Terdakwa Robianto Idup Tidak Mengaku Menipu Atau Menggelapkan Uang

Terdakwa perkara penipuan dan penggelapan Robianto Idup

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Terdakwa perkara penipuan dan penggelapan Robianto Idup yang menjabat Komisaris PT Dian Bara Genoyang (PT DBG), menyangkal seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), saat diperiksa di persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis sore (6/8/2020).

Keterangan Robianto Idup dalam sidang mengatakan, dia kenal dengan saksi korban Herman Tandrin karena dikenalkan Iman Setiabudi (Dirut PT DBG) yang sudah dihukum satu tahun penjara terkait kasus yang sama.

Sewaktu diperkenalkan itu, dikatakan Herman Tandrin memiliki perusahaan kontraktor pekerjaan tambang.

"Jadi bukan saya yang minta perusahaan Herman Tandrin mengerjakan tambang PT DBG. Tapi manajemen PT DBG yang minta," katanya menjawab JPU Boby Mokoginta, SH.

"Saya tidak pernah menawarkan pekerjaan kepada Herman tapi manajemen PT DBG karena dia mempunyai alat berat tambang kontraktor PT Graha Prima Energy (PT GPE)," urainya dalam sidang secara virtual tersebut.

Sebuah perusahaan kontraktor tambang biasanya alat alatnya harus sangat baik dan wajibnya dalam bisnis ini dia tidak mematikan uang. Karena itu alat alat harus baik. Dan  biasanya alat kontraktor tidak pernah standby ditempat. Namun ketika itu alat  berat milik Herman standby yang diartikan terdakwa bahwa  mungkin pekerjaannya sudah dikensel atau dapat pekerjaan baru.

Diakui terdakwa, waktu itu PT DBG sedang mencari kontraktor. Lalu Iman Setiyabudi menginformasikan ke Robianto Idup. Selanjutnya dilapor kepada manajemen PT DBG.

Setelah terjadi kesepakatan menurut Robianto Idup, PT GPE melakukan serangkaian kegiatan mengangkut beberapa jenis pekerjaan dan mempersiapkan pompa air dan lain lain.

Terdakwa menerangkan bahwa dia tidak mengikuti operasional perusahaannya tapi  cuma menerima laporan ahir tahun.

Menjawab jaksa Boby, terdakwa Robianto mengatakan bahwa saksi pelapor Herman Tandrin kenal semua di PT DBG seperti Iman Setiabudi, Aziz Putra, Sabana dan lain lain.

"Setahu aku pak Aziz itu bekerja di bank BCA Samarinda. Dia kenal Herman dan beberapa bawahannya."

Ditanya lagi oleh Jaksa Boby, setelah ada perjanjian kontrak dua perusahaan ini, apa saja yang sudah dikerjakan PT GPE?

Jawab terdakwa bahwa menurut info dari manajemen PT DBG pekerjaan Herman Tandrin di areal tambang sangat tidak sesuai dengan kontrak.

"Dari awal diketahui PT GPE tidak mempunyai tenaga kerja, peralatan yang cukup serta pompa air segala macam. Tapi saya tidak mengikuti, manajemen yang tahu," kata terdakwa.

Selanjutnya juga terdakwa mengatakan bahwa dia tidak pernah meminta kontraktor lain membantu karena itu bukan wewenangnya tapi urusan manajemen PT DBG. "Tapi setahu saya manajemen tidak pernah mencari kontraktor yang lain."

Dalam perusahaan PT DBG Robianto mengaku sebagai Komisaris dan pemegang saham. Ketika dikejar Jaksa berapa besar sahamnya di PT DBG, Robianto Idup mengatakan, "saya pun tidak ingat. Seharusnya mayoritas''.

Selanjutnya Jaksa menanyakan, siapakah yang menentukan arah kebijaksanaan perusahaan PT DBG? "Seharusnya yaitu Iman Setiyabudi dan Wali Sabana. Mereka biasanya berdiri sendiri tapi kalau ada permasalahan dalam kebijakan biasanya mereka minta advis dari pak Aziz dan aku," imbuhnya.

Diakui terdakwa Robianto Idup bahwa dari pekerjaan PT GPE ada hasil untuk PT DBG tapi Rubianto Idup mengatakan tidak tahu berapa besar hasil pekerjaan itu. Dia juga mengatakan tidak tahu berapa hasil jual batubara dari pekerjaan PT GPE.

Selanjutnya Jaksa Boby mempertanyakan apa benar terdakwa telah menerima hasil penjualan batubara sebesar 166.409.878 dolar US?  Jawab terdakwa, "Pak Jaksa boleh saya jelaskan! Pertama, saya tidak punya bukti menerima pembayaran itu. Kedua, saya tidak terlibat dalam penjualan." 

Setelah itu Robianto menjelaskan kenapa pihaknya tidak melakukan pembayaran pekerjaan PT GPE/Herman Tandrin, karena seharusnya kedua pihak perusahaan membawa data data untuk disesuaikan tapi PT GPE tidak pernah melaksanakan. Disamping itu tidak dilakukan pembayaran karena ada longsor di areal tambang.

Lalu jaksa konfirmasi tentang kebenaran keterangan Herman Tandrin bahwa sejak awal PT DBG tak pernah bayar hasil pekerjaan PT GPE, jawab Robianto, 'aku enggak pernah tahu'.

Yang diakui terdakwa bahwa kedua perusahaan pernah bertemu salah satunya di hotel Kempinski Jakarta, untuk mendapat solusi. Tapi dalam pertemuan itu masing masing mendiskusikan masalah perusahaannya. Pembicaraan Robianto Idup dengan saksi korban Herman Tandrin pun hanya ngobrol ngobrol. 

Kepada Jaksa, Rubianto Idup mengaku bahwa dirinya dikriminalisasi hingga terjadi perkara ini.

"Saya merasa ada upaya yang mengkriminalisasi saya," katanya.

Saat ditanya apakah benar terdakwa menipu Herman Tandrin Rp 70 Miliar? Robainto bilang, tidak tahu.

Tentang pelariannya ke Belanda, Roboanto Idup awalnya mengaku setelah  dia  bersama Iman Setiayabudi di BAP di Polda Metro Jaya. Saat itu dia mengaku merasa tidak enak badan. Seusai diperiksa penyidik, Robianto langsung nerobat ke RS Pertamina. Tak lama setelah itu dia terbang ke Malaysia untuk berobat. Sehari kemudian dari Kuala Lumpur dia  terbang ke Singapura. Dan selanjutnya ke Belanda yang ahirnya pulang ke Indonesia karena dimasukkan daftar red notice oleh Polda Metro Jaya (PMJ).

Menurut pengakuan Robianto, dia tahu Iman Setiabudi ditahan PMJ saat dia berada di Singapore.

Terdakwa yang dalam persidangan didampingi tim penasihat hukum, Hotma Sitompul, SH, Ditho H.F. Sitompul, SH, LLM dan Philipus Harapenta Sitepu, SH, MH, selanjutnya mengatakan bahwa, alasan Robianto Idup merasa dikriminalisasi, karena kasus ini  kasus perdata yang tidak seharusnya menjadi kasus pidana. Tetapi karena adanya kekurangan data berupa kontrak kerjasama antara dua perusahaan membuat kasus ini jadi pidana.

Sidang ditunda ketua majelis hakim, Florensia Kendengan, SH, MH, selama dua minggu untuk memberi kesempatan kepada JPU menyusun surat tuntutan (requisitor) terhadap terdakwa Robianto Idup. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama