Majelis Hakim Dimohon Mengabulkan Eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa Ruben


JAKARTA (wartamerdeka.info) - 
Penangkapan dan penahanan terdakwa  Ruben PS Marey, S.sos, MSi dinilai cacat hukum dan surat dakwaan jaksa menyimpang jauh dari kesimpulan penyidik.

Pernyataan ini dikemukakan tim penasihat hukum terdakwa Ruben dalam eksepsinya yang dibacakan dihadapan majelis hakim yang diketuai Endah Desi Pertiwi, SH, MH, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (20/2/2019)

Tim penasihat hukum Ruben yang terdiri dari Hartono Tanuwidjaja, SH, MSi, MH, Samsuddin H Abas SH dan Samuel Septiano, SH, MH, memohon kepada majelis hakim supaya mengabulkan atau menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa Ruben dengan alasan alasannya.

Majelis hakim juga diminta supaya
dalam putusan sela menyatakan surat dakwaan jaksa Santoso, SH terhadap terdakwa   Ruben Register Perkara  No: PDM-tanpa Nimor/Jkt Ost/12/2018 tanpa tanggal bulan Desember 2018 yang dibacakan pada hari Rabu (13/2) adalah batal demi hukum.

Tim penasihat juga meminta mengembalikan berkas pada Jaksa Penuntut Umum (JPU), sekaligus memulihkan hak terdakwa dapam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai orang yang tidak bersalah dan telah dicemarkan mama baiknya oleh adanya penuntutan JPU.

Pada eksepsi yang seluruhnya dibacakan pengacara Samsudin H Abas dalam persidangan itu, tim penasihat hukum dengan jelas mengungkapkan bahwa Ruben PS Marey bersama dengan Deden Syarifudin, diadili dalam berkas terpisah tapi dengan tuduhan kasus sama. Yakni pemalsuan KTP. Keduanya dibawa dengan paksa oleh penyidik Polda Metro Jaya (PMJ) Ipda Mada Dima Christianto dan kawan kawan pada 21 Oktober 2018 dari Yogyakarta ke PMJ Jakarta dengan Surat Perintah Nomor SP. Bawa/307/X/2018/Ditreskrim. Padahal yang sebenarnya  hari Rabu 17 Oktober 2018 diri terdakwa telah ditahan badan dengan tanpa ada surat surat apapun baik yang siberikan kepada terdakwa atau keluarganya.

Penahanan diri terdakwa Ruben tersebut didasarkan Surat Perintah Pwnahanan No: SP. HAN/979/X/2018/Ditreskrimum tanggal 22 Oktober 2018.

Dasar alasan penahanan didasarkan pada hasil gelar perkara tanggal 21 Okrober 2018; Telah siperoleh kelengkapan alat bukti berupa tiga keterangan saksi, satu keterangan terdakwa; satu buah KTP atas nama Ruben PS Marey dan dua buah rekening atas nama Ruben.

Namun fakta yang sebenarnya tutur Samsudin H Abas, tidak ada gelar perkara pada 21 Oktober 2019 tersebut sebab Laporan Polisi Form A Nomor: LP/941/X/2018/PMJ/DIT.RESKRIMUM baru dibuat pada 21 Oktober 2018 jam 15.00 WIB.

Pada 21 Okrober 2018 tersebut hanya ada satu keterangan saksi yang di BAP, yakni saksi pelapor Ali Imron Rosyadi pada jam 20.00 WIB.

Diungkapkan pula bahwa keterangan Ruben baru diambil BAP pada 22 Oktober 2018 jam 12.00 WIB dan sejumlah kejanggalan lainnya.

Sementara obyek penyitàan barang bukti ada 2 KTP asli dab satu buku Bank Mandiri No. Rek. 115000 671 8839 atas nama Ruben yang diterbitkan kantor cabang  Jakarta Kota.

Ditambahkan pengacara bahwa sanpai hari ini pasca tanggal 20 Desember 2018 tidak ada lagi diterbitkan surat perpanjangan penahanan untuk terdakwa Ruben.

"Bahwa tidak jelas penahanan terhadap Ruben atas kewenangan siapa? Sebab sesuai fakta  JPU pun tidak mengetahui dan tidak ada me cantumkan dasar penahanan tersebut ke dalam surat dakwaannya. Jadi terdakwa Ruben telah ditahan tanpa prosedur hukum hingga ketentuan dalam Kitap Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seperti Pasal 1 butir 21 KUHAP jo. Pasal 21 ayat (3) KUHAP telah jelas dilanggar terhadap penahann diri Ruben. Oleh karena itu, demi melaksanakan penegakan hukum yang berkeadilan, mohon atas nama hukum dan keadilan agar terdakwa Ruben serta merta dibebaskan dari status penahanannya. Jika tidak maka hal tersebut merupakan preseden buruk yang sangat memalukan bagi kiprah penegakan hukum (law enforcement) di republik tercinta ini," kata Syamsudin.

Tim penasihat hukum juga mengatakan bahwa surat dakwaan disusun atas dasar berita acara pemerijsaan (BAP) yang cacat hukum. Sebab ketika Ruben diperiksa tanpa didampingi penasihat hukum sehingga pemeriksaan yang dialami Ruben cacat hukum mengingat terdakwa telah melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP yang ancamannya sebagaiman diuraikan pada Pasal 263 ayat (1) paling lama 6 tahun.

"Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 114 KUHAP lalu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP maka telah sangat terang dan jelas bahwasanya surat dakwaan JPU telah disusun atas dasar proses berita acara yang cacat hukum," tambah Syamsudin.

Sebab lanjut pengacara, kepada diri tersangka seharusnya diberikan kebebasan untuk nenunjuk penasihat hukum menurut pilihannya sendiri. Dan haknya yang diberikan UU. Disamping itu mengingat ancaman pidana yang didakwakan dengan ketentuan pidana di atas 5 tahun, penasihat hukum mendampingi tersangka bukan semata mata hak tersangka  tetapi menjadi kewajiban penyidik diberikan kepada tersangka baik dimint maupun tidak diminta oleh tersangka.

Menguatkan alibi penasihat hukum bahwa penyidikan dan penyimpangan surat dakwaan jaksa dikemukakan yuriamsprudensi Mahkamah Agung No: 165 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993, pendapat filusuf Socrates, pendapat ahli Prof. DR. Jur. Andi Hamzah, SH bersama Irdan Dahlan, pendapat mantan hakim agung M Yahya  Harahap, SH dalam bukunya berjudul "Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Oenuntutan" edisi kedua halaman 387.

Kejanggalan lainnya surat dakwaan jaksa dinilai menyimpang jauh dari kesimpulan penyidik. Sebab penyidik menyimpulkan Pasal 263 (2) KUHP terhadap Ruben. Namun pada dakwaan kedua primair jaksa penuntut umum mendakwa Ruben dengan ketentuan Pasal 93 jo. Pasal 77 UU RI No.24 Tahun 2013 Tentang Perubahan UU No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Dajwaan kedua tersebut berdasarkan catatan tim pengacara tidak sesuai atau nenyimpang dengan kesimpulan penyidik polri di PMJ. Dengan demikian JPU telah merubah dan/atau menambah sendiri ketentuan yang didakwakan tanpa ada dasar Surat Perintah Penyidikan yang sah, tambah pengacara. (dm)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama