Dialog Interaktif Online PPWI, Kupas Kebijakan Pemerintah Terkait Covid-19

Foto: Para Pembicara dan peserta Dialog Interaktif Online PPWI
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Dialog Interaktif Online Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) bekerjasama dengan Forum Demokrasi Warga (FDW), dan Polhumed Center Indonesia, mengupas tuntas sisi penanganan Pemerintahan di masa pandemi Covid-19. 

Dialog Online bertajuk “Covid-19: Perspektif Jurnalisme Warga, Politik dan Hukum" itu digelar Selasa, 19 Mei 2020, pukul 21.00-23.00 WIB melalui media zoom. Para pembicaranya adalah, Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., MA (Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional PPWI); H. Fachrul Razi, M.I.P (Ketua Komite I DPD RI); dan Dolfie Rompas, SH., MH (Konsultan & Praktisi Hukum).

Acara dialog diikuti 54 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh, Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga peserta dari Papua. Dialog langsung dimoderatori Wilson Lalengke.

Mengawali paparannya sebagai narasumber dari perspektif jurnalistik, Wilson Lalengke mengatakan bahwa sejak awal, soal wabah Covid-19 ini sudah dipersepsikan sebagai virus yang mematikan.

“Pemberitaan mengenai wabah Covid-19 dalam berbagai pemberitaan media global hingga di Indonesia, adalah produk informasi yang sudah dipersepsikan sejak awal, sebagai virus yang mematikan. Maka persepsi itulah selama ini yang ada di masyarakat. Tapi siapa yang pernah melihatnya?" ungkapnya.

Dilanjutkan Instruktur Pelatihan Jurnalistik yang pernah melatih di Mabes TNI, Paspampres dan Mabes Polri ini, yang menjadi pertanyaan, kenapa belakangan ini persepsinya seolah-olah bertolak belakang?

"Belakangan ini, kita mulai membaca pemberitaan, dimana Pemerintah menghimbau agar pasca PSBB, masyarakat mulai membiasakan hidup berdampingan dengan Covid-19. Nah, ini kan dipersepsikan beda lagi? Yang tadinya sangat berbahaya, sekarang jadi harus berdampingan," bebernya.

Sebab itu menurutnya, jurnalisme warga (citizen journalism), harus mampu juga menganalisis secara jeli dan kritis. Supaya tidak hanya mengikuti trend pemberitaan media mainstream, yang membentuk opini di masyarakat.

“Sekalipun memang tidak mudah, tapi jurnalisme warga hendaknya berupaya untuk turut memberi warna di masyarakat, dengan segala kemampuan dan independensinya. Berpikir jeli dan kritis," tandasnya.

Sementara Dolfie Rompas sebagai pembicara kedua dari sisi perspektif hukum, memulai paparannya soal adanya beberapa Undang-undang yang berkaitan dengan wabah virus sebagai bencana.

“Undang-undang tersebut adalah UU No. 1 Tahun 1962; UU No.2 Tahun 1962; UU No.6 Tahun 1962; UU No.4 Tahun 1984; dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; hingga PP 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)," paparnya.

Demikian masiv-nya pemberitaan media tentang bahaya Covid-19, yang hanya berkaitan dengan masalah kesehatan, sehingga itulah yang mendominasi pemberitaan di masyarakat.

"Tapi bagaimana soal keadilan dan kesejahteraan di masyarakat, akibat dampak yang ditimbulkan wabah virus yang menjadi bencana tersebut? Padahal, hal itu juga sekaligus diatur dalam UU soal kekarantinaan, dan kedaruratan, dimana Pemerintah harus sejalan dengan tanggungjawabm sebagaimana penerapan PSBB itu. Ini yang saya lihat ada yang terabaikan dalam pemberitaan pers selama ini," tandasnya.

Menurut Dolfie, jika dibandingkan antara yang terindikasi Covid-19 hingga terakhir ini mencapai puluhan ribu, maka bagaimana dengan jutaan masyarakat yang menderita kerugian dan sudah tidak sejahtera akibat terkena dampaknya.

“Ini jelas pemberitaan yang tidak berimbang. Puluhan ribu yang terindikasi Covid-19 hingga terakhir ini, begitu dahsyat pemberitaannya. Tapi jutaan masyarakat yang mengalami penderitaan dan kerugian, serta tidak lagi sejahtera, pemberitaannya tidak semasiv soal kesehatan," bebernya.

Kuasa Hukum PPWI dan SPRI dalam gugatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Dewan Pers ini juga menambahkan, selain soal aspek hukum, ada azas yang lebih tinggi lagi dalam hukum.

Ada azas selain hukum yang disebut dengan istilah 'Salus Populi Suprema Lex Esto' artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Sebab itu, Pemerintah wajib menyelamatkan hidup setiap orang dari serangan Covid-19, tambahnya.

Adapun pembicara ketiga, Sekjen DPN PPWI, Fachrul Razi, S.I.P, M.I.P, yang juga Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) R.I ini mengungkap soal data terkini dari Covid-19, di Indonesia dan di beberapa negara di dunia, hingga berbagai peraturan yang dibuat, termasuk membandingkan soal anggaran khusus penanganan Covid-19.

Dikatakan Fachrul, dari segi penanganan Covid-19 melalui PSBB, ada banyak hal yang terasa aneh, karena bertolak-belakang satu dengan lainnya.

"Saat ini Indonesia masih memberlakukan PSBB. Tapi belakangan ini, mal-mal sudah diberi kelonggaran untuk buka, hingga parkirannya penuh, bandara juga dibuka, padahal kita orang-orangnya masih disuruh stay at home. Ini kan aneh. Belum lagi ada kebijakan Menhukham yang melepas narapidana, dan TKA yang masuk di Sultra, padahal kita dilarang mudik," ungkapnya.

Selain itu, Fachrul mengatakan dalam skala global, Indonesia sudah tergolong cukup tinggi yang terindikasi, hingga yang dirawat, meninggal dan sembuh dibandingkan beberapa negara lainnya. Tapi dari segi anggarannya, Indonesia masih tergolong kecil.

Dengan anggaran Rp. 405 triliun, yang sudah cukup besar untuk Indonesia, namun masih termasuk yang masih kecil kucuran anggarannya dibanding beberapa negara lainnya.

"Dengan anggaran Rp. 405 triliun, sebenarnya Indonesia masih tergolong yang masih kecil dibanding beberapa negara lainnya. Namun, masih dibawah Singapura yang jumlah penduduknya lebih kecil, dengan anggaran Rp. 688 triliun. Jerman 13.125 triliun,  Amerika 32.800 triliun, Jepang 16.308 triliun," ungkapnya.

Namun demikian menurutnya, angka 405 triliun memang sudah cukup besar bagi Indonesia. Tapi dibandingkan dengan berbagai strategi yang dilakukan beberapa negara lainnya, Indonesia masih ketinggalan jauh. Nah, kemana saja anggaran itu mengalir?

Dikatakan anggota DPD RI untuk periode kedua kalinya ini, selain digunakan untuk berbagai kebijakan seperti untuk Kartu Pra Kerja, PKH, BLT, ada yang menjadikan ini sebagai project untuk kepentingan pihak tertentu.

"Seperti adanya project dari salah satu perusahaan dari Staf Khusus Presiden (tapi kemudian dia sudah resign) yang mendapatkan kucuran dana Kartu Pra Kerja hingga 5 triliun. Padahal total anggaran untuk itu 20 triliun. Dan yang terjadi juga, banyak yang tidak tepat sasaran. Ini salah satu yang kita kritik di Senayan," tandasnya.

Selain itu menurutnya, seringnya regulasi Pemerintah Pusat yang berubah-ubah secara cepat, sehingga para Gubernur dan Kepala Daerah harus segera mengikuti perubahan tersebut.

"Ini justru menimbulkan kerawanan dalam pelaksanaan penggunaan anggaran Covid-19, dimana minggu ini sudah berubah, minggu depan berubah lagi. Adanya kebijakan refocusing juga, yang mengakibatkan realokasi anggaran di daerah untuk diarahkan ke penanggulangan Covid-19, inipun menimbulkan kerawanan. Banyak yang akhirnya APBD sekarang ini yang kollaps. Bahkan APBN kita juga sudah genting. Negara kita juga sedang tidak baik-baik saja," bebernya.

Dan anehnya, dalam kondisi seperti ini, ada keinginan lagi dari kawan-kawan DPR untuk mencetak uang.

"Ini kan berbahaya sekali, kalau kita tidak memiliki pondasi kekuatan dan kedaulatan yang secara ekonomi dan kebijakan devisa negara yang kuat sebelumnya. Ini salah satu tantangan kebijakannya," imbuhnya.

Banyak hal yang masih dikupasnya, antara lain soal cara distribusi bantuan yang berbelit-belit dan tidak tepat sasaran, anggaran Covid yang menjadi bancakan, soal Pilkada yang mestinya dimundurkan, hingga anehnya perusahaan pers melalui Dewan Pers yang meminta insentif dari anggaran Negara.

Setelah paparan narasumber ketiga, moderator menawarkan peserta untuk tiga penanya. Dan setelah itu, dijawab oleh ketiga narasumber, dan ada beberapa yang juga menyampaikan tanggapannya. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama