Runtuhnya Citra Institusi Polri Di Tangan Individu Perwira Bintang Dua

Oleh: Danny PH Siagian SE MM

(Pemerhati Sosial Masyarakat / Dosen)

CITRA Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali tercoreng. Kali  ini akibat ulah perwiranya, Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Napoleon Bonaparte (NB), yang justru menjadi pelaku tindak kriminal, menganiaya Muhammad Kace (M.Kace), tersangka penista agama, yang ditangkap polisi akhir Agustus 2021 lalu.

Banyak pelanggaran dan kemunafikan yang terjadi atas peristiwa tersebut. Irjen Pol NB adalah seorang tahanan Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) Markas Besar (Mabes) Polri, atas kasus penghapusan ‘Red Notice’ koruptor Djoko Tjandra, dengan dugaan suap Rp. 7,2 miliar. Akan tetapi, dalam statusnya sebagai tersangka, dia malah mempertontonkan kebiadabannya, dengan melakukan upaya pembunuhan terhadap M.Kace, memukuli dan melumuri wajahnya dengan kotoran (taik) manusia. 

Entah bagaimana cara berpikir dan bertindak seorang jenderal bintang dua, yang sudah melalui pendidikan yang dibiayai Negara itu. Dan herannya, sang perwira tersebut masih bangga memunculkan surat terbuka ke publik, bahwa dia sedang melakukan pembelaan terhadap agamanya yang dihina M.Kace, lewat beberapa siaran youtube-nya.

Sangat ironis. Seorang perwira pelaku kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), berdalih membela agamanya, dengan melakukan tindak kriminal keji terhadap anggota masyarakat. Bukankan ini menjadi bertolak belakang? Melakukan kriminal dengan ingin terlihat baik, tapi justru melakukan kriminal?. Atau dengan kata lain, sudah melakukan dosa, kemudian dengan sok suci ingin menebus dosa, tapi justru melakukan dosa?

Dan yang lebih memalukan lagi, peristiwa tersebut justru terjadi di kandang sendiri. Di depan mata Kapolri dan para elit Polri sendiri. Padahal, Mabes Polri menjadi lambang pusatnya strategi keamanan dan ketertiban masyarakat seluruh Indonesia. Mabes Polri tempat bertaburnya bintang-bintang kepolisian R.I, yang mestinya menjadi panutan.   

Lebih munafiknya lagi, para petinggi Mabes Polri secara berjamaah melakukan konspirasi dengan menutup-nutupi perlakuan sang perwira kriminal NB itu, dengan mengatakan sang tersangka M.Kace dalam keadaan baik-baik saja, kepada anggota keluarga M.Kace dan Tim Pengacara. Padahal sudah babak belur dan nyaris mati. Wajahnya bengap, bibirnya jontor dan rusuk kirinya serasa patah. Belum lagi wajahnya dilumuri kotoran manusia. 

Bahkan Ketua Indonesian Police Watch (IPW), Sugeng Imam Santoso menilai tindakan Napoleon tak berbeda dengan 'kadrun'. Sugeng mempertanyakan proses rekrutmen dan pendidikan dalam tubuh Polri, serta juga soal sikap mental para jenderal, yang dalam tanda kutip (seperti) kadrun (Gatra, 20/09/2021).

Tentu peristiwa ini menimbulkan sejumlah pertanyaan publik. Kenapa sampai bisa terjadi persekongkolan penyiksaan berjamaah terhadap M. Kace? Kenapa polisi masih berani menutup-nutupi kejadian sebenarnya, padahal ada CCTV yang biasanya sebagai alat bukti polisi, yang tidak pernah berdusta? Kenapa Kapolri bungkam, padahal kasus ini sudah jadi sorotan masyarakat Internasional? Siapa NB sehingga berani mencoreng-moreng institusinya sendiri? Kenapa Irjen NB masih anggota Polri aktif? Apakah NB memiliki ‘hidden agenda’ untuk menjatuhkan Kapolri, yang notabene adalah penganut Katolik? Apakah NB itu polisi agama? Darimana ada polisi agama di Polri? Apakah di tubuh Polri juga banyak kadrun, sehingga Kapolri jadi tak berkutik? Siapa backing-nya NB? Dan masih segudang pertanyaan yang membuat masyarakat menilai citra institusi kepolisian sudah makin rontok. 

Apalagi beberapa catatan buruk sebelumnya mencoreng Mabes Polri, dengan kejadian masuknya seorang wanita yang diduga teroris, melakukan penembakan terhadap anggota polisi di halaman parkir Mabes Polri, dimana kejadian tersebut menunjukkan kelemahan penjagaan keamanan markasnya sendiri. Belum lagi ada yang terlibat persekongkolan dengan bandar narkoba, pengguna narkoba, bahkan terakhir viral polisi membanting mahasiswa hingga pingsan, dalam aksi unjuk rasa di Tangerang, Rabu (13/10/2021) lalu.

Sementara itu, dalam Undang-undang no. 2/ tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia secara terang benderang dikatakan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang memiliki fungsi, tujuan dan peran yang seluruhnya berorientasi kepada kepentingan masyarakat. 

Di Pasal 2 dikatakan, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 4 berbunyi, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dan Pasal 5 ayat (1) menegaskan lagi, Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Pasal-pasal penting ini seluruhnya mengandung unsur-unsur “perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta hak azasi manusia”, baik dari segi Fungsi, Tujuan dan Peran Kepolisian R.I.  Mari kita bandingkan dengan fakta-fakta lapangan yang ada. Artinya, bukankah dalam konteks ini Polisi sudah melanggar Undang-undangnya sendiri? 

Jatidiri Institusi Harus Tegak

Dalam konteks ini, secara jelas kita melihat adanya upaya individu perwiranya meruntuhkan jatidiri institusi. Yang menjadi pertanyaan, apakah institusi mau mengikuti langgam NB sang penghianat itu?

Jika tidak ingin makin tenggelam, maka Institusi Polri melalui Kapolri harus melakukan pembelaan korps institusi. Pembelaan institusi yang dimaksud tentu menunjukkan sikap yang berintegritas. Memperjelas Polri yang "Presisi", yaitu prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan, yang menjadi program Jenderal Listyo Sigit saat ‘fit and propertest’ di depan Komisi III DPR R.I, sebelum ditetapkan jadi Kapolri oleh Presiden R.I Joko Widodo, Januari 2021 lalu.

Kalau hanya sekedar menghukum dan mencopot sang Perwira brutal itu dari profesi dan kepangkatannya, itu menjadi hal yang biasa dan seharusnya. Itu tidak mampu mengembalikan citra institusi. Lantas, apa upaya-upaya yang harus dilakukan?

Membuka kasus penganiayaan M.Kace secara transparan ke publik. Ini yang paling dibutuhkan. Jangan lagi metutup-nutupi ‘borok’ yang sebelumnya. Selanjutnya, berlaku adil dan konsisten dalam menetapkan pasal-pasal yang menjerat tersangka M.Kace. Karena pasal penistaan agama masih pasal karet. Profesional dan jujur dalam bertindak, sesuai dengan fungsi pengayoman dan pelayanan masyarakat yang diembannya. 

Bila perlu, Kapolri atas nama Kepolisian R.I menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat secara terbuka, atas pelanggaran hak azasi manusia, dan ketidakjujuran jajarannya dalam penanganan kasus yang tidak berperikemanusiaan itu. Tentu, permohonan maaf itu sekaligus menunjukkan jatidiri sebagai polisi yang humanis dan bertanggungjawab.   

Melakukan pembinaan kembali, mental dan spiritual para elit Polri, secara komprehensif dan sustainable. Karena terbukti, seorang Irjen masih bisa berlaku biadab dan menghianati institusi. Yang tak kalah penting, melakukan ‘sapu-bersih’ para ‘polisi kadrun’ dari ujung ke ujung. Supaya ke depan bersih dari para aparat penegak hukum yang tidak Pancasilais, yang tidak setia pada Negara dan bangsa.

Dalam menunjukkan keadilannya, sesuai pasal 2,4 dan 5 UU No.2 tahun 2002, agar segera memberikan ruang dan waktu yang sama di Mabes Polri, untuk para penista atau penghina agama lainnya yang juga makin merajalela, seperti: Ustad Abdul Somad (UAS), Felix Siaw, Irene Handono, Haikal dan lain-lain. Dalam hal ini, kepolisian tentu menjalankan perannya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (pasal 5 ayat 1).

Soal keadilan ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga berjanji Polri akan lebih siap menerima kritik, saat berkunjung ke PP Muhammadiyah (29/01/2021) lalu. "Bagaimana Polri ke depan bisa menjadi Polri yang adil, Polri yang jujur, Polri yang siap untuk dikritik dan Polri yang transparan," ujar Sigit.

Dengan demikian, jatidiri kepolisian sebagai institusi harus mampu tegak berdiri. Karena institusilah yang menjadi tubuhnya, yang menaungi para anggotanya. Maka, jika ada anggotanya yang ingin merusak tubuh Polri, hendaknya Pimpinan Polri secara kolektif membela korpsnya. Agar institusi tidak runtuh, dalam rangka menjalankan penegakan hukum, menjalankan keadilan dan hak azasi manusia, hingga kembali bisa dipercaya masyarakat yang diayomi dan dilindunginya. 

2 Komentar

  1. Biadab, kelompok ini bahkan sebenarnya M Kace, dipegangi benerapa orang dan mulutnya dibuka lalu manusia-manusia biadap yang beragama ini masukan taik yang mbona suru ambil dari kamarnya. Kemudian entah bagaimana hati mereka yang lebih rendah dari binatang memaksa taik si MBona ditelan oleh mkace. Biadap dan sungguh lebih buas dari babar

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama