Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh SH MH: Surat Tugas Yang Diteken Gub NA Untuk Ketua DPRD Sudah Benar, Eksekutif Dan DPRD Harus Bersatu Melawan Covid-19

Guru Besar Ilmu Hukum Prof Dr  Zudan Arif Fakrulloh SH MH

"Hukum Tertinggi Adalah Salus Populi Suprema Lex, Yaitu Keselamatan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi"

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Surat Tugas yang diteken oleh Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah selaku Ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 Sulsel untuk Ketua DPRD Prov. Sulsel, A. Ina Kartika Sari, yang  ramai jadi perbincangan di media sosial, kembali mengusik seorang pakar untuk ikut urun rembug.

Sebelumnya,  pakar ilmu pemerintahan, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan MA mengemukakan, tidak ada yang salah dengan Surat Tugas yang diteken Gubernur tersebut.

Kali ini, Guru Besar Ilmu Hukum Prof Dr  Zudan Arif Fakrulloh SH, MH menyebut,  apa yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah itu adalah cara-cara yang luar biasa

Diingatkannya, dalam penanganan pandemi corona (Covid-19) semua pihak harus memiliki persepsi yang sama.  Karena ini adalah krisis, situasi tidak normal dan tidak boleh dihadapi oleh pemikiran yang biasa-biasa saja.

"Ini krisis yang luar biasa. Sehingga tata kelola pemerintahan tidak boleh dihadapi dengan cara biasa-biasa saja. Cara yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, adalah cara-cara yang luar biasa. Dan hanya dipahami oleh orang-orang yang luar biasa juga.  Jadi, keluar dari sekat- sekat normatif. Sebab kalau kita berpikir normatif, Covid-19 tidak akan selesai," ujar Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh SH MH, pengajar program doktor hukum Univ Sebelas Maret Solo, di Jakarta, Ahad (26/4/2020).

Dulu, kata Prof Zudan, setiap hari kita masuk kantor, sekarang masuk kantor salah. Padahal UU ASN belum diubah, manajemen kepegawaian belum diubah. Dengan situasi berubah dengan sangat cepat, maka, dalam situasi krisis semacam ini, hukum tertinggi adalah hukum Salus Populi Suprema Lex: Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

"Dan itu dijabarkan secara eksplisit di dalam pembukaan undang-undang dasar: Negara melindungi segenap bangsa, melindungi seluruh tumpah darah. Bagus sekali kan!" terangnya.

Negara ini didirikan, sambungnya, untuk melindungi bangsa, melindungi seluruh tumpah darah rakyat Indonesia. Rakyat ini harus dilindungi, bukan hanya diatur. Jadi, kata Zudan, pemikiran-pemikiran yang extra ordinari, yang luar biasa seperti ini yang menembus sekat-sekat itu harus didukung.

"Apa yang dipikirkan Pak Nurdin Abdullah itu dalam hukum disebut sebagai kemanfaatan sosial. Jadi itu dibolehkan. Tidak ada larangan bahwa dalam kondisi krisis semua pihak bersatu berkoordinasi melawan corona. Jadi, jangan ada sekat-sekat ini DPRD ini eksekutif. Bergandeng tangan lah antara eksekutif dan DPRD, tujuannya untuk Salus Populi Suprema Lex. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," paparnya.

"Jadi, jangan kita mengatakan ketua DPRD tidak boleh diberikan tugas. Dimana larangan itu? Undang-undang Pemda tidak pernah melarang seperti itu, sepanjang dalam rangka koordinasi. Ini kan untuk koordinasi saja, agar ada legalitas dari ketua DPRD itu turun dalam rangka pelaksanaan tugas fungsi untuk mencegah, melindungi masyarakat agar tidak terkena covid-19," sambungnya.

Jelasnya, dalam membuat produk hukum tujuannya untuk pemanfaatan sosial, tidak semata-mata kepastian hukum. Yang paling bagus, menurutnya, kepastian hukum terwujud kepastian kemanfaatan sosial terwujud, keadilan juga terwujud.

"Tapi dalam kondisi darurat, dalam kondisi krisis semacam ini semua orang harus berpikir ekstra ordinari. Harus berpikir luar biasa karena menghadapi krisis yang luar biasa. Dalam tata kelola pemerintahan, boleh, ada diskresi. UU 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan membolehkan diskresi kepada penyelenggara pemerintahan untuk menghindari stagnasi kepemerintahan," paparnya.

"Agar kepemerintahan tidak macet yuk ketua DPRD boleh bareng saya turun bersama gubernur boleh. Saya beri surat tugas anggarannya dari eksekutif, dari biro keuangan misalnya, boleh. Yang tidak boleh adalah bila dobel anggaran. Kan kita bisa pergi kemana saja. Saya orang kementerian dalam negeri didanai oleh kementerian luar negeri boleh. Yang tidak boleh adalah saya didanai oleh Kemendagri juga oleh Kemlu. Tidak boleh itu, dobel anggaran," imbuhnya.

"Masalah surat tugas dari ibu Menlu boleh, saya berangkat bersama anggota DPR, misalnya, saya berangkat ke Amerika didanai oleh DPR. Surat perintah saya dari ketua DPR, boleh. Itu kaitannya dengan administrasi penganggarannya nanti. Jadi tidak ada masalah yang penting tidak dobel anggaran," katanya.

Pertama, terangnya, yang harus dijaga dalam aspek hukum kemanfaatan sosial tidak boleh ada niat jahat. Yang kedua, tidak boleh ada penyalahgunaan kewenangan. "Dan itu adalah hal biasa dalam penugasan, koordinasi dsb. Itu kan hanya administrasi saja, jadi kembalikan kepada filosofi bernegara, Salus Populi Suprema Lex, dalam kondisi darurat keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," ujarnya.

Dia menegaskan, tidak perlu mempersoalkan tentang mis administrasi karena itu tidak dilarang dalam hukum kepemerintahan daerah. Dalam UU 30 Tahun 2014 tentang kepemerintahan juga bagian dari diskresi kepemerintahan.

Terkait surat tugas gubernur Sulsel kepada ketua DPRD tidak ada masalah karena pimpinan tertinggi daerah adalah gubernur. "Gubernur boleh memberi surat tugas kepada siapapun. Gubernur itu memiliki dua fungsi. Satu sebagai kepala wilayah, kedua sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dia sebagai kepala wilayah boleh memberi surat tugas kepada rektor seluruh Sulsel, misalnya, untuk membantu mengkaji Covid-19 segera diatasi. Rektor kan di bawah kemendikbud. Itu kaitannya nanti dengan penganggaran yang ditanggung oleh provinsi Sulsel. Jadi ada tata kelola keuangan ada administrasi. Ada akuntabilitas yang terkait. Jadi, hukum pemda membolehkan seperti itu," cetusnya.

Menurutnya, situasi tidak normal dipandang dengan kacamata normal tidak akan ketemu. Jadi ketika situasi abnormal kita semua bergerak dalam kacamata abnormal. Contoh yang mudah, sebagian ASN disuruh bekerja di rumah tapi UU ASN tidak mengaturnya. Kalau dalam kacamata normal semua ASN melanggar undang-undang, melanggar hukum. Karena peraturan Menpan jelas masuk kantor jam 8 pagi pulang jam 4 sore. PP 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai yang tidak masuk kantor dalam waktu tertentu dipecat. Itu karena kondisi normal.

Hukum kita rata-rata dibuat dalam kondisi normal. Ketika dalam kondisi tidak normal semuanya gagap, semuanya bingung. Maka kita harus kembali dalam filosofi bernegara tadi. Coba baca pembukaan UYD, negara itu wajib melindungi segenap bangsa, melindungi seluruh tumpah negara Indonesia. Itu kuncinya. Maka adediumnya Salus Populi Suprema Lex. Itu kemudian menjadi kekuasaan deskresionari penyelenggara kepemerintahan sudah diatur didalam undang-undang 30 tahun 2014 tentang administrasi kepemerintahan. Untuk menjaga kepemerintahan tetap berjalan boleh ada diskresi. Sekarang pemerintah sedang diskresi agar penularan covid-19 berkurang masyarakat tidak boleh mudik.

"Bayangkan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid Kairo kurang apa? Dilarang shalat  berjamaah karena situasinya krisis. Orang yang memandang biasa-biasa saja itu orang yang tidak faham. Karena mencegah keburukan lebih diutamakan daripada berbuat kebaikan. ASN kalau masuk kantor berbahaya bisa saling menulari," tuturnya.

"Orang yang mengkritisi surat gubernur Sulsel kepada ketua DPRD mungkin berpikir dimensi politik. Maka mari kita berpikir kontekstual kalau kondisinya normal berpikirlah normal, tapi kalau kondisinya tidak normal mari kita berpikir dalam kondisi tidak normal itu. Contoh, Dukcapil yang saya kerjakan sekarang saya dorong semua layanannya online. Masyarakat tidak perlu datang ke Dinas Dukcapil, bisa lewat aplikasi. Kalau kantor dibuka maka orang akan pada datang bisa terjadi penularan," pungkasnya. (A)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama