Jelang Pilkada Lamongan; Birokrasi Dalam Pusaran Politik "Balas Budi"


Oleh: W. Masykar

Perhelatan pilkada serentak 2020 tinggal menghitung bulan. Masih ada sekitar 11 bulan berjalan. Atmosfer politik di Lamongan, salah satu kabupaten yang akan menyelenggarakan pilkada serentak itu, sudah mulai menghangat, birokrasi kian terpolarisasi.

Sejumlah birokrat/pejabat terasa tampak rikuh dan ewuh pakewuh dalam memposisikan diri. Birokrat mulai mengkalkulasi untuk mencari tempat yang safety. Sebab, jika salah dalam menempatkan diri akan mendapatkan konsekuensi. Terutama, pada posisi/jabatannya.

Semua pejabat birokrat pastilah tidak menginginkan mendapat "jatah" demosi, sekurang-kurangnya mutasi, bahkan semua menginginkan dapat promosi.

Polemik dan perbincangan kepentingan tersebut ikut menyeret sejumlah kelompok masyarakat dalam pusaran politik praktis. Dari sejumlah kelompok yang sudah terseret atau bahkan "menyeret kan diri" itu, adalah Aparatur Sipil Negara (ASN/PNS)Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau birokrasi. Apalagi, ditengarai ada bakal kandidat yang selama ini membuat penasaran publik, hampir telah menemukan jawabannya ketika gambar-gambarnya sudah mulai menghiasai jalan.

Bakal kandidat itu, adalah Dedi Noerdiawan. Hampir sepanjang jalan Raya Daendels, gambar Dedi Noerdiawan sudah terpampang. Setidaknya, sinyal sudah dikirimkan, bahwa putra bupati Lamongan akan maju menuju bakal calon Bupati.

Sampai disini, start pertarungan sudah dimulai. Dan Dedi Noerdiawan, kemudian benar-benar maju dalam kontestasi pilkada Lamongan, ternyata tidaklah isapan jempol.

Mau tidak mau, birokrasi, posisinya yang strategis di tengah-tengah masyarakat, merupakan kekuatan yang paling rentan dipolitisasi sehingga dipastikan akan menjadi "ajang" perebutan deretan besar dukungan dalam kontestasi.

Harapan dan slogan, birokrasi harus netral, lantas lantang diteriakkan. ASN/pejabat tidak boleh berpolitik praktis. Sebagai abdi negara dan masyarakat, ASN/pejabat harus netral dan tidak melakukan aksi dukung-mendukung terhadap kontestasi pilkada. Setidaknya, ini harapan masyarakat agar birokrasi tetap profesional.

Meski, regulasi sudah mengatur secara tegas soal netralitas birokrasi. Bahwa, setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun (Pasal 2 huruf f UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN).

Tiga bakal calon peserta Pilkada Lamongan 2020

Dalam ketentuan lainnya, bisa dijumpai adanya larangan ASN terlibat politik praktis, misalnya kegiatan kampanye pemilu yang mengikutsertakan ASN (Pasal 280 angka 2 UU /7/ Tahun 2017 tentang Pemilu). Setiap ASN dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah (Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53).

Kementerian PAN dan RB melalui surat edaran nomor B/2355/M.PANRB/07/2015, juga melarang ASN untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Meski, kondisi seperti itu, sulit diwujudkan.

Kenapa? Setidaknya,  ada sejumlah faktor yang membuat netralitas ASN di birokrasi menjadi sekadar mimpi yang sempurna.
Adanya birokrat ataupun juga incumbent yang menjadi kontestan pilkada.

Kondisi tersebut mengakibatkan sikap birokrat yang menjadi bawahannya cenderung tidak netral. Budaya sungkanisme dan "Balas Budi" akan semakin kental.

Ini terjadi karena selain adanya kepentingan pribadi ASN agar tetap pada posisi aman,  juga ada upaya penggalangan dukungan secara terselubung dalam birokrasi.

Lantas, apakah kontestasi Pilkada Lamongan, ada petahana? Jawabnya, jelas tidak ada. Namun, diakui atau tidak, posisi Sekda Yuhronur Efendi dan Wabup Kartika Hidayati, secara tidak langsung adalah petahana. Karena, keduanya menguasai birokrasi dan memiliki pengaruh di jajaran ASN/birokrat. Apalagi, nama Dedi Noerdiawan, meski tokoh baru sama sekali, namun pengaruh orangtua tetap menjadi amunisi jitu untuk mempengaruhi ASN/birokrasi.

Dengan kata lain, secara implisit ketiganya adalah "petahana". Apalagi, secara tradisi adanya ketergantungan ASN/pejabat terhadap kekuasaan usai pilkada. Agar posisi dan karir tetap moncer, maka ASN/pejabat bersangkutan harus mengambil sikap yang jelas agar selamat dari terpaan punishment sang pemenang yang menjadi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Jangan sampai kena tendangan "tsunami" demosi, karena salah pilih menaruh dukungan, bisa-bisa menerima imbalan yang tidak sesuai. Sehingga,  Bisa ditebak, tak sedikit birokrat lantas berdiri di banyak posisi dengan menggunakan banyak kaki, tentu saja dengan cara cara yang elegan dan bahkan unpredictable.

Disinilah, makin jelas bahwa keikutsertaan pejabat/ASN dalam pilkada akan  memberikan pengaruh terhadap netralitas birokrasi, baik secara kelembagaan maupun secara individual. Jika yang bertarung adalah bekas atasan atau sama-sama dari incumbent, pastilah kenetralan birokrasi menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan.

Dan, seperti disebutkan, Yuhronur Efendi, Kartika Hidayati dan Dedi Noerdiawan (putra bupati), ketiganya adalah bekas penguasa birokrasi.

Terkait dengan ketergantungan birokrasi terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian, maka harus disadari bahwa birokrasi tidak berada di ruang hampa yang bebas dari intervensi politik.

Pejabat politik pemenang pemilu akan menjadi nakhoda dan memengaruhi keberlangsungan individu dan organisasi birokrasi.

Terlebih dari sudut pandang normatif, peran sentral kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang memiliki wewenang dalam mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan pegawai menjadi senjata ampuh untuk memengaruhi pandangan politik birokrasi.

Bukan rahasia lagi, jika ada kepala daerah yang melakukan mutasi maupun demosi terhadap ASN/pejabat yang dianggap menjadi lawan politiknya. Atau yang tidak memberikan dukungan pada saat kontestasi akan terdepak. Politik "Balas Budi" lantas akan mulai dimainkan.Ya, kita lihat saja.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama