Prof Djohermansyah: Mendagri Tak Bisa Main Pecat Kepala Daerah Terkait Protokol Kesehat

 

Prof Djohermansyah: Mendagri Tak Bisa Main Pecat Kepala Daerah Terkait Protokol Kesehatan

Pakar Otonomi Daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA
                       

JAKARTA (wartamerdeka.info) -- Pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA mengatakan, bahwa polisi bisa menangkap tangan Kepala Daerah atas tindakan kejahatan. Itupun harus dilaporkan ke presiden dalam 1x24 jam. Tapi, tegasnya, kalau baru dugaan-dugaan pelanggaran, pasal-pasal kesehatan untuk klarifikasi, Polisi waktu hendak melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah harus seizin Presiden. Sedangkan  Bupati dan Walikota seizin Mendagri. 

"Kalau Kepala Daerah seperti Gubernur mau diperiksa polisi, prosedurnya Kapolda lapor ke Kapolri. Kemudian Kapolri minta izin ke Presiden untuk periksa Gubernur Anies Baswedan. Bukan Kapolda atau anak buahnya yang mengirim surat. Lalu Presiden diberi waktu 30 hari untuk memberi jawaban. Kalau sampai 30 hari Presiden belum memberi jawaban, Kapolri diperbolehkan memerintahkan kapolda memeriksa," terang Prof Djo sapaan akrabnya, Jumat (20/11/2020).

Kenapa harus lewat pintu Presiden izin pemeriksaan seorang Gubernur, sedangkan Bupati dan Walikota lewat Mendagri? Prof Djo menjelaskan, karena Kepala Daerah itu bukan orang biasa. Menurutnya, Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan daerah otonom provinsi yang dipilih langsung oleh rakyat. 

Dan dia merangkap GWPP (Gubernur Wakil Pemerintah Pusat). Peranan sebagai Kepala Daerah otonom provinsi sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan tugas-tugas pemerintah pusat yang ada di provinsi. 

Karena itu, lanjutnya, kehormatannya harus dijaga. Tidak seenaknya dipanggil oleh polisi.  Yang kedua, gubernur itu ketua Forkompimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) sedangkan Kapolda, ketua DPRD, Pangdam, kepala Kejaksaan cuma anggota. 

"Dalam kepemimpinan itu dia harus dihargai harus lewat Presiden dulu. Kalau tidak, nanti kalau ada sedikit masalah main panggil. Hancur martabat Kepala Daerah dimata rakyat. Padahal diperiksa itu belum tentu salah. Cuma stigma masyarakat anggapannya bersalah.  Itu yang harus dijaga," kata presiden i-Otda (Institut Otonomi Daerah) ini.

Apalagi seperti yang disampaikan Kapuspen Polri hanya klarifikasi terkait pelanggaran pasal 53 dan pasal 93 UU Karantina Kesehatan. Dengan ancaman pidana satu tahun. "Tidak begitu saja main panggil tanpa seizin Presiden," ucap Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.

Maka, Prof Djo mengingatkan, penegak hujum harus pelajari UU Pemda. Sebab UU Pemda yang menjadi dasar tumpuan bagi para penegak hukum dalam memeriksa seorang Gubernur. "UU Pemda No 23 tahun 2014 itu saya salah seorang arsiteknya," ungkap Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014 ini.

Dia menerangkan, Kepala Daerah yang dipilih secara langsung masa jabatannya bersifat fix-term, tepat lima tahun. Tidak boleh kurang atau lebih satu hari. Hanya dalam menjalankan tugas-tugas sebagai Kepala Daerah, maka sebagai manusia biasa ia bisa saja melakukan tindakan tindakan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan pelanggaran administrasi pemerintahan, maka ada sanksi-sanksi kepada Kepala Daerah itu sesuai dengan prosedur dan kepantasan. 

"Ada prosedur dan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Tidak bisa Mendagri main pecat saja. Misalnya dia melanggar sumpah jabatan atau dia tidak menaati peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian dia tidak menjalankan kewajibannya sebagai kepala daerah. Dalam sumpah jabatan dia mengatakan akan melaksanakan UUD dan undang-undang dengan selurus-lurusnya," kata Prof Djo.

Lanjutnya, kalau  itu dilanggar, dia tidak mentaati peraturan perundang-undangan misalnya UU Karantina,  maka ada langkah-langkah lebih dahulu. Tapi orang menyoal apakah betul Kepala Daerah  melakukan tindakan pidana gara gara silaturahmi ke Petamburan atau tidak membubarkan hajatan pernikahan putri HRS?

Persoalannya kalau pemberhentian Kepala Daerah itu memang ada tapi harus melalui prosedur administrasi pemerintahan. Misalnya, kalau dia tidak mentaati peraturan kepala daerah soal dilarang berkerumun, dia pergi berkerumun. Itu kan tidak mentaati pergubnya. Maka dilakukan teguran tertulis seperti dikatakan Presiden Joko Widodo. Dan yang mengeluarkan teguran tertulis keoada gubernur itu adalah presiden, bukan Mendagri. Begitu diatur di dalam UU Pemda kita  Kemudian gubernur mengklarifikasinya kepada presiden. Masalah jadi clear.

"Tapi, kalau besoknya dia bandel lagi dibuat lagi teguran secara tertulis kedua oleh Presiden. Kalau juga tidak taat dapat diberhentikan sementara selama tiga bulan. Itu tertulis dalan UU Pemda No 23/2014. Dia di sekolahkan di Jakarta untuk menguasai pendalaman materi tugasnya sebagai kepala daerah. Setelah tiga bulan dia boleh balik lagi memimpin daerah. Setelah balik kelakuannya tidak berubah, baru diberhentikan tetap," ujar Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

Jadi, jelas Prof Djo, prosesnya panjang tidak serta merta main copot lewat peringatan dan pembinaan lebih dulu. Kalau pemerintah pusat tidak memakai aturan main itu tentu bisa membuat banyak kepala daerah gelisah. Instruksi Mendagri itu positifnya sebagai warning harus serius urus Covid, tapi negatifnya bisa juga membuat kepala daerah kaget. Maka, dia mengingatkan, sebelum menerbitkan Inmen ada baiknya dikaji dampaknya terhadap ketenangan para kepala daerah dalam bekerja.

Mendagri tidak semudah itu  memecat kepala daerah karena proses nya panjang. Untuk memeriksa juga atas izin presiden. Semangatnya, tidak main pecat kepala daerah hasil pilihan rakyat, tapi beri pembinaan supaya mereka taat aturan. Pemecatan secara administrasi pemerintahan itu adalah "last ressort".

"Presiden maupun Mendagri tentu tidak akan mudah-mudah saja memberhentikan atau "mencopot" kepala daerah, karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, pungkas penerima Bintang Jasa Utama dari Presiden RI  tahun 1999 ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama