Webinar Nasional Bertajuk Guru Di Atas Garis, Getarkan Spirit dan Humanis Peserta


Foto: Para nara sumber, host dan peserta Webinar Guru Di Atas Garis

JAKARTA (wartamerdeka.info) - Webinar Nasional bertajuk “Guru Diatas Garis”, benar-benar menggetarkan spirit dan rasa humanis para peserta, yang memang kebanyakan diikuti para guru, pimpinan sekolah, aktivis pendidikan anak, dosen, namun ada juga advokat, dokter, pers dan profesi lainnya.

Dikatakan demikian, karena acara yang dipandu host Sabam Sopian Silaban, yang juga motivator itu, sejak awal sudah menyapa para peserta dengan penuh semangat yang berapi-api. Dengan suara lantang dan warna vokal bariton, Sabam Silaban seolah menularkan energi kepada 67 peserta yang hadir di webinar siang hari itu, pukul 13.00 hingga 16.00 WIB, hari Sabtu (01/08/2020).

Setelah membuka acara yang dilanjuntukan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Sabam Silaban, si penulis buku “Guru Diatas Garis” yang sekaligus sebagai moderator itu menjelaskan, bahwa webinar tersebit merupakan rangkaian pelatihan berseri dan memiliki bobot nilai tersendiri, dimana nantinya dapat dijadikan bekal penilaian peserta, yang ingin mengikuti kelanjutan tahap berikutnya.

Dalam pantauan media, Webinar “Guru Diatas Garis” ini menghadirkan 3 (tiga) orang nara sumber top yang seluruhnya berdomisili di Sumatera Utara, yaitu: Prof. Dr. Ir. Albiner Ruplin Raylen Pamimpin Siagian, M.Si, Guru Besar Tetap Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan; Abdul Latif Rusdi, M.Pd, Guru Olahraga SMP Negeri 39 Medan, Penulis Buku “Guru Olahraga di Era 4.0”; dan Mardi Panjaitan, S.Pd., M.Si, Guru SLB dan SMA Swasta di kota Medan.

Sebagai pembicara pertama, Prof. Dr. Ir. Albiner Ruplin Raylen Pamimpin Siagian, M.Si, membawakan judul presentasi ‘Menjadi Guru Yang Humanis’. Menurutnya, guru sekarang ini sedang berada dalam tantangan industri 4.0, sehingga harus mampu memandang dari berbagai perspektif.

Dikatakan Guru Etos dan Revolusi Mental bersertifikat ini, sering pikiran manusia itu menjadi lawan dirinya sendiri, sehingga sulit bersadaptasi, apalagi berkembang. Misalnya, menganggap diri cuma guru di kampung-kampung, yang berpikir: yah terima sajalah, apa boleh buatlah, yah begini sajalah, sebab mau berkembang juga susah.

“Nah, yang begini ini adalah cara pandang pesimistik. Bukan optimistik, yang selalu berorientasi positip,” ujarnya.

Menurutnya, dalam ‘Psikologi Positif’ menekankan pentingnya berpikir optimistik, artinya memandang dunia di sekeliling kita dengan perspektif yang positif. Sedangkan Psikologi Positif itu adalah aliran psikologi yang menerapkan ilmu psikologi bagi tumbuhnya insan-insan yang bermental positif dan optimistik untuk menggapai kebahagiaan sejati, sebagaimana dalam buku “Learned Optimism–How to Change Your Mind and Your Life” oleh Martin Seligman, Profesor Psikologi University of Pensylvania (Bapak Psikologi Positif).

Oleh sebab itu, penulis buku Humanisme Seorang Guru ini mengatakan, dalam menghadapi tantangan 4.0 yang diikuti perkembangan teknologi, perlu merevolusi mindset.

“Kita membutuhkan Mindset Revolution atau Revolusi Pola Pikir. Dimana Pola Pikir (Mindset) merupakan sekumpulan keyakinan dan cara pikir yang menentukan perilaku, tampilan, dan sikap mental seseorang, dan Revolusi Mindset itu adalah perubahan kerangka berpikir secara mendasar yang terjadi dalam waktu yang singkat,” bebernya.

Lebih jauh, Albiner mengatakan, selama pengalamannya mengajar 25 tahun, pada dasarnya tidak ada yang terlalu bodoh untuk diajar. Karena pada umumnya, manusia itu dilahirkan memiliki potensi dan talenta masing-masing.

Sementara itu, terkait guru sebagai pengajar, dia katakan barangkali ada guru yang masih merasa memiliki kuasa, dan tidak pernah mendengarkan apa yang ada dalam pikiran para siswanya. Padahal, anak-anak mestinya jadi diri mereka, seperti dikatakan Khalil Gibran, dimana anak-anak harus menjadi diri mereka sendiri: yang asli, otentik, dan terbaik (bukan untuk dimiliki dan dimanfaatkan oleh orang tua mereka).

“Maka menjadi guru itu harus kredibel dan visioner.  Kredibel itu berarti memiliki integritas, kapabilitas, dan otoritas. Sedangkan Visioner, berarti memiliki teropong batin dan peta mental sebagai panduan kepemimpinan. Guru yang kredibel, berarti dimana orang tua tidak merasa ragu anaknya didik oleh guru tersebut,” tandasnya.

Sedangkan pendidik yang humanis harus mengajar dengan tiga pendekatan yaitu: dialogis, reflektif dan ekspresif. Maka jika kita sudah mampu merubah mindset, maka kita akan mampu beretos kerja yang hebat.

Setelah sesi Prof. Albiner Siagian selesai, moderator Sabam Silaban menginstruksikan berdiri sejenak para peserta untuk penyegaran, dan diminta untuk membuka mik. Menggaungkan yel yel guru diatas garis, adalah guru yang hebat hingga tiga kali.

Masuk ke pembicara kedua, Abdul Latif Rusdi, membawakan judul paparan Siap dan Aktif menjadi guru berteknologi, sebagaimana yang ada di buku ‘Guru Olahraga di Era 4.0’ yang ditulisnya. Dia katakan, mengutip pernyataan Prof. Dr. Syawal Gultom, Rektor Unimed, Medan (2019), bahwa peran guru tidak akan pernah tergantikan kecerdasan buatan ataupun robotik.

Menurutnya, menjaga gap antara perkembangan teknologi dengan kemampuan, adalah sebuah keniscayaan. Tapi bagaimana sesegera mungkin dapat menyesuaikan perkembangan teknologi tersebut hingga mampu mengambil peran dan jangan sampai tertinggal, serta harus mampu mengikuti perubahan jaman.

Dikatakan Latif dalam meningkatkan pembelajaran dengan menggunakan teknologi. Secara virtual, membuat sesuatu di dunia maya seperti nyata, dengan mengandalkan Visual Big Data, si canggih yang tahu segalanya.

“Guru memang harus mengetahui dan menguasainya. Tapi kita juga harus punya data para siswa kita, supaya kita bisa mengkombinasikan. Memang harus banyak mempelajari beragam aplikasi pembelajaran. Mulai membuat modul belajar, ketersediaan buku keolahragaan, media pembelajaran, model pembelajaran dan pengaplikasiannya sesuai dengan kebutuhan siswa saat ini,” paparnya.

Diceritakan, dulu soal teknologi ini membuat banyak guru yang apatis, Tapi sekarang tanpa disadari, para pendidik sudah lebih banyak yang mampu.

Pesatnya perubahan teknologi, membuat seorang guru harus mampu juga mengayomi siswa milenial, menciptakan karya, kreatif dan inovatif.

“Sekarang orang-orang bahkan ada yang bisa membuat start up. Siapa tau guru bisa dengan inovasi membuat aplikasi baru yang juga mampu bernilai ekonomi. Jadi kita sebagai objek teknologi, tapi juga sekaligus sebagai orang yang mengkreasi, menciptakan. Bahkan kolaborasi para guru juga dibutuhkan,” tandasnya.

Kita dihadapkan ke revolusi industri 5.0, dimana yang 4.0 sebenarnya belum tuntas. Tapi dengan adanya pandemik, sudah diakselerasi langsung ke 5.0. Sehingga jangan sampai kita tidak bisa mengendalikan teknologi itu sendiri.

“Bagi kami guru olah raga, ini juga back to basic. Selain olah raga, kami juga mengajarkan main engkrang, alip-alipan, dan permainan tradisionil lainnya. Agar kekuatan budaya pada diri siswa, dapat menjadi benteng dari serbuan perkembangan di era 5.0,” harapnya.

Usai paparan pembicara kedua, moderator Sabam Silaban, kembali menggebrak para peserta yang saat itu dalam jam rawan ngantuk. Sabam menginstruksikan untuk menarik nafas hingga 5 (lima) kali dan menghembuskan dengan perlahan-lahan, untuk refreshing.

Pembicara ketiga, Mardi Panjaitan, yang juga adalah ASN mengatakan, guru diatas garis harus memiliki kebiasaan proaktif, sebagaimana tertulis dalam buku Stefen R. Covey, ada 7 (tujuh) habit, dimana yang pertama adalah proaktif.

Dalam buku tersebut, kata Mardi, seseorang yang bersikap proaktif, mampu memberi jeda antara datangnya stimulus dengan keputusan untuk memberi respon. Pada saat jeda tersebut seseorang yang proaktif dapat membuat pilihan dan mengambil respon yang dipandang terbaik bagi dirinya.

Dicontohkan Guru SLB ini, dirinya sejak pandemik bulan Maret, banyak pekerjaan yang pending, karena berbagai hambatan atau pembatasan menghindari Covid-19.

“Tapi kalau kita proaktif, maka tidak pasrah begitu saja. Kita harus tetap bergerak. Merespons situasi yang terjadi, dan bagaimana cara melakukan penyesuaian dengan inovasi. Awalnya banyak yang mengeluh, siswa dan guru. Tapi tanpa disadari, kita sekarang jadi bisa sebagai kameraman, presenter, editor, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Sebab itu menurutnya, guru harus proaktif. Mengerjakan semua secara bertanggungjawab, menaklukkan semua hambatan yang ada, dengan memilih respons untuk bertindak.

“Karena guru yang proaktif, adalah guru yang tidak pernah puas terhadap apa yang telah dipelajarinya. Guru proaktif harus visioner, punya mimpi ke depan. Bermimpilah setelah anda bangun. Karena kalau bermimpi dalam tidur, itu adalah hanya bunga mimpi,” katanya sambil tertawa.

Dikatakan Mardi, kalau guru melihat siswanya, apakah pernah memikirkan siswanya nanti akan jadi apa dan seperti apa?

“Guru diatas garis harus punya mimpi terhadap siswanya, akan jadi apa siswa tersebut ke depan. Berjuanglah untuk jadi guru diatas garis dengan melakukan misi, karena misi adalah upaya untuk mewujudkan mimpi,” tandasnya.

Usai pembicara ketiga, moderator Sabam membantu membacakan pertanyaan yang sudah banyak tersedia di chatting room. Ketiga nara sumber menjawab masing-masing pertanyaan yang berkenaan dengan presentasi mereka. (DANS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama