Sekjen Dewan Pengurus Nasional PPWI Kritisi Dewan Pers Minta Insentif

Fachrul Razi, Sekjen DPN PPWI dalam Dialog Interaktif Online (atas)
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Sekjen Dewan Pengurus Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia (DPN PPWI), Fachrul Razi, S.I.P, M.I.P, yang juga Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) R.I, merasa aneh jika Dewan Pers melindungi para perusahaan pers, dan turut mengusulkan ke Pemerintah, untuk meminta subsidi di masa pandemi Covid-19.

Hal ini terungkap dalam Dialog Interaktif Online PPWI kerjasama dengan Forum Demokrasi Warga (FDW), dan Polhumed Center Indonesia, Selasa, 19 Mei 2020, pukul 21.00-23.00 WIB melalui media zoom. Dialog bertajuk “Covid-19: Perspektif Jurnalisme Warga, Politik dan Hukum" itu menghadirkan 3 (tiga) pembicara yaitu, Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., MA (Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional PPWI); H. Fachrul Razi, M.I.P (Ketua Komite I DPD RI); dan Dolfie Rompas, SH., MH (Konsultan & Praktisi Hukum).

Dalam paparannya, Fachrul Razi menyinggung soal anggaran penanggulangan Covid-19 hingga Rp. 405 triliun. Anggaran tersebut dikatakan terdiri dari beberapa jenis alokasi peruntukannya, yaitu untuk kebijakan seperti Kartu Pra Kerja, PKH, BLT, hingga ada yang menjadikan ini sebagai project untuk kepentingan pihak tertentu.

Seperti adanya project dari salah satu perusahaan dari Staf Khusus Presiden (tapi kemudian dia sudah resign) yang mendapatkan kucuran dana Kartu Pra Kerja hingga 5 triliun. Padahal total anggaran untuk itu 20 triliun. Dan yang terjadi juga, banyak yang tidak tepat sasaran. Ini salah satu yang kita kritik di Senayan, paparnya.

Dikatakan Fachrul, dari anggaran 405 triliun itu, ada alokasi untuk perlindungan sosial sebesar 110 triliun, untuk kesehatan 75 triliun, untuk pemulihan ekonomi 150 triliun, untuk insentif pajak ada 70 triliun.

"Akhirnya apa? Anggaran 405 triliun itu jadi bancakan. Jadi project buat Menteri-menteri berebut anggaran. Dan mohon maaf, Dewan Perspun mengajukan permohonan agar perusahaan-perusahaan pers mendapat subsidi. Nah ini kan aneh ya. Ini kan perusahaan-perusahaan media ini kan orang kaya semua. Dan mereka para penguasa di negara kita. Partai dia punya, media dia yang punya, anak-anak perusahaan BUMN sebagai mitranya, tapi ketika perusahaan medianya kollaps, dan mereka, mohon maaf, dilindungi Dewan Pers, mereka berbondong-bondong untuk mendapatkan subsidi dari negara. Ini yang tidak adil sebenarnya. Ini yang kita dorong rekan-rekan PPWI untuk menyampaikan ke publik. Ada banyak media online, yang juga punya banyak tenaga kerja, yang secara langsung berimbas juga. Tapi anggaran itu selalu dinikmati 4L, loe lagi, loe lagi," protesnya.

Menurutnya, DPD RI dan MPR RI sudah komit untuk mengawasi dana Rp 405 triliun itu, karena ada indikasi-indikasi korupsi baik di pusat maupun di provinsi.

"Apalagi di tahun 2020 ini kan mau Pilkada. Jadi para Kepala Daerah yang petahana atau incumbent, berbondong-bondong menggunakan APBN, dengan dalil bencana. Dia bagikan bantuan ke rumah-rumah dengan gambar wajahnya. Ini kan kampanye terselubung. Ada bantuan dibalik peyek. Ini kan aneh. Sambil nyelam minum susu atau madu," ungkapnya.

Sebab itu kita dari DPD mendesak untuk mengundurkan Pilkada ke 2021 atau 2022. Tapi karena di Parlemen juga dikuasai oleh partai-partai penguasa juga, apalagi para Kepala Daerah petahana maupun incumbent juga berasal dari partai-partai pendukung, mereka tetap ingin dilaksanakan bulan Juni.

"Ini kan juga aneh. Tahap pertama itu dipaksakan bulan Juni. Desember itu pemilihannya. Ini kan terlalu dipaksakan. Nah, kembali lagi, PSBB itu akan dilanggar, kalau dipaksakan. Hanya Korea Selatan yang berjhasil melaksanakan dimasa Covid. Tapi banyak negara yang postpond. Ada apa?" tanyanya. 

Selain itu, Fachrul mengatakan dalam skala global, Indonesia sudah tergolong cukup tinggi yang terindikasi, hingga yang dirawat, meninggal dan sembuh dibandingkan beberapa negara lainnya. Tapi dari segi anggarannya, Indonesia masih tergolong kecil.

Namun demikian menurutnya, angka 405 triliun memang sudah cukup besar bagi Indonesia. Tapi dibandingkan dengan berbagai strategi yang dilakukan beberapa negara lainnya, Indonesia masih ketinggalan jauh.

“Nah, kemana saja anggaran itu mengalir? Dengan anggaran Rp. 405 triliun, sebenarnya Indonesia masih tergolong yang masih kecil dibanding beberapa negara lainnya. Masih dibawah Singapura yang jumlah penduduknya lebih kecil, dengan anggaran Rp. 688 triliun. Jerman 13.125 triliun,  Amerika 32.800 triliun, Jepang 16.308 triliun," bebernya.

Selain itu menurutnya, seringnya regulasi Pemerintah Pusat yang berubah-ubah secara cepat, sehingga para Gubernur dan Kepala Daerah harus segera mengikuti perubahan tersebut.

"Ini justru menimbulkan kerawanan dalam pelaksanaan penggunaan anggaran Covid-19, dimana minggu ini sudah berubah, minggu depan berubah lagi. Adanya kebijakan refocusing juga, yang mengakibatkan realokasi anggaran di daerah untuk diarahkan ke penanggulangan Covid-19, inipun menimbulkan kerawanan. Banyak yang akhirnya APBD sekarang ini yang kollaps. Bahkan APBN kita juga sudah genting. Negara kita juga sedang tidak baik-baik saja," tandasnya.

Dan anehnya lagi, dalam kondisi seperti ini, ada keinginan dari kawan-kawan DPR untuk mendorong mencetak uang.

"Ini kan berbahaya sekali, kalau kita tidak memiliki pondasi kekuatan dan kedaulatan yang secara ekonomi dan kebijakan devisa negara yang kuat sebelumnya. Ini salah satu tantangan kebijakannya," imbuhnya.

Dalam hal kebijakan distribusi berbagai bantuan kepada masyarakat, di China, Singapore maupun negara-negara di Eropa, itu langsung dialirkan negara ke masing-masing penerima, by name, by address.

"Lagi-lagi kebijakan di Indonesia menjadi rumit. Karena ada proses rekrutmen lagi, seleksi lagi, verifikasi, dan bahkan untuk penerima PKH dan BLT itu harus buat rekening khusus, sehingga terlalu banyak problem dan tidak tepat sasaran. Dan ini sebenarnya yang ingin saya sampaikan kepada teman-teman jurnalisme warga, sebarkan berita ini secara meluas ke masyarrakat," himbaunya.

Dalam pelaksanaan PSBB, menurutnya juga banyak yang inkonsisten. Termasuk di bandara yang tidak menerapkan social distancing, padahal harusnya bisa dikenakan denda Rp. 100 juta bagi yang melanggar. Belum lagi di mal-mal yang dibuka lebar-lebar, dan lain sebagainya.

"Termasuk narapidana yang dilepaskan, sehingga banyak menimbulkan keresahan di masyarakat. Para begal kembali berkeliaran, karena mereka juga butuh makan. Mohon maaf ini aneh kebijakan Laoly ini. Akhirnya Pemerintah sekarang menyesal melepas begitu banyaknya napi," pungkasnya.

Sementara itu, Wilson Lalengke mengawali paparan dari perspektif jurnalistik mengatakan, bahwa sejak awal, soal wabah Covid-19 ini sudah dipersepsikan sebagai virus yang mematikan.

"Pemberitaan mengenai wabah Covid-19 dalam berbagai pemberitaan media global hingga di Indonesia, adalah produk informasi yang sudah dipersepsikan sejak awal sebagai virus yang mematikan. Maka persepsi itulah selama ini yang ada di masyarakat. Tapi siapa yang pernah melihatnya?" ungkapnya.

Dilanjutkan Instruktur Pelatihan Jurnalistik yang pernah melatih di Mabes TNI, Paspampres dan Mabes Polri ini, yang menjadi pertanyaan, kenapa belakangan ini persepsinya seolah-olah bertolak belakang, dengan himbauan harus mulai membiasakan hidup berdampingan dengan Covid-19?

Sebab itu menurutnya, jurnalisme warga (citizen journalism), harus mampu juga menganalisis secara jeli dan kritis. Supaya tidak hanya mengikuti trend pemberitaan media mainstream, yang membentuk opini di masyarakat.

Sementara Dolfie Rompas sebagai pembicara dari sisi perspektif hukum, memulai paparannya soal adanya beberapa Undang-undang yang berkaitan dengan wabah virus sebagai bencana.

"Undang-undang tersebut adalah UU No. 1 Tahun 1962; UU No.2 Tahun 1962; UU No.6 Tahun 1962; UU No.4 Tahun 1984; dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; hingga PP 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)," paparnya.

Demikian masiv-nya pemberitaan media tentang bahaya Covid-19, yang hanya berkaitan dengan masalah kesehatan, sehingga itulah yang mendominasi pemberitaan di masyarakat.

"Tapi bagaimana soal keadilan dan kesejahteraan di masyarakat, akibat dampak yang ditimbulkan wabah virus yang menjadi bencana tersebut? Padahal, hal itu juga sekaligus diatur dalam UU soal kekarantinaan, dan kedaruratan, dimana Pemerintah harus sejalan dengan tanggungjawabm sebagaimana penerapan PSBB itu. Ini yang saya lihat ada yang terabaikan dalam pemberitaan pers selama ini," tandasnya.

Menurut Dolfie, jika dibandingkan antara yang terindikasi Covid-19 hingga terakhir ini mencapai puluhan ribu, maka bagaimana dengan jutaan masyarakat yang menderita kerugian dan sudah tidak sejahtera akibat terkena dampaknya.

Setelah paparan para narasumber, moderator menawarkan tiga penanya yang diikuti 54 peserta dari Aceh hingga Papua itu. Selain itu, ada juga beberapa peserta yang menyampaikan tanggapannya. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama