Istilah Petahana Dan Ta-Dihu-dihu Pantdungo, Dalam Pilkada Kab Gorontanlo

Petahana calon Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingo

Oleh : Ali Mobiliu

ISTILAH petahana di Indonesia, mulai populer sekitar awal tahun 2009, saat menjelang Pilpres yang dinisbahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hendak mencalonkan diri untuk periode kedua (2009-2014). Istilah petahana sendiri,  pertama kali diperkenalkan oleh Salomo Simanungkalit, dalam sebuah artikelnya tanggal 6 Februari 2009. (Kompasiana.com). Sebelumnya, dalam tataran politik di Indonesia, para calon yang masih menjabat dan masih berhak maju untuk periode selanjutnya, lebih populer dengan istilah Incumbent dalam Bahasa Inggeris, yang artinya pemangku suatu jabatan tertentu. 

Meski sampai dengan saat ini, istilah Petahana, belum resmi terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), namun para ahli bahasa nampaknya sepakat,  bahwa petahana berasal dari kata dasar “Tahana”, yang berarti kedudukan, kebesaran, kemuliaan. Dalam dunia politik, istilah petahana, kemudian dimaknai sebagai seseorang yang memegang jabatan politik, mulai dari Presiden hingga Kepala Desa yang masih dimungkinkan mencalonkan diri, pada jabatan yang sama dalam periode berikutnya. Ada juga yang menyebutkan, petahana bersumber dari kata “Tahan’, yang berarti “kuat menahan”, “bertahan” atau yang hendak mempertahankan jabatan yang diemban sebelumnya. 

Sang Petahana, dalam konteks politik nasional, selalu saja ditempatkan, diposisikan dan diprediksi sebagai calon yang berpotensi untuk terpilih lagi. Mengapa? Salah satunya, karena petahana,  telah memiliki modal dasar yang sudah bisa dievaluasi dan dinilai oleh masyarakat, berupa realisasi program, karya dan karsanya selama memimpin.  Sementara calon lain yang belum mengenyam kursi kekuasaan, cenderung memiliki resistensi, karena program apapun yang disampaikan ke khalayak publik,  baru dianggap sekadar ide, gagasan dan rencana yang masih dalam angan-angan. Tentu hal itu mengundang lebih banyak keraguan. 

Upaya menempatkan dan memposisikan sang Petahana, sebagai yang unggul dan berpotensi menang, juga menggejala dalam tatanan politik lokal Gorontalo sejak dulu. Hal itu dapat dilihat dan diidentifikasi dari istilah “Debo Tadihu-dihu Pandtungo” yang biasanya merebak dalam setiap jelang suksesi. Bahkan semenjak dulu, saat pemilihan Kepala Kampung atau Ta’uda’a misalnya,  istilah ini sering terlontar dari warga masyarakat.  Istilah ini juga terkadang diikuti oleh ungkapan “U’Ma’O’ondto Mopatato”, ( yang sudah terlihat jelas) dan ungkapan-ungkapan lainnya yang seakan mempertegas bahwa sang petahana masih yang dianggap terbaik.  

“Debo Ta dihu-dihu Pandtungo” dengan demikian, dapat dimaknai sebagai ungkapan optimisme yang mengunggulkan calon petahana, bahwa ia “Debo” yang akan tetap dipilih dan terpilih. “Ta dihu-dihu Pantdungo” sendiri adalah istilah Gorontalo yang dinisbahkan pada seseorang yang memangku atau memegang jabatan politik tertentu, mulai dari Ta’uwa Lo Lipu a tau  “Olongia”, (Raja)  hingga Ta’uda’a sekalipun. 

Yang menarik, dari 3 kontestasi Pilkada di Provinsi Gorontalo tahun ini, istilah “Debo Ta’Dihu-dihu Pandtungo” diyakini akan lebih menggema di Pilkada Kab. Gorontalo. Alasannya, Pertama, bakal calon yang disebut-sebut menjadi rival  Bupati Nelson Pomalingo, sejauh ini terendus khabar didominasi oleh  “wajah-wajah lama” atau “calon yang itu-itu saja” yang sudah pernah menjadi rival Bupati Nelson di Pilkada 2015. 

Kedua, logika berpikir masyarakat akan cenderung mengatakan, “Sedangkan pada Pilakda 2015, Bupati Nelson yang belum memiliki prestasi di pemerintahan Kab. Gorontalo, toh juga unggul”. Apalagi, saat sekarang, dimana Bupati Nelson hanya dalam kurun 4 tahun saja, mampu menghadirkan perubahan fundamental di Kab. Gorontalo, dengan indikator keberhasilan yang jelas, terukur yang didukung oleh fakta dan data. Jika asumsi-asumsi keberhasilan Pemerintahan Nelson itu, dicoba dimentahkan oleh lawan-lawannya, maka justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Mengapa? Rakyat sudah cerdas. 

Ketiga, Koalisi Golkar dan PPP, oleh sebagian besar kalangan, dipandang sebagai koalisi yang “Span”, bermutu dan berbobot,  karena berbagai faktor penunjang, salah satu diantaranya, faktor Rusli Habibie sebagai Ketua DPD I Golkar, yang dikenal luas sebagai petarung dan Play maker politik Gorontalo dalam kurun 12 tahun terakhir ini. Jelas, Rusli Habibie tidak ingin kehilangan muka di mata masyarakat. Apalagi, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, Golkar tidak lagi berjaya memegang tampuk kepemimpinan di Kab. Gorontalo. Dengan begitu, Pilkada tahun ini, adalah momentum yang tepat dan  penting bagi Golkar, untuk merebut kembali Kab. Gorontalo. 

Keempat, jika disandingkan dengan nama-nama yang diwacanakan muncul, nama Nelson Pomalingo, nampaknya  lebih membumi, karena ia telah memiliki  begitu banyak  jejak-jejak karya dan karsa, yang menempatkannya sebagai  pemimpin yang bisa diandalkan. Memori publik  tentang perjuangan Nelson saat menjadi Ketua Presnas Pembentukan Provinsi Gorontalo, memori tentang keberhasilan Nelson saat memimpin kampus UNG, UMG, merintis berdirinya SMK Gotong Royong, merintis Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) Taman Cendekia dan masih banyak lagi yang terkait erat dengan pembangunan SDM Gorontalo. 

Demikian juga, memori kepemimpinannya di berbagai  organisasi, seperti di PGRI, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Ketua Persatuan Pencak Silat Indonesia Gorontalo dan berbagai organisasi lainnya. Karena sesungguhnya, agenda utama konstestasi politik di manapun, pada akhirnya bermuara pada “membanding-bandingkan” dan menyandingkan.  Nelson, jelas siap disandingkan, karena memang sudah  memiliki “Modal sosial” yang memadai di mata publik yang sudah dbangun dan dirinstis puluhan tahun. Bahkan boleh disebut, “Nelson bukang daun Lemong”, bukan “pemimpin karbitan”, melainkan pemimpin yang sudah matang. “Nelson makin tua makin jadi” bukan “Makin tua tidak mo jadi lagi”. 

Dari fakta-fakta itu pula,  maka masyarakat sebenarnya sudah sangat mahfum, mengapa jelang Pilkada akhir-akhir ini, Nelson dibombardir dengan berbagai “isu-isu miring” bahkan terkesan, ada yang sudah terlampau jauh menyerang ranah pribadinya. Paling tidak, masyarakat sekarang telah paham bahwa hanya dengan cara-cara itu, Nelson bisa dicederai. 

Memang, dalam setiap jelang perhelatan politik atau sejenisnya, baik  semenjak dari kampus hingga sekarang, Nelson selalu babak belur dulu. Bagi Nelson “pendzoliman” itu seakan sudah biasa baginya. Namun ternyata, justru dengan itu pula,  Nelson semakin matang dan eksis dalam kepemimpinannya. 

Meski demikian, di satu sisi, Bupati Nelson dan tim pemenangannya, tentu tidak boleh terlena, harus tetap waspada, harus mampu tampil seperti pemain catur yang cermat mengamati setiap gerak  lawan, mawas diri, solid  dan tentu berjuang sembari berdoa.  (***)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama