Tim Penasihat Hukum Minta Komisaris PT DBG Robianto Idup Dibebaskan

Terdakwa Robianto Idup

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Tim penasihat hukum Robianto Idup tetap menyatakan perkara pidana yang dialami kliennya, terdakwa Robianto Idup adalah perkara keperdataan.

Pada pokoknya berdasarkan fakta persidangan perkara ini dapat disimpulkan perkara keperdataan, kata pengacara Hotma Sitompul, SH, dan kawan kawan ketika membacakan nota pembelaan dalam perkara Robianto Idup di persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa malam (25/8/2020).

Atas alibi yang dikemukakan di atas, tim penasihat hukum terdakwa yang terdiri dari Hotma Sitompul, SH, Ditho H.F. Sitompul, SH, LLM dan Philipus Harapenta Sitepu, SH, MH, memohon kepada majelis hakim agar membebaskan terdakwa atau setidak tidaknya melepas terdakwa dari segala tuntutan hukum pidana.

Mengapa tim penasihat hukum menyatakan perkara Robianto Idup bukan perbuatan pidana, dilandasi keterangan saksi saksi, bukti surat serta diperkuat keterangan ahli Dr. Dian Adriman, SH.

Ahli Adriman yang dihadirkan oleh JPU menyebutkan perkara a quo adalah perkara yang masuk ranah keperdataan. Karena ada perjanjian dan masih dalam konteks perjanjian  karena sejak awal  ada perjanjian antara PT Graha Prima Energy (PT GPE) dan PT Dian Batara Genoyang (PT DBG). Dimana keduanya terikat pada perjanjian tersebut pada  saat peristiwa perkara a quo masih masuk dalam konteks perjanjian.

"Terlebih lagi terdakwa adalah komisaris bukan penanggung jawab perusahaan sehingga kami memohon kepada majelis hakim agar membebaskan terdakwa," kata Hotma Sitompul.

Terdakwa Robianto Idup yang telah dituntut tiga tahun enam bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum, Boby Mokoginta, SH, MH dan Marli Sihombing, SH, MH, karena menipu saksi Herman Tandrin puluhan miliar rupiah.

Penipuan ini dilatar  belakangi bisnis pengolahan tambang batubara di Kalimantan Utara, milik PT DBG yang dikerjakan kontraktor PT GPE  milik Herman Tandrin. 

Saksi pelapor merugi Rp 70 Miliar karena invoice PT GPE terhadap PT DBG tidak dibayar terdakwa Robianto Idup.

Melanjutkan pembelaannya dikatakan bahwa telah ada perjanjian antara PT DBG dengan PT GPE Tertanggal 27 Juni 2011 yang berlaku 3 tahun. Perjanjian ini tidak pernah dijadikan bukti oleh penyidik dan JPU karena tidak terlampir dalam berkas lengkap penasihat hukum maupun berkas majelis hakim. Namun telah terungkap dalam persidangan bahwa ada perjanjian Tanggal 27 Juni 2011 antara PT DBG dan PT GPE yang diakui kedua pihak sehingga perjanjian tersebut adalah bukti surat yang harus dipertimbangkan dalam perkara ini. Apalagi atas perintah majelis agar JPU memasukkan perjanjian tersebut dalam daftar bukti perkara ini, kata advokat senior Hotma.

Bahwa Herman Tandrin melaporkan terdakwa terkait invoice dari PT GPE yang belum dibayarkan oleh PT DBG. Begitu juga pertemuan di Kempinski antara PT DBG dan PT GPE bukanlah pertemuan serius. Tapi hanya membahas terkait dengan pertemuan antara direksi PT DBG dan direksi PT GPE tentang pekerjaan di area tambang.

Tentang terjadinya longsor di area tambang PT DBG adalah atas kelalaian dari PT GPE dan perusaan tersebut mengakui hal itu.

Menurut Hotma, PT GPE memiliki kewajiban untuk membayar penalty/denda akibat tidak tercapainya penambangan batubara dan kerugian PT DBG akibat longsor sesuai dengan perjanjian.

Bahwa hasil batubara yang sudah dijual oleh PT DBG pada Juni sampai Desember 2012 sekirar 7 juta dolar US masuk ke rekening PT DBG tapi bukan ke rekening terdakwa. Sedang hasil penjualan itu sudah digunakan  PT DBG untuk pembayaran operasional PT DBG seperti hutang, leasing, kariyawan dan lain lain sebagaimana biasanya. Dan juga sudah digunakan untuk membayar beberapa invoice PT GPE dengan total sekitar 1,7 juta dolar US (khusus bulan Juni sampai Desember 2012) sehingga tidak benar bahwa PT DBG tidak tagihan PT GPE. Dan sejak Juni-Desember 2012 dan tidak benar hasil penjualan batubara pada waktu ini tidak membayar tagihan atau invoice PT GPE.

Tim pengacara ini juga mengemukakan bahwa PT GPE dan PT DBG telah sepakat apabila terjadi permasalahan hukum maka akan diselesaikan di Badan Arbitrase Nasional (Bani) sebagaimana dalam perjanjian tanggal 27 Juni 2011.

Terdakwa adalah komisaris dan pemegang saham perusahaan sehingga  kalaupun permasalahan ini dibawa ke ranah perdata terdakwa bukanlah orang yang akan menjadi pihak dalam gugatan.

"Diakui memang ada sekitar tiga bulan yang  belum dibayar. Karena itu adalah merupakan pokok pokok, fakta fakta yang terungkap dalam persidangan atas pertanyaan Penasihat Hukum dan majelis hakim yang semakin membuktikan bahwa tidak ada tindak pidana dalam  perkara ini, tandas Hotma dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Florensia Kendengan , SH, MH,  di ruangan Sidang Utama Prof. H. Oemar Seno Adji, SH pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sebelumnya, pihak korban menginformasikan bahwa terdakwa

Robianto Idup tetap harus bayar walau perkara ini diperdatakan.

Informasi yang berhasil dihimpun dari pihak pelapor (saksi korban) bahwa, saat pekerjaan tambang berlangsung ada  perintah PIT, kepada PT DBG mengenai kajian Geotech  yang tertuang didalam 'Buku Tambang'.

Buku Dinas Pertambangan Bulungan, tutur pelapor,  perihal hasil temuan Inspektur tambang di proyek PT  DBG pada bulan April 2012, dan terjadi longsor bulan Juli 2012.

Sementara dalam perjanjian Vide Pasal 4.3.2...Tagihan PT GPE sampai dengan bulan Juni 2012 sebesar Rp 22 Miliar dan sudah ditandatangani kedua belah pihak 

(oleh GPE-DBG). Jadi tidak ada perselisihan!!!

Persoalan timbul di bulan Juli 2012 ketika terjadi peristiwa longsor...Tagihan Kontraktor PT GPE tersebut tidak dibayar oleh PT DBG. Lantas kedua pihak  adakan meeting di Hotel  Kempinski. Dalam rapat tersebur  Robianto Idup  meminta PT GPE tetap melanjutkan Kerja Tambang dan menghasilkan batubara dengan janji PT DBG akan bayar Tagihan Invoice GPE.

Faktanya : Tetap tidak dibayar dan proyek di-stop oleh PT DBG !!! Jadi tagihan Invoice PT GPE yang tidak dibayar oleh Robianto Idup (PT DBG) : 

1. Invoice sampai dengan bulan Juni 2012 sebesar Rp 22 Miliar.

2. Invoice bulan Juli-Nop 2012 sebesar  Rp 50 Miliar.

Kalaupun perkara tersebut diarahkan ke perdata tetap harus dibayar hak PT GPE.

Merujuk pada perintah PIT Distamben Kabupaten Bulungan pada bulan April  2012...kewajiban PT DBG sebagai pemilik IUP (Izin Usaha Pengelolaan) Tambang, adalah membuat Kajian Geotech, tapi tidak  dilaksanakan oleh PT DBG.

Ketika terjadi peristiwa Longsor  bulan Juli 2012..., PT DBG menyalahkan PT GPE. Padahal PT GPE kerja tambang berdasarkan Perintah dari PT DBG. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama