Sidang Mediasi Gugatan Perdata Kawasan Mangrove di Donggala Gagal Capai Titik Temu


DONGGALA (wartamerdeka.info) – Pengadilan Negeri Donggala menyidangkan perkara Gugatan Perdata seorang pengusaha Donggala berinisial HA. Pengusaha tersebut menggugat 5 anggota Pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Gonenggati Jaya. Ke-5 tergugat adalah warga Kelurahan Kabonga Besar di Donggala.

Agenda sidang berikut adalah memediasi para pihak, yakni penggugat dan tergugat.
Ke-5 warga Donggala tersebut dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dalam mengelola wilayah pesisir pantai. Pasalnya, lahan tersebut diklaim penggugat, yakni HA, sebagai empang miliknya. Hal ini didasari Akta Jual Beli (AJB) Penggugat tahun 1984.
Tergugat lain adalah Lurah Kabonga Besar dan Camat Banawa.

Dalam gugatannya yang didaftar 1 Oktober 2019, HA berdalil dirinya sebagai pemilik Empang seluas ± 15.000 m2 (lima belas ribu meter persegi) itu. Letaknya persis di kawasan Mangrove tersebut.

Para Tergugat dari KHT itu juga adalah Aktivis Lingkungan. Mereka sudah lama menanam mangrove disekitar pesisir pantai Kelurahan Kabonga Besar. Namun pengelolaannya baru dinyatakan resmi melalui Surat Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen Bidang Kelembagaan Penyuluhan Nomor : SK.03/WW/PPK-3/VI/2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, tentang Penerima Fasilitasi Pembentukan Wanawiyata Widyakarya, yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juni 2018. Mereka bersama masyarakat Kabonga Besar lainnya kemudian tergabung dalam KHT Gonenggati Jaya, dengan mengusahakan kegiatan Wisata dan Pembibitan Mangrove di bawah Binaan Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah.

Dalam Sidang Mediasi Selasa lalu (8/10) dipimpin Hakim Mediator Taufiqurahman S.H.,M.Hum ini, tidak ditemukan solusi atau titik temu antara Penggugat dan Tergugat.
Penggugat menganggap Wilayah Pesisir yang hari ini dikelola KTH Gonenggati Jaya merupakan miliknya. HA meminta para Tergugat dapat memahami kondisi tersebut.

Di lain sisi, Tergugat menganggap klaim atas wilayah Pesisir Pantai tersebut tidak memiliki alasan yang kuat. Karena KTH Gonenggati Jaya hanya menjalankan mandat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengelola Wilayah tersebut.

Selain itu dalam mediasi, Tergugat tidak mengklaim wilayah itu miliknya, karena Tergugat mengetahui dan memahami sebagaimana disebutkan dalam PERPRES No. 51 Tahun 2016 yang dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 (“UU WP3K”) tentang Batas Sempadan Pantai.
Berangkat dari keyakinan inilah Tergugat menganggap klaim HA harus dibuktikan di Pengadilan, agar benar-benar dapat dipercaya.

Setelah melalui proses mediasi dan tidak menemukan titik temu, para pihak kemudian meyakini alasannya masing-masing. Hakim Mediator akhirnya menyimpulkan bahwa proses ini akan ditindaklanjuti dalam proses Pokok Perkara.

Rencananya, agenda selanjutnya adalah pembacaan Gugatan dan akan di bacakan pada tanggal 15 Oktober 2019.
Ke-5 warga tergugat didampingi 5 Pengacara Rakyat dari Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat Sulawesi Tengah (PBHR SULTENG) dan WALHI SULTENG, yakni Harun, S.H., Muh. Rasyidi Bakry, S.H.,L.L.M., Retnadumillah Saliha S.H.,M.H., Moh. Hasan Ahmad S.H., dan Andirwan, S.H.

Salah satu Kuasa Hukum Tergugat, Retnadumillah Saliha S.H.,M.H., menjelaskan, pembelaan ini merupakan bentuk komitmen PBHR Sulteng terhadap pendampingan masyarakat. Di sisi lain, katanya, pihaknya berharap hakim tetap objektif dalam menangani perkara ini.

"Kami sebagai Penasehat Hukum, pada prinsipnya tetap mengedepankan fakta–fakta persidangan dan terhadap apa yang didalilkan oleh H.A, akan kami bantah dan uraikan pada Jawaban Gugatan dalam persidangan nanti”, tutup Retna. (Tom)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama