Politik Uang Di Pilkada Langsung Makin Masif, Prof Djo Usul Pemilihan Bupati Dan Wali Kota, Oleh DPRD Saja

Pakar Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Pakar Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA mengusulkan pemilihan bupati atau wali kota ke depan lebih baik melalui DPRD saja. Hal ini untuk menimalkan terjadinya politik uang yang masif dalam sejumlah Pilkada belakangan ini.

Dari pemantauannya, politik uang tidak berubah malah makin bertambah dengan keadaan pilkada di masa pandemi. Apalagi ekonomi rakyat terpuruk yang berdampak akibat virus corona (Covid-19).

"Dari dulu saja politik uang sudah kencang sekarang ditambah lagi. Ke depan bagaimana harus diperbaiki. Usulan saya bagaimana politik uang itu bisa reda janganlah pilkada ini diseragamkan sistemnya. Kalau sekarang kan diseragamkan semuanya pemilihan langsung," ujar Presiden i-Otda ( Institut Otonomi Daerah), Rabu (16/12/2020).

Menurut Prof Djo, sapaan akrabnya, ada daerah terutama kabupaten kota yang dekat dengan pemilih permainan politik uang sangat tinggi sekali. Kalau di daerah provinsi rata-rata permainan politik uangnya rendah terhadap pemilih karena jauh jaraknya. 

"Untuk menjadi gubernur kan tidak mungkin bisa membeli suara sebanyak itu dari kabupaten kota. Kalau kabupaten kan se kecamatan saja gampang main ke desa," katanya.

"Saya wawancara Ganjar Pranowo mengatakan bahwa dia ikut dua kali pilkada langsung di provinsi tidak pakai birokrasi dan beli suara rakyat. Itu pengakuan Ganjar ke saya," sambung Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

Jadi, lanjutnya, kalau di kabupaten itu gampang karena dekat dengan pemilih. Maka kabupaten/kota agar bisa membebaskan pemilihannya dari politik uang, pemilihan secara asimetris saja. Kabupaten kota sekarang wewenangnya toh sedikit, sedang  yang banyak itu justru provinsi.

"Pertambangan, kehutanan, perkebunan, kelautan, perikanan, pendidikan menengah kewenangannya dipegang provinsi. Jadi, kalau kewenangan kabupaten/kota kecil teorinya tidak usah pemilihan langsung, apalagi biayanya mahal ditambah pula politik uangnya kencang," sebutnya.

Jadi untuk daerah-daerah di kabupaten kota ini cukup dipilih saja oleh DPRD sedangkan untuk 31 provinsi bisa pilihan langsung, kecuali untuk 2 provinsi yakni Papua dan Papua Barat baiknya lewat dewan. Dan DIY sesuai UU Keistimewaan No 13/2012 Gubernur dan Wakil Gubernurnya lewat penetapan DPRD.

"Hanya dewannya ketika pemilihan  harus dikawal KPK agar tidak minta politik uang. Kalau bisa cara pemungutan suaranya terbuka. Anggota dewannya berdiri siapa yang memilih siapa terlihat  terang benderang guna mencegah politik uang," tuturnya.

Kalau pemilihan melalui DPRD politik uang serupa sekarang akan hilang. Tidak ada lagi bagi bagi uang ke rakyat. Selain itu politisasi birokrasi juga bisa hilang. Karena dia hanya perlu dengan anggota dewan. Karena yang pemilihan langsung hanya 31 provinsi,  maka  511 daerah otonom lainnya pemilihan kepala daerahnya melalui anggota dewan. 

Ibukota ibukota provinsi termasuk Makassar, Medan, Jayapura, dan Gorontalo itu cukup diangkat saja oleh gubernur tidak lewat pemilihan langsung tidak juga pemilihan oleh DPRD. Karena ibukota provinsi dimana gubernur berdomisili dan menjadi pusat pemerintahan.

"Jadi ibukota provinsi harus  dijadikan kota administratif dulu. Contohnya di Jakarta terdiri jakarta selatan, jakarta pusat, jakarta barat, jakarta utara, jakarta timur, di mana walikotanya diangkat gubernur. Mereka berasal dari birokrat yang telah punya jam terbang dan malang melintang di dunia pemerintahan," terangnya.

Kalau diatur dalam undang-undang pemda ke depan kota Makassar, misalnya dijadikan kota administratif. Walikota diangkat oleh Gubernur Sulsel dari ASN yang memenuhi syarat. Dengan demikian gubernur bisa lebih lancar untuk mempercepat pembangunan ibukota provinsi.

Untuk itu, tekannya  gubernur harus turut serta membangun dan menata wajah ibukota provinsi. Dalam sejarah ibukota ibukota kerajaan di jawa dulu, ibukota kerajaan itu dipimpin oleh kerabat raja.

"Jadi tidak boleh orang sembarangan yang memimpin ibukota,  karena bisa mengancam keselamatan raja.  

Dengan dibentuk kota administratif secara otomatis DPRD Kota di ibukota provinsi bubar, sehingga bisa menghemat keuangan negara. Ide ini bisa dituangkan dalam perbaikan uu tentang Pemda," pungkas Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014 ini .

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama