Fadel Mengadu Ke BK DPD RI, Mohon La Nyalla Diberhentikan Sebagai Ketua DPD RI Karena Langgar Kode Etik dan Tatib DPD

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Setelah membuat laporan ke Bareskrim Mabes Polri, Wakil Ketua MPR RI Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad kembali melaporkan AA La Nyalla Mattalitti, Ketua DPD RI, Badan Kehormatan DPD RI.

"Kami mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI), hari ini,  terhadap saudara AA Lanyalla Mattalitti (Ketua DPD RI) atas pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD RI dan Kode Etik DPD RI," ujar Fadel Muhammad kepada wartawan, Kamis (25 Agustus 2022).

Menurut Fadel, tindakan pencopotan dirinya dari Wakil Ketua MPR RI melalui mekanisme "Mosi Tidak Percaya" oleh Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti adalah tindakan yang melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD 

"Selaku Ketua Ketua DPD Ri  La Nyalla telah melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD berupa tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 yang mengakibatkan adanya keputusan Sidang Paripurna untuk pemberhentian/penggantian diri saya sebagai Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari unsur DPD RI periode 2019-2024 dan pemilihan calon Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI," tandas Fadel.

Dalam surat pengaduannya, Fadel menyebut bahwa Teradu (La Nyalla Mattaliti) sebagai Pimpinan DPD telah memanipulasi agenda sidang yang telah dibuat Panitia Musyawarah dengan membuat Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI.

"Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pengambilan keputusan menarik dukungan terhadap saudara Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD RI," tambah Fadel.

Selain itu kata Fadel lagi, Teradu (La Nyalla Mattaliti) sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI.

Fadel dalam surat pengaduannya mohon kepada BK DPD RI berkenan 
memberikan putusan "Menyatakan Teradu terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik, dan Tata Tertib DPD dan Menjatuhkan Sanksi kepada Teradu berupa pemberhentian sebagai Ketua 
DPD."

Fadel juga memohon BK DPD RI memerintahkan kepada DPD untuk mencabut Keputusan Sidang Paripurna tertanggal 18 Agustus 2022 tentang Penarikan Pengadu sebagai Wakil Ketua MPR dari Unsur DPD.

"Kami juga mohon BPK DP memerintahkan kepada DPD untuk mencabut Keputusan Sidang Paripurna tertanggal 18 Agustus 2022 tentang Calon Wakil Ketua MPR dari Unsur DPD dan menyatakan 'Mosi Tidak Percaya' kepada Pengadu adalah Tindakan yang tidak sah dan melanggar tata tertib DPD," tandas Fadel. 

Isi Surat

Berikut ini adalah isi selengkapnya surat pengaduan Fadel Muhammad kepada Badan Kehormatan DPD RI:

Kepada Yth. 

Badan Kehormatan DPD RI (BK DPD RI)

Jl. Gatot Subroto Nomor 6, RT. 1/RW. 3, Senayan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta

Dengan hormat,

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama: Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad 

Alamat: Jl. Taman Patra XI/8, RT 005/004, Kuningan Timur, Setia Budi, Jakarta Selatan.

Tempat dan Tanggal Lahir : Ternate, 20 Mei 1952

Pekerjaan: Wiraswasta

Kewarganegaraan: Warga Negara Indonesia (WNI).

Asal Daerah: Gorontalo

Memilih domisili hukum pada alamat Jl. Taman Patra XI/8, RT 005/004, Kuningan Timur, Setia Budi, Jakarta Selatan.

Selanjutnya disebut sebagai Pengadu (Bukti P1) -------------------------------------------

Dengan ini mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI) atas pelanggaran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU MD3) (Bukti P2), Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Tata Tertib DPD) (Bukti P3), dan Peraturan DPD Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kode Etik DPD RI (selanjutnya disebut Kode Etik DPD) (Bukti P4) yang diduga dilakukan oleh Anggota DPD RI sekaligus Ketua DPD RI dengan identitas sebagai berikut:

Nama: AA Lanyalla Mahmud Mattalitti

Nomor Anggota: B-58

Jabatan: Ketua DPD RI

Masa Jabatan: 2 Oktober 2019 - sekarang

Asal Daerah: Provinsi Jawa Timur


Pengadu merupakan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD), warga negara Indonesia yang hak konstitusionalnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). 

Pengadu sebagai Anggota DPD merasa dirugikan karena telah terjadi pelanggaran kode etik sebagaimana ketentuan Pasal 240 ayat (5) Tata Tertib DPD.

Berdasarkan data dan fakta yang dikumpulkan, maka Pengadu patut menduga Teradu telah melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD berupa tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 yang mengakibatkan adanya keputusan Sidang Paripurna untuk pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari unsur DPD RI periode 2019-2024 dan pemilihan calon Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI.

Bahwa sebelum Pengaduan ini dibuat, dengan penuh iktikad baik Pengadu telah menyampaikan penawaran untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara musyawarah atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penawaran dari Pengadu tidak mendapatkan respon yang baik dan Teradu.

Oleh karena itu, Pengadu mengajukan Pengaduan kepada BK DPD RI atas pelanggaran tersebut dengan uraian dan alasan sebagaimana tertuang dalam Pengaduan ini. Sebelum Pengadu menguraikan alasan-alasan Pengaduan terlebih dahulu Pengadu menguraikan kewenangan BK DPD RI dan kedudukan hukum Pengadu. 

I. KEWENANGAN BK DPD RI

1. Berdasarkan ketentuan Pasal 270 ayat (1) UU MD3, Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 270 ayat (2) UU MD3, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPD tentang Tata Tertib;

2. Bahwa tugas dan kewenangan BK DPD RI menurut Tata Tertib DPD adalah:

1) Tugas BK DPD:

Pasal 100 Tata Tertib DPD, BK mempunyai tugas:

a. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap 

Anggota karena: 

1. tidak melaksanakan kewajiban; dan/atau

5. melanggar pakta integritas

Wewenang BK DPD:

Pasal 101 Tata Tertib DPD, BK berwenang:

a. memanggil Anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan; dan 

b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain.Pasal 102 ayat (2) Tata Tertib DPD, 

(2) Mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan dilaksanakan berdasarkan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan. 

3. Bahwa Pasal 1 angka Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Badan Kehormatan (selanjutnya disebut Tata Beracara BK)menyatakan bahwa Pengaduan adalah laporan Pengadu kepada BK DPD RI yang dibuat secara tertulis dan disertai bukti awal yang cukup mengenai tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD;

4. Bahwa Pasal 1 angka 13 Tata Beracara menyatakan bahwa Teradu adalah Anggota termasuk Pimpinan DPD RI dan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI yang diduga melakukan pelanggaran Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD. Pengaduan ini ditujukan kepada Teradu;

5. Bahwa salah satu materi muatan pengaduan yang ditujukan kepada Pimpinan DPD RI menurut Pasal 9 huruf “e” Tata Beracara DPD adalah melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik.

Pasal 9:

Tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik, yang merupakan Pengaduan, berupa:

e. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik.

6. Bahwa karena Pimpinan DPD RI juga merupakan atau sekaligus anggota maka ketentuan Pasal 8 Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI juga melekat dan mengikat bagi pimpinan. Oleh karena itu, Teradu juga diduga telah melanggar Pasal 8 huruf “f”:

Pasal 8 huruf “f”:

Tindakan dan/atau peristiwa yang patut diduga dilakukan oleh Anggota sebagai pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik, yang merupakan perkara pengaduan, berupa:

f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU MD3 dan Tata Tertib.

7. Bahwa oleh karena objek pengaduan a quo merupakan pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD, dan Kode Etik DPD berupa tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 yang mengakibatkan adanya keputusan Sidang Paripurna untuk pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari unsur DPD RI periode 2019-2024 dan pemilihan calon Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI, sehingga BK DPD RI berhak dan berwenang untuk memeriksa dan mengadili Pengaduan a quo.

II. KEDUDUKAN HUKUM PENGADU

1. Bahwa Pengadu menurut Pasal 1 angka 12 Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI adalah pihak yang mengajukanpengaduan;

2. Bahwa Pasal 240 ayat (5) Tata Tertib DPD menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik yang merugikan Anggota, Anggota yang dirugikan dapat mengadukannya kepada Badan Kehormatan”;

3. Bahwa Pengadu merupakan perseorangan yang dibuktikan dengan fotokopi identitas Pengadu yang terlampir sebagai salah satu alat bukti a quo. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 11 ayat (4) Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI agar setiap Pengadu Perseorangan melampirkan identitas diri pada pengaduan yang diajukan;

4. Bahwa Pengadu juga telah menguraikan identitas diri Pengadu pada halaman awal pengaduan a quo sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (3) jo ayat (6) Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Beracara BK DPD RI;

5. Bahwa Pengadu juga merupakan Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024 (Bukti P5);

6. Bahwa berdasarkan uraian diatas, Pengadu berhak dan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengaduan a quo.

III. URAIAN PELANGGARAN DAN ALASAN PENGADUAN

1. Bahwa Teradu telah melakukan tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 tanggal 18 Agustus 2022 dengan menambahkan acara sidang tanpa melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPD sehingga melanggar Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf h, dan huruf l Kode Etik DPD.

Bahwa Teradu telah membuat manipulasi acara Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 dengan Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI (Bukti P6) sebagai surat untuk menyusuli Surat Nomor PM.00/2597/DPDRI/VIII/2022 tanggal 11 Agustus 2022 perihal Undangan Sidang Paripurna ke-2 DPD RI (Bukti P7) yang menyebutkan bahwa sesuai kesepakatan Rapat Panmus ke-12 DPD RI Masa Sidang V Tahun Sidang 2021-2022 bahwa agenda penyampaian Laporan Pelaksanaan Tugas Badan Kehormatan Masa Sidang V Tahun Sidang 2021- 2022 diagendakan dalam Sidang Paripurna ke-2 DPD RI. 

Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat penambahan agenda Sidang Paripurna ke-2 menjadi: 

1. Laporan Pelaksanaan Tugas Badan Kehormatan:

Pengesahan atas Evaluasi dan Penyempurnaan Peraturan DPD RI tentang Kode Etik DPD RI 

2. Penetapan Keanggotaan Alat Kelengkapan (Kecuali Panmus).

Bahwa selanjutnya fakta persidangan yang terjadi dalam Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 tanggal 18 Agustus 2022, Teradu yang menjadi Pimpinan Sidang pada sambutan pembukaan awal persidangan menyampaikan sebagaimana yang Pengadu dengar dan lihat bahwa “berdasarkan hasil rapat Pimpinan pengganti Panmus hari ini diputuskan menambah satu agenda yakni tindak lanjut penyampaian mosi tidak percaya yang telah disampaikan di Sidang Paripurna sebelumnya”.

Kemudian dalam perjalanan sidang, Teradu yang menjadi Pimpinan Sidang menyampaikan lagi bahwa “berdasarkan hasil rapat pimpinan pengganti panitia musyawarah DPD RI tanggal 18 Agustus 2022 pukul 13.30 WIB di sepakati bahwa pimpinan DPD RI membawa persoalan mosi tidak percaya ini dalam sidang paripurna DPD RI ke-2 hari ini untuk diambil keputusan menarik dukungan terhadap saudara Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD RI” sehingga agenda Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 bertambah lagi. Tidak cukup sampai disitu, dalam perjalanan sidang Teradu yang menjadi Pimpinan Sidang menyampaikan lagi bahwa “Rapat pimpinan musyawarah juga menyepakati perlu dilakukan pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI yang telah disepakati ditarik dukungannya”.

Bahwa dengan demikian fakta persidangan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 yang terjadi terdapat manipulasi acara/agenda sidang berupa:

a. Teradu sebagai Pimpinan DPD memanipulasi agenda sidang yang telah dibuat Panitia Musyawarah dengan membuat Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI;

b. Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pengambilan keputusan menarik dukungan terhadap saudara Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD RI; dan 

c. Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI.

Bahwa atas manipulasi yang dilakukan Teradu sebagaimana tersebut di atas, Pengadu berpendapat bahwa Teradu telah melakukan pelanggaran Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf h, dan huruf l Kode Etik DPD Kode Etik DPD dengan alasan sebagai berikut:

a. Terkait Teradu sebagai Pimpinan DPD memanipulasi agenda sidang yang telah dibuat Panitia Musyawarah dengan membuat Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI.

Bahwa Pasal 5 huruf a, huruf b Kode Etik DPD berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

Setiap Anggota wajib mematuhi etika dan perilaku sebagai berikut: 

a. menaati sumpah/janji sebagai Anggota; 

b. menaati peraturan tata tertib; 

Bahwa pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Teradu adalah dalam bentuk ketidaktaatan terhadap sumpah/janji sebagai Anggota DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (3) Peraturan Tata Tertib DPD yakni memenuhi kewajiban sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil adilnya. Salah satu kewajiban Anggota DPD sebagaimana ditentukan Pasal 13 Tata Tertib DPD adalah menaati tata tertib dan kode etik. 

Bahwa Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022 tentang Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI a quo bertentangan dengan Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) huruf a Tata Tertib DPD karena Pimpinan DPD tidak mempunyai wewenang membuat acara sidang. Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) huruf a Tata Tertib DPD menentukan bahwasannya yang mempunyai wewenang merancang dan menetapkan jadwal acara persidangan adalah Panitia Musyawarah. Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) huruf a Tata Tertib DPD berbunyi:

Pasal 73

(1) Panitia Musyawarah bertugas menetapkan jadwal acara persidangan. 

Pasal 74

(1) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 Panitia Musyawarah mempunyai tugas: 

a. merancang dan menetapkan jadwal acara serta kegiatan DPD, termasuk sidang dan rapat, untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, dan sebagian dari suatu masa sidang; 

Jadi berdasarkan pada ketentuan tersebut, Panitia Musyawarah yang mempunyai wewenang untuk menetapkan jadwal acara atau agenda persidangan, bukan Pimpinan DPD. Dengan demikian apabila dengan alasan telah dilakukan Rapat Pimpinan pengganti Panmus kemudian pimpinan mengubah agenda sidang sebagaimana Surat Pimpinan DPD RI No PM.00/ 2651 /DPDRI/VIII/2022 tentang Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI adalah melanggar Tata Tertib DPD. Dalam Tatib DPD juga tidak dikenal adanya Rapat Pimpinan pengganti Panmus sehingga Rapat Pimpinan Pengganti Panmus adalah forum yang illegal yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan wewenang dan tugas DPD secara internal.

b. Terkait Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD dan agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI

Bahwa Pasal 5 huruf h dan huruf l Kode Etik DPD berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

Setiap Anggota wajib mematuhi etika dan perilaku sebagai berikut: 

h. bersikap jujur;

l. tidak menyalahgunakan kewenangan dan/atau bertindak sewenang-wenang;

Bahwa tindakan Teradu menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD dan agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RImenunjukkan bahwa Teradu telah bersikap tidak jujur sehingga melanggar Pasal 5 huruf h Kode Etik DPD. 

Sebagai Ketua DPD seharusnya Teradu mengedepankan kejujuran dalam bertindak sehingga tidak ada muslihat dengan tidak menambah agenda sidang dari yang seharusnya. Ketidakjujuran tersebut akan menciderai rasa saling menghormati dan penghargaan fungsi sesama anggota dan alat kelengkapan DPD. Hal ini sebagaimana diperintahkan Pasal 24 ayat (1) Tata Tertib DPD bahwa sesama Anggota harus saling menghormati dan menghargai fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing sesuai dengan penugasan pada alat kelengkapan DPD.

Bahwa tindakan Teradu menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD tersebut juga melanggar ketentuan pasal 5 huruf l Kode Etik DPD karena telah menyalahgunakan kewenangan dan bertindak sewenang-wenang. Pertama, tindakan Teradu sebagai Pimpinan Sidang merupakan penyalahgunaan wewenang karena kewenangan Pimpinan Sidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 267 ayat (2) Tata Tertib DPD adalah sebagai berikut:

(2) Ketua sidang atau rapat hanya berbicara selaku pimpinan sidang atau rapat untuk menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan dan menyimpulkan pembicaraan Anggota sidang atau rapat. 

Jadi sebagai pimpinan sidang, Teradu seharusnya hanya menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan yang sebenarnya, mengembalikan pembicaraan kepada pokok persoalan dan menyimpulkan pembicaraan Anggota sidang atau rapat. Teradu dilarang berpendapat dengan mengatasnamakan hasil Rapat Pimpinan pengganti Panitia Musyawarah yang sebenarnya illegal, melakukan penambahan agenda sidang dan menggiring peserta sidang mengambil keputusan. Hal ini jelas merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan sebagai Pimpinan Sidang sekaligus Ketua DPD.

Kedua, tindakan Teradu sebagai Pimpinan Sidang merupakan tindakan yang sewenang-wenang karena dengan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan adanya keputusan penggantian Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad sebagai wakil ketua MPR periode 2019-2024. Keputusan Sidang Paripurna DPD yang mengganti Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad telah merampas hak menduduki jabatan sebagai bentuk hak berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Hal ini tidak memenuhi asas pelindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Di dalam Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib tidak ada pasal yang mengatur prosedur penggantian wakil pimpinan MPR dari DPD. Penggantian wakil pimpinan MPR dari unsur DPD tanpa ada prosedur merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Peraturan 

DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib hanya mengatur:

- Pemilihan calon pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 135);

- syarat calon pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 136);

- Tata cara Pemilihan calon pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 137); dan 

- Penyampaian laporan kinerja pimpinan MPR dari unsur DPD (Pasal 138).

Adanya mosi tidak percaya yang kemudian berubah menjadi penarikan dukungan sebagai wakil ketua MPR dari unsur DPD adalah tidak ada prosedurnya. Satu satunya prosedur adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tatib MPR (Bukti P8) yakni penggantian Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan Pimpinan MPR dan dilaporkan dalam Sidang Paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis kepada anggota. 

Terkait adanya ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Peraturan MPR No. 1 Tahun 2019 tentang Tatib MPR yang mengatur Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya dan salah satu sebabnya adalah diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD, saat ini dalam Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib juga tidak ada ketentuan yang mengatur prosedur pengusulan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. 

Dalam hal ini tentunya yang penting diatur seharusnya adalah alasan dan mekanisme pengusulan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD.

Pengusulan penggantian oleh Kelompok DPD seharusnya ada alasannya untuk memenuhi asas pelindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 huruf b Undang￾Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

Tidak hanya cukup adanya usulan penggantian oleh Kelompok DPD. 

Dalam kehidupan bernegara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, usul penggantian oleh Kelompok DPD harus dilandasi dengan alasan yang kuat dalam hal ini dalam bentuk sanksi akibat suatu kesalahan atau akibat kondisi yang diluar kemampuan yakni meninggal dunia atau sakit permanen. 

Sanksi bagi anggota DPD diberikan hanya ketika anggota melanggar sumpah/janji jabatan, melanggar pakta integritas, melanggar kewajiban, dan melanggar larangan. Seandainya digunakan alasan adanya sanksi ini, konsekwensi hukumnya hanya berupa teguran lisan, teguran tertulis, diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan dan/atau diberhentikan sebagai Anggota DPD. Tidak ada konsekwensi yang diatur dalam Peraturan DPD tentang Tata Tertib yang berupa penggantian atau pemberhentian sebagai Wakil Ketua MPR dari DPD. 

Pimpinan MPR bukan merupakan alat kelengkapan DPD sehingga bila ada sanksi pun memang tidak bisa mengganti Wakil Ketua MPR dari DPD.

Fakta bahwa penggantian Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad dilaksanakan tanpa ada peristiwa hukum yang mendahului melainkan hanya disebabkan oleh adanya Mosi Tidak Percaya oleh sejumlah anggota DPD RI. Kendati DPD RI adalah lembaga politik yang dalam sepak terjangnya menggunakan pendekatan politis, namun karena DPD RI juga memiliki Peraturan Tata Tertib, maka seharusnya DPD RI tidak melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Tata Tertib yang telah mereka sepakati. Penggantian seseorang dari suatu Jabatan, seharusnya dilandasi oleh adanya peristiwa tertentu yang mendahului, misalnya pelanggaran terhadap kode etik dan/atau hukum yang berlaku. 

Sehubungan dengan hal ini alas sebab terkait pelanggaran kode etik dan/atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad sama sekali tidak ada. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya keputusan dari Badan Kehormatan DPD RI tentang adanya pelanggaran Kode Etik. Padahal dalam Pasal 298 ayat (3) Peraturan tata Tertib DPD ditegaskan bahwa BK berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik.

Bahwa Pencalonan, pemilihan, dan pengangkatan Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD periode 2019-2024 telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya ketentuan Pasal 15 UU MD3 dan ketentuan Pasal 19 Peraturan MPR 

Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib oleh sebab itulah tidak ada alasan hukum bagi Teradu memimpin Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 tanggal 18 Agustus 2022 untuk melakukan pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Piimpinan MPR dari unsur DPD periode 2019-2024 tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Terkait dengan hal inilah, maka Teradu melanggar sumpah/janji sebagai Anggota/Ketua/wakil ketua DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 UU MD3.


Pasal 254

Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 sebagai berikut: 

“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: 

bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan 
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan 
sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta 
mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada 
kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;

bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili 
untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan 
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Bahwa Teradu telah melakukan tindakan tidak mengutamakan 
musyawarah untuk mufakat dan telah bertindak sewenang-wenang dengan memaksakan kehendak untuk 
melakukan pemberhentian/penggantian jabatan Pengadu sebagai Pimpinan MPR 
dari unsur DPD Periode 2019-2024 melalui mekanisme yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan 
pemberhentian/penggantian Pimpinan MPR tidak sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU MD3, yang menyatakan:

(1) Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena: 
a. meninggal dunia; 
b. mengundurkan diri; atau 
c. diberhentikan. 

(2) Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) huruf c apabila: 

a. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau 

b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau 
berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR. 

Dengan demikian proses pemberhentian/penggantian Pengadu 
sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024 tidak melalui 
proses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta tidak melalui meknisme pemeriksaan untuk mengetahui alasan-alasan pemberhentian/penggantian Pengadu. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa alasan pemberhentian/penggantian hanya berdasarkan Mosi Tidak Percaya tanpa adanya verifikasi dan/atau klarifikasi melalui mekanisme pemeriksaan Badan Kehormatan DPD. 

Oleh karena itu proses pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024 yang didasarkan pada mosi tidak percaya yang tidak dikenal dalam Tata Tertib DPD telah menggambarkan bahwa Teradu tidak mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan telah bertindak sewenang-wenang serta memaksakan kehendak melalui Sidang Paripurna. Hal ini menunjukkan bahwa Teradu diduga telah melanggar ketentuan Pasal 5 huruf g dan huruf l Kode Etik DPD yang menyatakan:

Pasal 5

Setiap Anggota wajib mematuhi etika dan perilaku sebagai berikut: 

a. menaati sumpah/janji sebagai Anggota; 

b. menaati peraturan tata tertib; 

c. menunaikan tugas dan kewajiban dengan penuh rasa tanggungjawab; 

d. menjunjung tinggi nilai kesopanan dan kesusilaan; 

e. mampu mengendalikan diri dalam setiap ucapan, sikap dan perilaku guna menjaga perasaan orang lain;

f. bersikap rasional dalam mengemukakan pendapat; 

g. mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap masalah; 

h. bersikap jujur; 

i. memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi dan aspirasi masyarakat dan daerah; 

j. memiliki sikap empati dan simpati terhadap situasi masyarakat dan daerah; 

k. bersikap adil dan bijaksana dalam memperjuangkan amanat rakyat; 

l. tidak menyalahgunakan kewenangan dan/atau bertindak sewenang-wenang; 

m. tidak menggunakan kewibawaan DPD untuk kepentingan di luar tugas dan wewenang; 

n. bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi; 

o. bebas hubungan tidak patut dengan eksekutif dan legislatif serta kelompok lain yang dapat berpotensi mengancam harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD; 

p. bersikap terbuka dalam merespon aspirasi masyarakat tanpa mendiskreditkan seseorang dan/atau sekelompok orang; 

menghormati hak-hak Anggota lain, masyarakat dan/ atau lembaga lain baik di pusat maupun daerah dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya; 

r. membantu semua pihak dan berusaha mengatasi hambatan dan rintangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tanpa berharap imbalan; 

s. melaksanakan tanggungjawab secara sungguh-sungguh sesuai dengan tugas dan wewenangnya dan bekerjasama dengan Anggota lainnya untuk kepentingan masyarakat sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negara; 

t. mendahulukan kepentingan daerah dan masyarakat daerah daripada kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok politik tertentu;

u. menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa untuk menghindari sektarianisme dan primodialisme serta isu suku, agama dan ras dalam pelaksanaan tugas dan wewenang; 

v. menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat masyarakat; dan 

w. bebas dari penyalahgunaan Narkoba sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahwa ditinjau dari aspek prosedur Mosi Tidak Percaya yang disampaikan tidak memiliki landasan aturan hukum tertulis yang wajib ditaati sesuai sumpah jabatan seluruh pimpinan dan anggota DPD. Mosi Tidak Percaya juga tidak dikenal apalagi basis hukum dalam struktur hukum negara kita mulai dari UUD NRI 1945, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya. 

Bahwa dalam proses penandatangan mosi tidak percaya telah terjadi muslihat yang berisi kebohongan. Hal ini sebagaimana dinyatakan Dr. Abdul Kholik, S.H., M.Si. (Anggota DPD Provinsi Jawa Tengah) dan Dr. Muhammad J Wartabone, SH, M.Hi (Anggota DPD Provinsi Sulawesi Tengah) dalam forum Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD tanggal 18 Agustus 2022. 

Dalam pernyataannya disampaikan bahwa pemberian tanda tangan adalah untuk peningkatan kinerja DPD, namun faktanya yang terjadi tanda tangan mosi digunakan untuk menarik dukungan yang berujung keputusan penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024.


3. Bahwa Teradu diduga telah melakukan tindakan pelanggaran Tata 
Tertib DPD terkait dengan tindak lanjut laporan kinerja Pimpinan MPR 
dari unsur DPD sebagaimana ketentuan Pasal 138 Tata Tertib DPD dan 
menindaklanjuti
Mosi Tidak Percaya sebagai dasar 
pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari 
unsur DPD Periode 2019-2024
Uraian terhadap dugaan tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh 
Teradu sebagai mana pokok pengaduan tersebut dengan alasan sebagai 
berikut:

a. Tindak lanjut terhadap laporan kinerja Pimpinan MPR dari unsur DPD.
Pasal 138 Tata Tertib DPD menyebutkan:
Pasal 138

(1) Pimpinan MPR dari unsur DPD menyampaikan laporan kinerja dalam 
sidang paripurna DPD setiap 1 (satu) tahun sidang. 

(2) Kelompok Anggota DPD di MPR menindaklanjuti laporan kinerja 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
Teradu tidak melaksanakan ketentuan Pasal 138 ayat (2) Tata Tertib 
DPD yang menyebutkan bahwa laporan kinerja yang disampaikan oleh 
Pimpinan MPR dari unsur DPD ditindaklanjuti oleh Kelompok DPD. 

Faktanya, di dalam sidang paripurna Teradu telah menyimpangi 
ketentuan tersebut dan justru lebih mengutamakan pembahasan 
dan pengambilan keputusan terkait dengan Mosi Tidak Percaya 
yang tidak diatur dalam Tata Tertib DPD.

b. Menindaklanjuti Mosi Tidak Percaya sebagai dasar bagi pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari 
unsur DPD periode 2019-2024
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penyampaian Mosi 
Tidak Percaya tidak diatur dalam Tata Tertib DPD. Namun pada 
faktanya, Teradu telah menjadikan Mosi Tidak Percaya tersebut sebagai dasar untuk pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD periode 2019-2024 yang proses pemilihannya berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.


Di samping itu, Mosi Tidak Percaya yang salah satu materi muatannya 
yakni Pengadu tidak melakukan kewajibannya untuk menyampaikan 
laporan kinerja dalam sidang paripurna setiap 1 (satu) tahun sidang,
tentunya telah menimbulkan satu kekeliruan hukum. 

Hal ini dapat dibuktikan bahwa pelaksanaan penyampaian laporan kinerja yang dilakukan oleh Pimpinan MPR dari unsur DPD dalam sidang paripurna setiap 1 (satu) tahun sidang merupakan norma baru yang terdapat 
dalam Tata Tertib DPD yang ditetapkan pada tanggal 18 Februari 2022 
(Tata Tertib yang berlaku saat ini) dan tidak terdapat dalam Tata Tertib 
DPD sebelumnya. 

Oleh sebab itu, kewajiban penyampaian laporan kinerja hanya dapat digunakan kedepannya dan tidak dapat diterapkan 
secara retroaktif kepada Pengadu.

Dengan demikian, Teradu telah melakukan kebohongan publik 
dengan menggunakan dasar penerapan Mosi Tidak Percaya dalam proses pemberhentian/penggantian Pengadu sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD Periode 2019-2024. 

Atas dasar hal tersebut, Teradu diduga telah melakukan pelanggaran 
terhadap ketentuan:

1) Pasal 13 huruf b, huruf f, dan huruf g Tata Tertib DPD, yang 
menyatakan:
Pasal 13

Anggota berkewajiban: 

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; 

b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan 
perundang-undangan; 

c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 

d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah; 

e. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; 

f. menaati tata tertib dan kode etik; 

g. mematuhi dan/atau menaati keputusan lembaga; 

h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan 
lembaga lain; 

i. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; 


j. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya; dan 

k. menyebarluaskan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

2) Pasal 5 huruf b dan huruf h Kode Etik DPD, yang menyatakan:

Pasal 5

Setiap Anggota wajib mematuhi etika dan perilaku sebagai berikut: 

a. menaati sumpah/janji sebagai Anggota; 

b. menaati peraturan tata tertib;

c. menunaikan tugas dan kewajiban dengan penuh rasa 
tanggung jawab; 

d. menjunjung tinggi nilai kesopanan dan kesusilaan; 

e. mampu mengendalikan diri dalam setiap ucapan, sikap dan 
perilaku guna menjaga perasaan orang lain;

f. bersikap rasional dalam mengemukakan pendapat; 

g. mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap masalah; 

h. bersikap jujur; 

i. memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi dan aspirasi masyarakat dan daerah; 

j. memiliki sikap empati dan simpati terhadap situasi masyarakat 
dan daerah; 

k. bersikap adil dan bijaksana dalam memperjuangkan amanat rakyat; 

l. tidak menyalahgunakan kewenangan dan/atau bertindak sewenang-wenang; 

m. tidak menggunakan kewibawaan DPD untuk kepentingan di luar tugas dan wewenang; 

n. bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi; 

o. bebas hubungan tidak patut dengan eksekutif dan legislatif serta kelompok lain yang dapat berpotensi mengancam harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD; 

p. bersikap terbuka dalam merespon aspirasi masyarakat tanpa mendiskreditkan seseorang dan/atau sekelompok orang; 

q. menghormati hak-hak Anggota lain, masyarakat dan/ atau lembaga lain baik di pusat maupun daerah dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya; 

r. membantu semua pihak dan berusaha mengatasi hambatan dan rintangan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tanpa berharap imbalan; 

s. melaksanakan tanggungjawab secara sungguh-sungguh sesuai dengan tugas dan wewenangnya dan bekerjasama 
dengan Anggota lainnya untuk kepentingan masyarakat sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negara; 

t. mendahulukan kepentingan daerah dan masyarakat daerah 
daripada kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok politik 
tertentu;

u. menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa untuk 
menghindari sektarianisme dan primodialisme serta isu suku, 
agama dan ras dalam pelaksanaan tugas dan wewenang; 

v. menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat masyarakat; dan 

w. bebas dari penyalahgunaan Narkoba sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan di atas maka Pengadu beranggapan Teradu telah melakukan pelanggaran terhadap:

1. Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf h, dan huruf l Kode Etik DPD;

2. Ketentuan Pasal 254 UU MD3 jo Pasal 55 ayat (2) Tata Tertib DPD;

3. Ketentuan Pasal 138 ayat (2) Tata Tertib DPD;

4. Pasal 13 huruf b, huruf f, dan huruf g Tata Tertib DPD; dan

5. Ketentuan Pasal 73 ayat (1) jo Pasal 74 ayat (1) Tata Tertib DPD.

Oleh karena itu jika mengacu pada uraian dugaan pelanggaran di atas maka sanksi yang dapat dikenakan kepada Teradu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi:

1. Pasal 307 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b UU MD3: 
(1) Anggota DPD berhenti antarwaktu karena: 
c. diberhentikan. 

(2) Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) huruf c, apabila: 
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD; 

Pasal 66 ayat (1) huruf c jo Pasal 67 huruf e dan huruf g Tata Tertib DPD:
Pasal 66
(1) Ketua dan/atau Wakil Ketua DPD berhenti dari jabatannya karena: 
c. diberhentikan. 

Pasal 67

Pemberhentian Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 
ayat (1) huruf c dilaksanakan apabila:

e. melanggar sumpah/janji jabatan dan Kode Etik DPD berdasarkan 
keputusan sidang paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh 
Badan Kehormatan; 

g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang￾undang mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD; atau

Pasal 27 ayat (2) huruf c jo Pasal 28 ayat (3) huruf b dan Pasal 29 ayat (3) huruf 
a dan huruf b Kode Etik DPD:

Pasal 27
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: 

c. sanksi berat.

Pasal 28
(3) Pelanggaran berat terdiri dari: 
b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam 
peraturan tata tertib; 

Pasal 29

(3) Sanksi berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), dapat 
berupa: 

a. pemberhentian sementara; 
b. pemberhentian sebagai Anggota.

Pasal 58 ayat (1) huruf c, ayat (2) huruf b dan huruf c Tata Beracara BK DPD:

Pasal 58

(1) Dalam hal Teradu terbukti melanggar sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 48 ayat (2) huruf b, putusan disertai dengan sanksi.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa: 
b. pemberhentian dari jabatan Pimpinan Alat Kelengkapan, selain 
jabatan Pimpinan DPD; 

c. penonaktifan atau pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap dari jabatan Pimpinan DPD; atau

IV. PETITUM

Berdasarkan seluruh dalil dan uraian tersebut di atas serta bukti-bukti 
terlampir, maka demi tercapainya dan terjaganya marwah dan kewibawaan DPD RI sebagai lembaga negara, maka dengan ini kiranya BK DPD RI berkenan 
memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Teradu terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik, dan Tata Tertib DPD;

2. Menjatuhkan Sanksi kepada Teradu berupa pemberhentian sebagai Ketua 
DPD;

3. Memerintahkan kepada DPD untuk mencabut Keputusan Sidang 
Paripurna tertanggal 18 Agustus 2022 tentang Penarikan Pengadu 
sebagai Wakil Ketua MPR dari Unsur DPD.

4. Memerintahkan kepada DPD untuk mencabut Keputusan Sidang 
Paripurna tertanggal 18 Agustus 2022 tentang Calon Wakil Ketua MPR 
dari Unsur DPD.

5. Menyatakan Mosi Tidak Percaya kepada Pengadu adalah Tindakan yang
tidak sah dan melanggar tata tertib DPD. 

Atau apabila Yang Terhormat BK DPD RI memiliki pendapat lain, mohon putusan 
seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat kami,

Pengadu,

(FADEL MUHAMMAD)







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama