Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan Pancasilais


Oleh : Rizal Aminuddin

(Sekretaris MPW PBB Jawa Timur, Sekretaris PW KBPII Jawa Timur dan Ketua DDII Kota Pasuruan)


Hari ini, tanggal 22 Juni, mengingatkan bangsa Indonesia pada 22 Juni 1945, pada tanggal itu telah disepakati Rumusan resmi 1 Pancasila, yang mana dalam Rumusan “Pancasila” itu pada Sila 1 ditulis “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Rumusan resmi I Pancasila itu adalah hasil konsensus nasional 2 (dua) kelompok yang membahas falsafah negara yang akan merdeka. Kedua kelompok itu ada dalam Panitia Sembilan, yang pertama kelompok Nasionalis Sekular yang menghendaki bahwa dalam menjalankan negara hendaknya dipisahkan pengaruh agama dalam negara, yang kedua, kelompok Nasionalis Islam yang menghendaki agar Islam dijadikan dasar bernegara.

Masih terasa perdebatan tentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), sebuah RUU insiatif DPR yang bermaksud memaknai Pancasila agar lebih opersional, sebagai alat ukur uji warga negara apakah dia Pancasilais atau tidak, tetapi malang, justru telah menambah perdebatan yang panjang, lebih mengaburkan arti dan menurunkan derajat kedudukan Pancasila itu sendiri. Dalam naskah akademik serta isi RUU itu para inisiator enggan memasukkan Piagam Jakarta sebagai bagian histori dan substansi RUU tapi justru memasukan pikiran-pikiran Soekarno yang dalam masa berdebatan di BPUPKI, dalam bahasa sekarang itu masih wacana. Dalam pasal 7 khususnya ayat (2) dan (3) RUU tersebut memang memasukkan mentah-mentah buah pikiran Soekarno, Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila, yang sebenarnya masih wacana dalam BPUPKI.

Pasal 7
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
 
Itu sebabnya RUU itu a-historis secara formal dalam perumusan Pancasila dan berimplikasi negatif yang jauh bagi Islam dan Ummat Islam Indonesia. Ummat Islam bisa distigma tidak Pancasilais jika RUU ditetapkan sebagai Undang-Undang, padahal Ummat Islam sangat menyakini bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Untuk Rumusan Pasal 7 ayat (2) dan (3) RUU HIP itu bertolak belakang dengan Rumusan Pancasila I (pertama) – yakni dalam Piagam Jakarta.

Pemerintahpun akhirnya menunda pembahasan RUU yang tidak tahu sampai kapan batas ditundanya pembahasan RUU tersebut.

Pada kesempatan ini, saya kutip pendapat H. Endang Saifuddin Anshari, S.H., M.A. dari karya thesisnya di McGill University – Montreal Canada, “Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsesnus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959”

Pertama
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA SETELAH DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

Dengan merujuk kepada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (dengan segala Konsiderans dan Diktumnya) dan kepada “geistlichen hintergrund” (suasana kebatinanya) yang melatar-belakanginya (yaitu : suasana terakhir Majelis Konstituante menjelang 2 Juni 1959), maka Dasar Negara Republik Indonesia yang telah diberlakukan oleh Dekrit tersebut bukanlah PIAGAM JAKARTA (Rumusan resmi I Panca Sila), dan bukan pula semata-mata PEMBUKAAN UNDANG-UNDANG DASAR 18 AGUSTUS 1945 (Rumusan resmi II Panca Sila), melainkan YANG KEDUA yang dijiwai oleh YANG PERTAMA, yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.
(Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pustaka Salman ITB, hal. 213)

Kedua
PANCA SILA: ANTARA UCAPAN DAN KESETIAAN

Kelompok Nasionalis Islam pada dasawarsa terakhir ini meng-alam-i dan merasakan adanya usaha-usaha sebagian kelompok tertentu, yang :

- Pada satu segi mengingkari (atau tidak mengakui) hubungan historis, ideal dan spiritual antara Piagam Jakarta dengan Pembukaan dan batang-tubuh Undang-undang Dasar 1945, yang secara formal telah dipahatkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1945 tersebut. (Dalam hal (hubungan termaksud) ini tidak bakal dapat dihapus atau dikikis oleh kekuatan apapun juga).
- Pada segi lain (secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit) berusaha memojokkan Nasionalis Islami sebagai anti Panca Sila dan Undang-Undang Dasar 1945 (yang nota bene telah turut mereka susun dan tahun 1945) yang telah diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang nota bene telah mereka terima dan setujui secara aklmasi dalam DPR 100% pilihan rakyat pada tanggal 22 Juli 1959.

Usaha-usaha seperti itu, pada satu segi telah tidak menghormati Konsensus Nasional yang telah dicapai pada tanggal 5 dan 22 Juli 1959, dan pada segi lain – bila tidak segera dihentikan – dapat meretakkan bahkan memecah-belah bangsa Indonesia (yang separuh di antaranya merupakan kelompok Nasionalis Islami itu), dan pada gilirannya dapat mengancam dan membahayakan keselamatan dan kelangsungan Republik Indonesia yang telah diperjuangkan dan ditegakkan serta tetap dipertahankan bersama.
Kesetiaan kepada Panca Sila dan Undang-Undang Dasar 1945 sama sekali tidak dapat diukur dengan amat “getol”nya (rajinnya) seseorang menyebut-nyebut Panca Sila dalam setiap saat, tempat dan kesempatan – melalui wawancara, ceramah, kuliah, sambutan pidato, penataran dan lain sebagainya -; apalagi bila dengan pretensi merasa diri paling Panca Silais sejati, seraya secara langsung atau tidak langsung menafikkan (mengecilkan dan mengucilkan) orang lain. Kesetiaan kepada Panca Sila ditentukan oleh kesetiaan sikap dan perkataan serta perbuatan seseorang kepada nilai, cita dan makna yang terkandung dalam sila demi sila yang lima itu. Seseorang yang melaksanakan dengan sungguh-sungguh seluruh “lima cita kebajikan” yang terkandung dalam Panca Sila itu, lebih tepat dan layak disebut Panca Silais sejati, walaupun mungkin dia itu boleh dikatakan tidak pernah menyebut-nyebutnya dalam mulutnya; karena  dia telah berkata dengan perbuatan nyata, bukan berbuat dengan perkataan semata.

Seorang Muslim Indonesia yang Islami, yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya, dengan sendirinya dia melaksanakan kelima sila dalam Panca Sila dan nilai serta  norma kebajikan lainnya apapun. Tegasnya: seorang Muslim Indonesia yang Islami dapat saja, kalau mau, disebut Panca Silais, sebaliknya seorang (yang mengaku) Panca Silais belum tentu Muslim Indonesia yang Islami.
(Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pustaka Salman ITB, hal. 220)
(Sudono Sueb/ed)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama