Edy Rahmat Yang Di-OTT KPK Sering Jual Nama Nurdin Abdullah Untuk Keuntungan Pribadi

Mantan Sekretaris Dinas PUTR Sulsel yang di-OTT KPK, Edy Rahmat

MAKASSAR (wartamerdeka.info) - Mantan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulawesi Selatan (Sulsel) yang di-OTT KPK, Edy Rahmat (ER), diduga sering "menjual" nama Gubernur Sulsel (non-aktif) Nurdin Abdullah kepada sejumlah rekanan (pengusaha/kontraktor) agar mendapatkan "fulus" atau keuntungan pribadi.

Saat dirinya di-OTT oleh KPK pada 27 Februari 2021 lalu, Edy Rahmat diketahui membawa barang bukti berupa tas berisi uang sekitar Rp 2 Miliar yang diduga pemberian dari Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto (AS).

Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers yang disiarkan kanal YouTube KPK, membeberkan kronologi penangkapan AS dan ER.

"Pukul 20.24 WIB, AS bersama IF (sopir ER) menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dan setiba di rumah makan tersebut telah ada ER yang telah menunggu," kata Firli.

Agung berkeinginan mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021.

Firli melanjutkan, dengan beriringan mobil, IF mengemudikan mobil milik Edy, sedangkan Agung dan Edy bersama dalam satu mobil milik Agung.

Kedua mobil itu pun kemudian bergerak menuju Jalan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.

Dalam perjalanan tersebut, Agung diketahui menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021 kepada Edy.

"Sekitar pukul 21.00 WIB, IF kemudian mengambil koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS dipindahkan ke bagasi mobil milik Edy di Jalan Hasanuddin," jelasnya.

Lebih lanjut, Firli mengungkapkan, sekitar pukul 23.00 Wita, KPK mengamankan Agung saat dalam perjalanan menuju Bulukumba.

Sementara itu, satu jam berikutnya giliran Edy beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp 2 miliar turut diamankan KPK di rumah dinasnya.

Tapi, kemudian, disebut-sebut bahwa uang dalam koper tersebut diduga akan diberikan kepada Nurdin Abdullah, sehingga Nurdin Abdullah pun kemudian dijemput KPK saat sedang tidur di Rumah Jabatan (Rujab).

Nurdin Abdullah sendiri mengaku tidak tahu menahu adanya transaksi antara Agung dengan Edy Rahmat tersebut.

Dari penelusuran wartawan media ini, Edy memang dikenal nakal.

Saat masih menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Bantaeng, Edy Rahmat diketahui sudah sering menjual-jual nama Nurdin Abdullah (yang saat itu Bupati Bantaeng) demi keuntungan pribadi, tanpa sepengetahuan Nurdin Abdullah.

Seorang mantan pejabat di Pemkab Bantaeng yang tidak bersedia disebut namanya, mengungkapkan, bahwa ER ini pernah menitipkan nama seorang kontraktor agar perusahaan kontraktor tersebut memenangkan lelang tender, dengan menyebut bahwa kontraktor tersebut titipannya Bupati (Nurdin Abdullah).

"Saat itu saya Ketua Panitia Lelang di Pemkab Bantaeng. Tapi saya tidak mempedulikan permintaan Pak Edy Rahmat itu. Sebab, terkait lelang tender proyek-proyek di Bantaeng tersebut saya pernah konfirmasi kepada Pak Bupati (Nurdin Abdullah), dan beliau menegaskan tidak ada nitip perusahaan atau kontraktor tertentu agar menang tender," ujar mantan pejabat di Bantaeng, yang kini telah pensiun.

Mantan pejabat Bantaeng ini menyebut bahwa ER memang sering menjanjikan kepada sejumlah kontraktor untuk mendapatkan proyek dengan "menjual" nama Nurdin Abdullah, tanpa sepengetahuan Nurdin Abdullah.

Hanya saja, menurut pejabat lain, ER ini memang kinerjanya cepat dan lincah, sehingga sering dipercaya Nurdin Abdullah. 

"Tapi Pak ER ini juga sering dimarahi habis-habisan oleh Pak Nurdin Abdullah, karena kenakalannya itu. Dia telah mengkhianati kepercayaan Nurdin Abdullah," ungkapnya.

Saat Nurdin Abdullah (NA) terpilih menjadi orang nomor satu di Sulsel, Edy Rahmat pun ditarik ke Provinsi Sulawesi Selatan. Dan terakhir menjabat Sekretaris Dinas PUTR.

Tapi, rupanya ER tidak kapok juga meskipun sering dimarahi NA. Diam-diam dia masih sering menjual nama Nurdin Abdullah, hingga akhirnya dia di-OTT KPK.

Kenakalan Edy ini juga terkuak, baru-baru ini, dengan adanya sejumlah "proyek siluman",  karena tidak terdaftar di Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2021 Prov Sulsel.

Salah satunya adalah proyek pembangunan pedestrian dan penanganan jalan di kawasan  Center Point of Indonesia (CPI),  yang tidak terdaftar di Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2021.

Kepala UPT Penyelenggaraan Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Wilayah IV Makassar Dinas PUTR Sulsel, Andi Sahwan Mulia Rahman mengatakan, proyek yang tidak terdaftar dalam DPA jelas merupakan pelanggaran. 

“Anggaran tidak ada, tetapi tetap dikontrak. Pak Edy Rahmat (Sekretaris Dinas PUTR Sulsel non aktif, red) yang tanda tangan, Februari lalu. Padahal tak masuk dalam DPA tahun ini,” ungkapnya, Senin (19/4/2021) lalu.

Dalam laman resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik Pemprov Sulsel, pedestrian kawasan CPI 1 paket dengan kode tender 12779036 dan kode RUP 26790183 dimenangkan oleh perusahaan CV Sumber Resky Abadi yang beralamat di Jalan Pengayoman No. 197 Watansoppeng.

Nilai proyek pedesterian ini sekitar Rp1,4 miliar yang sebelumnya dianggarkan dalam APBD 2020 dengan tanggal pembuatan 28 November 2020.

Sementara itu, penanganan jalan kawasan CPI, dengan kode tender 12279036 dan kode RUP 26408953 menelan anggaran sekitar Rp26,8 miliar.

Proyek ini dikerjakan oleh PT Tiga Bintang Griya Sarana yang beralamat di Jalan Pelita Raya VI No. 8, Kota Makassar. 

Edy pun kini telah diberhentikan sementara dari aparatur sipil negara (ASN). 

Edy, yang kini masih ditahan setelah ditetapkan menjadi tersangka, hanya menerima 50 persen dari gajinya.

"Iya sudah diberhentikan sementara. Statusnya kan memang kalau seorang ASN yang dalam status tersangka harus diberhentikan sementara dulu," kata Kapala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sulsel, Imran Jauzi, saat dimintai konfirmasi wartawan, Selasa (20/4/2021).

Pemberhentian sementara Edy dari ASN ini telah disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jika nantinya divonis bersalah oleh pengadilan, Edy akan diberhentikan secara tidak hormat.

"Pemberhentian sementara ini sampai menunggu proses hukum yang bersifat tetap. Jadi pemberhentian sementara ini sudah ditandatangani oleh bapak Plt Gubernur setelah mendapatkan persetujuan dari Kemendagri," ujarnya.

"Kenapa harus mendapat persetujuan Kemendagri? Karena terkait kewenangan Plt yang terbatas. Izinya sudah ada dan sudah ditandatangani oleh Plt Gubernur," imbuhnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama