Jelang Pilkada Lamongan, YUDIKA Dan Politisasi Birokrasi


Oleh : W. Masykar

Kurang dari setahun lagi pilkada serentak dihelat, termasuk kabupaten Lamongan. Kian hari, makin menarik untuk diikuti perkembangannya. Meski suhu politik menguap dalam batas wajar, bahkan jika dibandingkan pilkada sebelumnya, tensinya masih dalam batas normal. Bukan karena kandidat yang terus bermunculan, namun tiga sosok yang bakal meramaikan helatan pilkada kota Soto itu, menjadi daya pikat, bak seorang gadis cantik yang membuat siapa saja menyempatkan peluang untuk sekadar melirik. Mereka adalah Yuhronur Efendi, Dedi Noerdiawan dan Kartika Hidayati.

Tiga sosok tersebut, diasumsikan tidak akan mungkin bersatu, untuk mau "mengalah" menjadi orang nomor dua. Masing masing berjuang untuk merebut ticket 01 (Cabup), dan ini sangat rasional. Tak ada yang salah, kalau diantara mereka tak ada yang mau mengalah.

Mereka punya argumen politis sendiri sendiri. Yuhronur Efendi, adalah sosok Sekda yang dikenal dekat dengan kaum millenial dan cukup terkenal, bukan karena slogan YES nya semata. Maklum, nama Yuhronur Efendi, adalah sosok birokrat yang mudah ditemui dan komunikatif, lama malang melintang ikut mengurus PERSELA, bahkan di Pramuka sudah tidak asing lagi.

Dedi Noerdiawan, siapa dia? Mungkin referensinya, jika di Lamongan, belum banyak diketahui, paling tidak antara lain, dia sosok muda yang cerdas, akademisi, berkepribadian santun, dan yang tak kalah menarik, adalah memiliki wajah yang gagah dan ganteng, meski ini bukan termasuk bagian dari modal untuk maju menjadi pemimpin, tapi setidaknya orang akan tertarik pertama dari sisi ini.

Referensi berikutnya, adalah bahwa dia adalah putra bupati Fadeli, orang mungkin tak banyak bertanya lagi, dan berhenti sampai disini. Mengapa berhenti, karena minim referensi.

Kartika Hidayati, wakil bupati Fadeli, sebelumnya pernah ikut Pilkada duet dengan Suhandoyo, tapi Dewi Fortuna belum berpihak. Selain itu, tokoh wanita yang lebih dikenal dengan panggilan Bunda ini, juga menjadi anggota DPRD  propinsi, jadi siapa yang tidak kenal Kartika Hidayati, apalagi posisinya ketua Fatayat, namanya tetap moncer.

Nah, ketiga sosok yang diproyeksikan bakal ikut merebut pertarungan menjadi orang nomor satu di helatan pilkada tahun depan memiliki basis yang sama untuk merebut dan menancapkan pengaruhnya, dimana itu? Di sektor birokrasi. Sampai disini, birokrasi akan menjadi objek politisasi menjelang pilkada. Siapa yang menguasai birokrasi dia akan memiliki kans besar untuk merebut pengaruhnya.

Yuhronur Efendi, dengan posisinya sebagai Sekda, Dedi Noerdiawan melalui ayahandanya, bupati, dan Kartika Hidayati dengan jabatan wakil bupati. Maka, tak heran sejumlah mutasi atau rotasi pejabat di Lamongan, mulai dari digesernya kadin Perkim/PUPR ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH), lalu Camat Solokuro ke posisi sekretaris Dinas Tanaman Pangan, Perkebunan dan Hortikultura, terakhir Camat Paciran ke posisi sekertaris DLH diasumsikan sebagai warning politis, atau sarat bermuatan politis, dan asumsi tersebut sah sah saja, meski bupati memiliki penilaian sendiri.

Asumsinya bisa karena saat pileg kemarin, dimana ada putra bupati yang lain, ikut merebut kursi DPR RI, Deby Kurniawan, terpilih, Jadi dan sudah dilantik, namun perolehan suaranya dikawasan Pantura jauh dari harapan. Di tengah, seharusnya Demokrat merebut 3 kursi, tapi hanya dua kursi, hilang satu kursi menjadikan Demokrat berada di posisi dibawah PKB, endingnya ticket ketua DPRD Lamongan menjadi milik PKB.

Dengan realitas seperti ini, jelang Pilkada, haruslah mulai dipersiapkan. Diganti dengan sosok baru yang diharapkan bisa bekerja lebih maksimal dengan hasil optimal. Analisa seperti ini, boleh jadi terlalu mengada ada, namun tetap sah untuk dikaji. Kendati pergeseran pejabat, adalah sesuatu yang normal dalam rangka penyegaran dan peningkatan kinerja. Asumsi lain, boleh juga disebut, misalnya loyalis sekda atau Wabup mulai di"perhatikan".

Salahkah jika memang itu terjadi, ya tidak salah. Sebab birokrasi yang mayoritas penghuninya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan intelektual serta kualitas kemampuan administratif dan pemerintahan.  Otomatis, birokrasi merupakan salah satu kekuatan politik yang paling dahsyat untuk memenangkan kepentingan struktur kekuasaan.

Struktur kekuasaan dalam kaitan ini, bisa ke bupati untuk memenangkan putranya kedepan maju menjadi kandidat bupati pada pilkada, bisa ke Sekda karena masih atasannya (para ASN), atau ke wakil bupati saat ini, yang diakui atau tidak tetap memiliki pengaruh disebagian kalangan birokrasi.

Apalagi upaya memobilisasi kekuatan birokrasi demi memuluskan kebutuhan politik kelompok, sudah menjadi catatan sejarah yang telah berlangsung cukup lama sejak birokrasi ada.

Setiap momen pemilu dan Pemilukada, posisi birokrasi selalu berada dalam pusaran politik. Arah dan langkah birokrasi adalah hal yang paling banyak mendapat sorotan dan bahkan sentilan sinisme, baik politisasi seputar netralitas birokrasi maupun politisasi distribusi program kegiatan birokrasi itu sendiri, yakni Politisasi APBN/APBD.

Kedua hal tersebut adalah elemen yang paling kuat dan paling ampuh dimanfaatkan untuk memenangkan kepentingan politik pemilu selama ini.
Disisi lain, upaya politisasi birokrasi di masa pemilu seperti saat ini,  bisa dikata adalah sebuah keniscayaan fakta.

Fenomena politisasi serta mobilisasi dukungan politik birokrasi dalam pemilu, seolah telah menjelma menjadi sebuah keharusan dalam setiap ritualisme politik. Setiap musim pemilu, politisasi birokrasi atau me manfaatkan ASN ibarat film yang setiap tiba waktunya, akan diputar ulang. Mirisnya, tak jarang model mempolitisasi atau menjadikan birokrasi sebagai objek politik demi kepuasan kekuasaan ini, bahkan secara vulgar dipertontonkan.

Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaa. Secara masif, birokrasi telah menjadi ajang pertarungan kepentingan kekuasaan dan arena perlombaan pengaruh penguasa dan partai politik.

Pada konteks pilkada Lamongan, birokrasi akan menjadi arena pertarungan tiga sosok kandidat. Situasi seperti ini, otomatis akan menciptakan polarisasi dan  fragmentasi birokrasi. Birokrasi terbelah menjadi tiga bagian, ke gerbong bupati, ke gerbong Sekda dan gerbong Wabup. Atau bahkan tak sedikit birokrat yang akan berada di dua kaki. Model seperti ini, juga karena budaya dan mekanisme pemberian reward atau punisment dikalangan aparat birokrasi tak jarang menyepelekan prestasi kinerja, sementara masih terlalu banyak pejabat atau birokrat yang sangat berharap mendapat privelege, kenaikan pangkat atau kenaikan jabatan bahkan bisa juga digeser ke jabatan "basah", jika berhasil menjadi birokrat atau ASN yang tidak netral, karena keberhasilannya dalam kerja memberi politik dukungan kepada penguasa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama