengatakan, agar menjadi lulusan yang: sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam hal ini, metode pengukuran masih bisa dilakukan secara matematis, atau setidaknya bersifat empirikal.

Sementara fakta mengatakan, banyaknya pelaku korupsi dalam posisi mereka sebagai Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, yang justru orang-orang berpendidikan, dan tentu merupakan produk pendidikan tinggi. Dalam hal ukuran yang bersifat matematis tadi, mereka memenuhi sebagai manusia yang: sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tapi, dalam hal beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, apakah itu gambarannya? Tentu tidak.

Di sisi lain, tantangan menuju Era Emas Indonesia 2045, dimana Pemerintah telah merumuskan, bahwa visi Indonesia Maju di tahun 2045 bisa dicapai dengan dukungan 4 (empat) pilar yaitu: Pembangunan SDM dan penguasaan IPTEK; Pembangunan ekonomi berkelanjutan; Pemerataan pembangunan, serta ketahanan Nasional; dan Tata kelola Pemerintah. Program Kampus Merdeka, sangat diharapkan membuat perubahan signifikan, terhadap para lulusan perguruan tinggi, menyongsong 2045. 

Sebab itu, dalam kaitan dengan 3 (tiga) semester tadi, dirasakan perlu merancang program khusus yang berkaitan dengan penguatan soal: agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Ada baiknya, Kemendikbud membuat rancangan pola pengukuran yang bersifat intengible itu, untuk dapat sekaligus diukur secara matematis atau bersifat empiris.   

Sementara di sisi lain, perguruan tinggi perlu diinstruksikan, untuk membuat konsep khusus mengenai ukuran akhlak mulia, yang dapat dikombinasikan dalam 3 (tiga) semester tadi. Karena fleksibilitas yang diberikan, sangat memungkinkan untuk itu, apalagi para peserta didik tersebut akan  dilepas sebagai lulusan, yang selanjutnya harus tetap menjaga nama baik almamaternya sepanjang hayat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama