Pilkada Asimetrik Untuk Masa Pandemik



Oleh: Prof Dr Drs Djohermansyah  Djohan MA
(Guru Besar IPDN, Dirjen Otda 2010-2014, Pj. Gubernur Riau 2013-2014, pendiri i-Otda)

Pilkada bikin pusing tujuh keliling.
Di era normal saja pilkada kita masih banyak masalah.

Apa lagi kini di masa wabah yang belum terkendali.

Pilkada serentak di 270 daerah dengan jumlah TPS 313.000 dan pemilihnya mencapai 105 juta.

Standar protokol Covid 19 wajib diikuti dan pilkada berkualitas harus pula dijaga oleh penyelenggara.

Ongkos pilkada bertambah tinggi, dari 15 T naik menjadi 20 T. Padahal pilkada yang baik itu tidak berbiaya tinggi.

Sesungguhnya berat bagi pemda dan pemerintah pusat menyediakannya, karena anggaran APBN dan APBD sudah "berdarah-darah".

Pemda dan aparat keamanan bisa terpecah perhatiannya antara menangani pandemi dengan mengurus pilkada.

Tapi yang lebih mencemaskan lagi kondisi masyarakat kita yang tingkat kedisiplinannya masih rendah.

Rawan sekali memunculkan kluster baru pilkada.

Belum lagi tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada, yang diprediksi banyak ahli bakal rendah.

Karena itulah agaknya mayoritas negara di dunia menunda pemilihan nasional dan pemilihan lokalnya.

Toh bila habis masa jabatan Kepala Daerah bisa diangkat Pj. Kepala Daerah.

Di dunia pemerintahan selalu ada solusi untuk mengatasi problema.

Dalam praktek empirik, Indonesia mengenal pilkada asimetrik seperti di Aceh, Papua, Yogya, dan DKI Jakarta.

Konstitusi membuka pula celah.

Pilkada bisa dilaksanakan secara demokratis, baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam praktek selama ini pemilihan Kepala Daerah pengganti bila ada yang berhalangan tetap sudah dilakukan oleh dewan, tidak pakai pemilihan langsung.

Baiknya khusus pilkada 9 Desember 2020 dilaksanakan melalui DPRD saja dengan peserta dari parpol dan perseorangan.

Pendaftaran sampai dengan penetapan pasangan calon jadi tanggung jawab KPU.
Penyampaian visi dan misi dilanjutkan dengan pemilihan hingga pelantikan ranahnya DPRD.

Tapi untuk mencegah politik uang, pengawasan ketat harus dilakukan oleh aparat  penegak hukum dengan melibatkan KPK.

Pengaturannya bisa dengan Perppu, karena mendesaknya waktu.

Dengan itu, insya Allah rakyat bisa selamat dari bahaya virus corona.

Negara yang sedang susah tidak perlu pula menambah biaya pilkada.

Legitimasi Kepala Daerah terpilihpun tetap tinggi.

Bukankah dalam keadaan darurat, barang haram saja bisa dihalalkan, apa lagi bila memang barangnya sudah halal.

Semoga menjadi pertimbangan pengambil keputusan...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama